Mawar Melati By Dwi Surya Ariyadi

Mawar Melati
Penulis: Dwi Surya Ariyadi

Matahari pagi mengintip dari peraduan di ujung timur. Sepercik cahaya menyingkap selimut malam. Kegelapan mulai berangsur memudar dikuti lenyapnya bulan. Hanya untuk memberikan kesempatan untuk sang surya. Kesempatan memenuhi hasrat memancarkan sinar kehidupan bagi makhluk Tuhan di bumi. Tak terkecuali mereka yang dianggap kosong tak bernyawa.

Awal hari ini telah dimulai dengan retorika yang sama. Matahari terbit dan berakhir dengan matahari terbenam. Seonggok batu kecil dipingir jalan hanya tersenyum diam. Menertawakan dirinya sendiri yang merasa panas setelah semalam kedinginan tak berselimut. Sebatang kayu kusam tanggal dari dahannya merasakan perbedaan. Dirinya yang dahulu mampu merasakan angin berhembus sekarang terbaring kaku di tengan jalan yang keras. Aspal yang meleleh karena hari semakin beranjak membuatnya tersiksa. Padahal semalam ia masih tidur nyenyak diatas sana dan sekarang semuanya berubah.

Sapaan sang fajar mulai berubah. Suasana hangat yang menyenangkan mula berganti teriakan panas yang memekakkan. Aktifitas hidup mulai bertensi tinggi. Ribuan pasang kaki hilir mudik menjejakkan langkah di bumi yang terselimut beton dan aspal jalanan. Roda-roda menggelinding melindas apapun dan siapun yang menghadang didepannya. Dan angin semilir kecil berkerut ketakutan menghindar gedung-gedung pencakar langit yang berdiri sombong. Bahkan awan pun mencari jalan pulang lain ketika berhadapannya.

Disudut kota kecil, seorang manusia sedang duduk termenung. Menyandarkan bahunya di bangku kayu panjang yang ada di pinggiran taman. Sebuah taman kecil yang tampak hijau. Pepohonan rindang berjajar membentuk baris asimetris mengikuti alur jalan. Jalan berbatu tersebut selebar kurang lebih satu setengah meter. Dan manusia itu masih disana menatap kosong ke rerimbunan semak tidak jauh didepannya.
Bangku tersebut berhadapan terbalik dengan jalan, jadi orang lain hanya melihat punggungnya. Tidak ada yang mendekat. Walaupun disana cukup ramai untuk sebuah taman kecil. Tapi dia seperti terasing. Tak diperhatikan bahkan tak dipandang. Namun, dia tetap disana walau ditemani kesendirian.

***

Kupacu kendaraanku di jalan yang lengang. Hari libur membuat jalanan kehilangan setengah isinya. Semua yang berpeluh penat serasa melonggarkan ikat pinggang dihari ini. Tetapi aku harus tiba disuatu tempat. Bukan tempatnya yang merisaukanku. Namun apa yang terjadi disana yang memberondongku seperti peluru. Suatu yang telah lama aku perkirakan. Meskipun hanya sebatas harapan tak terjadi tapi itulah suratan. Terjadi yang tertuliskan, terlaksana yang terucapkan.
Dia menikah hari ini, itulah bunyi benakku saat ini. Bukan, bukan saat ini tapi semenjak seminggu yang lalu. Lama aku tidak bertemu kabar darinya. Dan kabar ini cukup mengejutkan. Yang kutahu dia tidak tinggal di indonesia. Semenjak meneruskan kuliahnya ke luar negeri hubunganku dengannya telah berakhir lima tahun yang lalu. Dan minggu kemarin secara khusus sebuah undangan menghampiriku, bahwa ia akan menikah.

Kutepikan mobilku, lalu aku keluar. Kulirik jam tangan, waktu menunjukkan pukul 9 dan kira-kira setengah jam lagi aku akan sampai disana. Kutarik napas dalam-dalam, serasa tercekat di tenggorokan. Apa yang harus kukatakan padanya nanti ketika bertemu. Aku tak pedulu siapapun laki-laki yang mendampinginya saat ini. Aku benar-benar tak peduli. Menikah dengan siapapun adalah haknya. Lagipula siapa aku. Sang pencundang yang tega membuang mawar ke tepi jalan ketika sang mawar membutuhkan tetes air untuk menyegarkannya.

Kubuka pintu mobil dan kuambil selembar tisu. Kubasuh keringat yang mengucur dikeningku. Kulepas jas yang kupakai. Udara belum terlalu panas tetapi aku berkeringat. Keringat dingin yang membasuhi relung benakku yang sedang kalut. Ketenangan yang ada sejak aku memutuskan mendatangi tempat itu telah sirna. Telapak tanganku gemetar.
Ponselku berdering. Kuangkat dan suara yang lama kukenal terdengar jauh disana.
“Vin lagi dimana, aku tungguin gak dateng-dateng, cepetan acaranya udah dimulai”, nada setengah kesal darinya menunjukkan sang pemilik suara berharap aku disisinya. “Ya tunggu, lagi dijalan, setengah jam lagi nyampe sana”, jawabku mencoba menenangkannya
“Iya, tapi lagi dimana sekarang?, kamu gak bohongkan, jangan-jangan gak jadi dateng kesini”, tanyanya lagi
“Itu lagi yang diomongin, dah dibilang dari kemarin kalau aku pasti dateng. Beneran ini lagi dijalan, ini aja mobil aku parkirkan dipinggir, demi mengangkat telpon dari kamu”, cerocosku menjelaskan kondisiku saat ini. Aku tahu cepat atau lambat ia pasti akan meneleponku. Dan seperti apa yang telah kukira. Ia memberondongiku lagi apa yang telah kujelaskan kemarin malam. “Dasar, kaya gak tahu situasi aja”, gerutuku. Bisa saja kubalik arah dan kubatalkan perjalanan kali ini. Tapi keburu dia telah menelepon dan aku mengaku setengan jam lagi tiba disana, jadi seperti tidak ada alasan lain kecuali mereka yang akan kutemui menganggapku masih seperti dulu. Sang pencundang yang hanya bisa kabur.
“Oke aku kan sabar menunggu, hehe”, katanya riang dan tersirat ejekan darinya. Kembali kupandangi jalan yang sesekali dilewati kendaraan. Tidak banyak tapi cukup untuk menjabarkan kondisi hari ini yaitu hari libur. Kutinggalkan mobilku dan kusebrangi jalan. Kulihat ada rerimbunan semak dibagian berlawanan pohon besar. Kudekati perlahan. Kupandangi apa yang tumbuh disana. Tidak ada yang istimewa kecuali satu hal.

***
Mawar Melati By Dwi Surya Ariyadi
Mawar Melati By Dwi Surya Ariyadi

Kugenggam tangannya. Terasa dingin. Kami bertatapan mata. Sepercik cahaya kecil dari bola hitan matanya kutangkap sebagai tanda bermakna. Kucoba mengenalinya lagi. Seperti yang pernah kulakukan padanya setiap aku dan dia bertemu. Selalu merasa baru ketika bertemu. Selalu ada yang berubah dan kami pun saling mengetahui.

Kuliat dia sedikit tertunduk. Aku pun mengalihkan pandangan. Mataku menyapu semua yang ada disekeliling. Seorang anak kecil bersama ibunya sedang bermain bola. Sepasang remaja yang berjalan bergandengan tangan. Seorang kakek dengan pakaian senam berjalan cepat. Sekelompok pemuda duduk melingkar sambil mendengar seseorang dari mereka berbicara. Dua orang mahasiswi, tampak dari jaket almamater yang dipakainya, berdiri di tikungan jalan untuk memberikan selebaran kepada siapa saja yang lewat.
“Kemana saja kau salama ini”, suaranya menyadarkanku dan perhatianku kembali teralih padanya,
Aku hanya beristirahat sejenak, seperti yang aku janjikan kepadamu, kataku. Kubiarkan jeda hening diantara kami yang tersaput keramaian dunia luar. Ia tercekat hendak bersuara namun sulit untuk berkata-kata. Kembali kualihkan pandangan. Tak mampu zku menatapnya saat ini. Rona wajahnya menyiratkan bahwa ia ingin membuktikan sesuatu kepadaku.
“Lebih baik semua berakhir saat ini. Daripada diteruskan dan kau terus membuatku tersiksa”, kata-katanya kembali membuyarkan lamunanku. Kutahu itu yang akan keluar dari mulutnya. Kulepas genggaman tanganku.
Otakku langsung merespon. Lalu aku berkata, “kalau itu yang kau pinta, aku tak berani menolaknya, banyak kesalahan yang kuperbuat kepadamu. Aku mengakui kalau hubungan ini tidak seperti dulu lagi. Jadi biarkan aku menjauh darimu. Merenungi apa yang telah kulakukan. Meratapi setiap kesalahan yang terjadi”. Biarkan dia memilih. Karena aku memang tidak mampu lagi mempertahankannya. Semua telah berubah dan semua telah berakhir.
Kuambil sebuah kotak kecil dari dalam tasku. Kuserahkan padanya. “Ini sebagai tanda permintaan maafku. Kau boleh membukanya setelah kau telah tiba di Amerika. Jangan tanya apa isinya saat ini. Nanti kau akan tahu sendiri. Sekarang ijinkan aku pergi dari hadapanmu. Diriku tak pantas lagi ada disampingmu. Semoga kau menemukan kebahagian lain yang lebih baik dari sekarang. Terimakasih telah mengijinkanku mengisi hatimu”.
Aku beranjak dan pergi meninggalkannya. Kutinggalkan pandangan sayu dari matanya. Kutahu dia menahan air mata. Akan kubiarkan dia menangis. Aku tidak lagi menjadi orang yang memberikan tempat untuk bersandar ketika dia berduka. Aku tak lagi memberinya senyum ketika dia berteriak bahagia. Dan aku tak lagi memberinya genggaman ketika dirinya ragu dan cemas. Kututup pintu hatinya kepadaku meski serpihan kecil memaksa masuk. Tidak untuk saat ini, dan tidak untuk kemudian.

***

Kuraih tanganku untuk memetiknya. “Aduh”, sebuah duri kecil menancap ditanganku ketika berhasil mengambilnya. Apa yang kulakukan? Biarlah terlambat asal datang. Daripada tidak sama sekali. Kuletakkan setangkai mawar yang tadi kupetik disakuku. Aku kembali menyebrang jalan dan masuk ke mobil.

Jiwaku terasa kembali penuh. Dan semangat baru hinggap menyelimutiku saat ini. Perjalanan kulanjutkan kembali. Waktu setengah jam yang kujanjikan, kulalui setengahnya. Kupacu mobilku secepat yang aku bisa. Aku seperti pembalap yang mengejar tropi kemenangan. Kusalip mobil didepanku. Dua mobil sekaligus. Aku sadar ini berbahaya tapi pikiran baik seperti menepis hal buruk. Dan kumasuki jalanan kecil yang hanya muat satu mobil. Kuperlambat laju mobilku.
Di jujung jalan tampak villa besar bergaya modern berdiri gagah. Jalanan menuju villa tersebut dihiasi pernak-pernik khas pernikahan. Sebuah mobil lain ada didepanku. Seseorang mendekati mobilku dan memberinya aba-aba agar aku mengikutinya berbelok ke kiri. Ia memanduku memarkirkan mobil.

Aku keluar dari mobil. Kupandangi sekeliling berharap ada orang yang kukenal. “Apa aku sendiri yang terlambat?”, kataku lirih. Pasti semua orang telah didalam, baiknya kutanya petugas parkir apakah pesta telah dimulai. Sebenarnya aku sengaja menghindari acara inti yaitu pengucapan sumpah suci kedua insan manusia untuk terikat dalam satu tali perkawinan. Aku hanya ingin tiba ketika kondisinya menyenangkan. Aku tidak ingin dia melihat aku, ketika dia memilih orang lain untuk mendampinginya.

Kulangkahkan kaki menuju ruangan besar ditengah bangunan. Kulewati jalan setapak kecil dan aku tiba dipintu ruangan tersebut. Orang-orang hilir mudik berlalu lalang melewatiku. Sesekali dari mereka menatapku tajam. Pandangan tersirat yang berisi ribuan makna. Tak kupedulikan apa yang mereka lakukan. Aku ke menuju meja tamu. Kulihat daftar nama-nama tamu yang diundang. Kutemukan namaku tercetak disana. “Aku memang diundang”, seruku dalam hatiku, “apa yang kau katakan, jelas kau diundang, tidak semudah itu dia melupakanku”, batinku kembali berucap.
Kujejakkan kaki diruangan itu. Seseorang menghampiriku. “Hai Vin kenapa lama sekali”, dia yang tadi meneleponku. Kupandanginya dan dia tampak berbeda sekali. Aku tersenyum seperti biasa. Dia menarik lenganku. “Ayo cepat”, katanya tidak mempedulikanku yang sedikit keheranan dengan tingkahnya.
Dan sekejap mata aku telah didepannya. Badan lemas tak bertulang ketika menatap matanya. Ia menjulurkan tangannya. “Hei bengong aja”, pundakku ditepuk bukan oleh dia yang ada dihadapanku tapi oleh dia yang menarikku kesini. “Iya Jas, cuma sedikit nervous”, kusunggingkan senyum, dan kuraih tangannya untuk berjabat tangan. “Lama tak bertemu, terima kasih untuk kedatangannya, oh ya kenalkan ini suamiku”, ia berkata sambil meraih tangan laki-laki disisinya. Laki-laki itu juga menjulurkan tangannya dan aku pun membalasnya.
“Terimakasih karena bersedia datang di pernikahan kami. Aku dan Rosa sangat senang. Lembaran baru telah kami buka dan kami akan menulisnya dengan indah untuk kupersembahkan pada anak cucu. Semoga kau mendapatkan kebahagian karena hadir dalam acara kami. Dan semoga seseorang terbaik memberimu kebahagian itu” katanya seolah dia mengetahui apa yang terjadi di masa lalu
“Justru sebaliknya aku yang beterima kasih kepadamu karena diundang. Semoga kalian menjadi pasangan yang bahagia. Limpahan anugerah Tuhan untuk kalian dalam doaku. Sekali lagi selamat”, segera ku menjauh.
“Jasmin, kamu mau bikin aku malu”, kesalku karena kejadian barusan. Untungnya aku bisa mengontrol diri. Beberapa orang tamu yang mengenalku mendekat. Kami bercakap-cakap berbincang tentang kabar tak kecuali tentang Rosa dan suaminya. Sebagian dari mereka adalah temanku yang tahu hubunganku dengan Rosa dimasa lalu. Tapi mereka sepertinya mengerti situasi sekarang dan tidak memperpanjang pembicaraan.

****

Bunga putih itu jatuh tertiup angin. Aku beranjak dari bangku. Mendekati sekuntum bunga yang terlentang ditanah. Angin tidak merusak bentuknya. Bunga itu seperti tersenyum. Kutahu ini adalah takdirnya untuk jatuh tertiup angin. Dan takdirnya pula untuk kupungut sebelum terinjak oleh orang lain. Kumasukkan sekuntum melati putih itu ke sakuku.
Aku berdiri dan kembali duduk dibangku. Kulirik jam tangan. Sudah setengah jam aku disini. Matahari mulai menyengat. Limpahan embun di dedaunan telah menguap. Kehempaskan punggungku disandaran bangku. Tidak seramai dulu dan tidak sehijau dulu. Kondisi taman ini telah berubah. Deretan gedung tinggi mengepungnya. Sebagian taman telah beralih fungsi karena pelebaran jalan.
Namun rerimbunan semak dan pohon disana tetap seperti apa adanya. Disana kupandangi setangkai bunga yang indah. Dan disana pula kudapatkan perasaan baru dari sekuntum yang lain. Kurogoh sakuku. Kupermainkan bunga melati yang tadi kuambil.
“Oi bengong aja”, seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh kebelakang. Kulihat dia yang sering menemaniku, berdiri tersenyum lebar menatap kekagetanku. “Jadi pergi, maaf lama menunggu”, serunya bersemangat.
Aku berdiri dan berputar menghampirinya. Kuraih tangannya. Aku tersenyum. Dia kesal karena aku tak menjawab pertanyaannya. Namun secepat kilat kuselipkan sesuatu diantara genggamanku dengannya. Kusadari dia tak mengerti maksudku. Lalu kudekatkan wajahku ketelinganya. Kubisikkan sesuatu untuknya. Dia terperangah tak percaya.
Jika tak bisa memetik mawar, ijinkan aku untuk merangkai melati,

*TAMAT*

Tentang Penulis:
Nama: Dwi Surya Ariyadi
Facebook: D Surya Ariyadi

Ketika Diam adalah Pilihan By Raja Ales Saprigus

Ketika Diam adalah Pilihan
Penulis: Raja Ales Saprigus

Pagi yang indah ketika nyanyian burung saling bersahutan. Mentari yang mulai berani menampakkan senyumnya, menambah keindahan pagi. Kesibukan di kampus pun telah menungguku. Aku pun pergi ke kampus dengan penuh semangat. Setibanya di kampus, ku melihat beberapa sepeda motor yang tersusun rapi. “Mengapa hanya ada sedikit sepeda motor di sini? Kemana ya para panitia seminar? Katanya harus datang pagi-pagi” pikirku.

Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Maksudku ingin melihat teman-teman yang lain. Tapi bukan teman-teman yang ku lihat. Ayo tebak apa coba? Gak tau kan? Trus, mau tau atau mau tau banget? Haha, bercanda teman. Ternyata yang ku lihat adalah seorang gadis berjilbab merah muda dengan kaca mata yang menghiasi wajahnya. Ia hanya tersenyum. Aku terdiam sejenak. Tiba-tiba seorang teman menyapaku. “Ales”
“Eh Ridho, baru datang ya?” jawabku.
“Iya, ke dalam lagi yuk, kita lihat keadaan di dalam” ajaknya.

Kami pun beranjak pergi. Semakin jauh ku melangkah, semakin tak terlihat senyum manisnya. Oke, berlalu sudah kisah pagi itu. Tak lama kemudian seminar pun di mulai dan berjalan sukses sampai akhir acara.
Seperti air yang mengalir, hari demi hari pun berlalu tanpa pernah akan kembali. Bayangan tentangnya sudah samar-samar di benakku. Sampai pada suatu acara yang di lakukan oleh salah satu UKMF kampus. Aku tak pernah menyangka akan dipertemukan lagi dengan dirinya. Meski aku berharap bertemu lagi dengannya. He he…
Sesekali aku menoleh ke belakang hanya untuk melihat dirinya. Aku seperti rumput yang sangat bahagia saat hujan mengguyur ketika musim kemarau. Ketika sebuah pertanyaan di ajukan oleh pembawa acara, aku ingin sekali menjawabnya agar ia mengenal siapa aku.
“Jawab atau tidak ya, jawab atau tidak ya” kebimbangan ini terus-menerus bermunculan di otakku.
Akan tetapi, sifatku yang pemalu tak bisa ku lawan. Aku tak berkutik meski ku coba melawan dengan sekuat pikiranku. Tanpa terasa acarapun selesai. Kesempatan pun berlalu.

Aku menceritakan semua yang terjadi kepada teman-temanku.
“Ki, semalam aku bertemu dengan seorang wanita berkaca mata yang manis sekali, pakaiannya muslimah lagi. Dirinya membuatku kagum Ki” ceritaku pada Riki.
“Memangnya dia dari Fakultas mana Les? Jawab Riki.
“Fakultas Tarbiyah dan Keguruan mungkin. Jawabku.
“Kapan-kapan tunjukkan kami orangnya ya” sahut Indon.
“Sip deh” jawabku.

Semenjak saat itu aku pun berharap untuk bertemu dengannya kembali. Ternyata harapan ku itu benar-benar terjadi, lagi-lagi aku di pertemukan dengan dirinya dalam suatu acara di kampus. Aku menghadiri acara itu bersama Riki.
“Ki, itu kakak yang aku ceritakan kemaren”
“Mana les?” tanya Riki.
“Itu yang pakai jilbab hijau” jawabku.
“O’oh itu, aku dengan Indon juga pernah melihatnya di Bank dekat Fakultas kita. Cantik Les” kata Riki.
Kali ini mencul rasa yang tak biasa, susah rasanya untuk melepaskan pandangan dari dirinya. Jilbab hijau yang melingkar menutupi kepalanya, kaca mata yang menghiasi wajahnya. Senyuman manisnya, busana muslimah nan anggun, mencerminkan seorang wanita muslimah.

Ketika ku terhanyut dalam lamunan, adzan shalat Ashar pun berkumandang. Kami berangsur-angsur pergi ke luar untuk menunaikan shalat ashar. Setelah selesai menunaikan shalat, aku dan Riki duduk di dalam ruangan sambil menunggu teman-teman yang lain memasuki ruangan untuk melanjutkan acara.
Kami duduk di dekat pintu masuk. Ketika asyik bercerita, panitia acara menyuruh para peserta untuk segera bergegas ke tempat duduk masing-masing karena acara akan dilanjutkan kembali. Kami pun bergegas. Aku mulai melangkahkan kaki, tiba-tiba gadis berjilbab hijau itu pun muncul dari pintu masuk. Rasa yang aneh pun mulai ku rasakan. Jantung ku berdegup kencang saat aku berjalan di dekatnya. Ayunan langkah kaki ku dan dirinya yang serentak menuju tempat duduk, sungguh aku tak pernah menyangka hal ini akan terjadi.
“Cie, cie Ales” sindir Riki.
“Apa Ki?” jawabku.
“Bagaimana rasanya berjalan disampingnya?” kata Riki.
“Jantungku serasa mau jatuh Ki. Untung saja aku gak jatuh pingsan. Hahaha” candaku.
“Lebayyyyy kamu les” kata Riki.
“Hehehe” aku hanya tersenyum.
Ketika Diam adalah Pilihan By Raja Ales Saprigus
Ketika Diam adalah Pilihan By Raja Ales Saprigus

Aku tidak bisa fokus rasanya mengikuti acara tersebut. Selalu saja aku mencari kesempatan untuk melihatnya. Yah, udah salah tempat ni. Bukannya menyimak acara, malah memperhatikan dia. Bagi teman-teman, jangan sampai hal ini terjadi pada kalian ya. Dalam mengikuti suatu acara harus fokus terhadap acara tersebut. Setujuuu? Hehe…
Tak lama kemudian acara pun selesai. Aku dan Riki pun bergegas pulang. Sesampainya di halaman luar gedung, ternyata dia tepat di depan kami.
“Ki, Ki, itu dia.” Ucapku.
“Udah lah Les, dari tadi dia aja yang kamu perhatikan” nasehat Riki.
Tiba-tiba seseorang memanggilnya dengan ucapan “Si”.
“Si?” kira-kira siapa ya namanya? Pikirku.

Aku pun pulang dengan seribu tanda tanya. Seperti jurusnya Naruto ya, jurus seribu bayangan. Hehe. Di dalam pikiranku, ada seribu tanda tanya. Tanda tanya tentang siapa nama gadis berjilbab hijau itu sebenarnya.
Aku mulai mencari namanya di facebook dengan kata kunci “Si”. Ternyata usahaku tidak sia-sia. Aku menemukan akun facebooknya. Kami pun berteman di jejaring sosial tersebut dan kemudian berlanjut ke twitter.

Semua seperti sebuah skenario yang telah tersusun rapi. Semakin hari semakin aku tak bisa lepas dari dekapan bayang-bayang tentangnya. Ku selalu teringat pada dirinya, sering menyebut namanya serta membicarakan dirinya. Sikapnya yang mungkin biasa-biasa saja bahkan tiba-tiba menjadi terasa lebih mengesankan dari pada sikap seorang sahabat yang bersusah payah membantu ku dalam menyelesaikan masalah. Aneh bukan? Ya, memang aneh. But, it is real friend. Teman-teman semua juga pernah merasakannya kan? Hayo ngaku.. ngaku aja deh. hehe. Kurasa aku telah jatuh cinta padanya. Ini adalah anggapan awalku. Tetapi ternyata aku salah. Ini bukan cinta. Aku hanya terperangkap nafsu yang telah memenjarakan akal sehatku. Nafsu untuk selalu memikirkannya, membayangkan sesuatu tentang dirinya.

Jika aku memilikinya pun, apa yang bisa ku beri untuknya? Apa yang bisa ku lakukan untuk membahagiakannya? Baru juga mahasiswa, pikirannya udah jauh menerawang tanpa kejelasan arah dan tujuan. Think again! Masa depan masih panjang. Masih banyak hal-hal besar yang bisa ku lakukan. Masih banyak tantangan dan rintangan kehidupan yang belum ku rasakan. Lagi-lagi masih banyak persiapan yang ku butuhkan untuk bisa memilikinya dengan cara yang halal bukan dengan cara biasa yang sebenarnya tak biasa dan seharusnya tak pernah ada seperti fenomena sekarang ini.

Tak bisa ku mengkhianati hatiku sendiri. Tak bisa ku berkata tidak untuk tidak memikirkannya dan tak bisa ku berkata tidak jika aku berharap bisa memilikinya. Jujur, aku ingin memilikinya, menjadikannya seseorang yang memiliki arti dan makna yang spesial. Seseorang yang akan menemani hari-hari ku hingga dunia tak akan terlihat lagi. Tetapi aku belum siap. Secara masih mahasiswa. Apa-apa masih minta sama orang tua. Jadi lebih baik aku memendam keinginan itu, membiarkannya dalam diam dan jika keinginanku ini tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata, akan kucoba untuk membiarkannya tetap diam. Jika memang ia bukan jodohku, aku yakin Allah tahu. Seiring mengalirnya air, ia akan membawa setitik demi setitik rintihan hujan mengikuti alirannya menempuh jalan nan panjang untuk sekedar melepas lelah di ujung perjalanan. Perlahan-lahan keinginan itu akan hilang dengan sendirinya dan Allah akan menggantinya dengan rasa yang lebih indah dan tepat. Akan kucoba untuk menyimpannya rapat-rapat, menjadikannya memori nan indah di sudut hati. Percayalah sesungguhnya Allah itu lebih mengetahui apa yang tidak kita ketahui.

Tentang Penulis:
Nama: Raja Ales Saprigus
Facebook: Raja Ales Saprigus
TTL : Sukaping, 26 Agustus 1994
Mahasiswa Ilmu Peternakan, Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN SUSKA RIAU 2012

Dia By Nining

Dia
Penulis: Nining

Ketika menatapnya dari jauh saja aku tersenyum, bagaimana jika aku memilikinya. Dia yang kukagumi, dia juga yang kucintai.

Langit cukup mendung, angin bertiup dengan kencangnya seperti akan menandakan hujan akan turun dengan deras. Sambil berlari-lari kecil, gadis bertubuh mungil itu masuk ke dalam sebuah cafe di pinggir jalan sambil meneteng sebuah tas gitar. Disapanya beberapa pegawai di café itu sambil tersenyum ceria, dia selalu saja seperti itu membuat energy positif di pagi hari.

Akhirnya hujan deras pun turun membasahi bumi tanpa ampun, tetapi tak mengurangi orang-orang untuk berkunjung di café itu. Ada sekitar enam orang duduk di berbagai sudut ruangan mencari posisi yang paling nyaman masing-masing sambil menyesap minuman yang mereka pesan.

Raina, nama gadis itu. Dia duduk di sudut tepat di samping jendela, matanya sibuk memperhatikan tetesan-tetesan hujan sambil memejamkan mata mencoba meresapi lagu yang ia dengarkan lewat earphone yang biasa ia gunakan. Tak lama kemudian muncul sesosok laki-laki yang selama ini menyita perhatiannya, jantungnya seperti berhenti berdetak begitupun juga dengan waktu. Sang pria berjalan menuju tempat duduk yang biasa dia duduki sambil mencoba melap tetesan air hujan yang ada di rambut dan juga bajunya. Hari itu dia tampak manis dibalutkan kemeja flannel kotak-kotak berwarna merah bata ditambah dengan jeans hitam. Dia lagi, ucap raina dalam hati sambil tersenyum.

Ini sudah sebulan ketika pertama kali pria itu menginjakkan kakinya cafe itu. Saat itu raina tengah perfom memainkan gitar akustiknya dan menyanyikan lagu favoritnya (ten2five – love is you).
Dia duduk di pojok sambil mendengarkan earphone sambil menatap keluar jendela tetapi ketika musik dan lagu riana mengalun, seketika dia menghentikan aktifitasnya dan beralih melihat raina yang sedang menyanyi dan seketika itu pula dunia raina seakan berubah, tatapan matanya itu seakan mengingatkannya pada sesuatu yang sudah lama hilang darinya, mata itu begitu teduh dan menenangkan. Siapa dia? fikir raina dalam hati.

Raina pemilik “sky café”, ini adalah peninggalan mendiang orangtuanya. Empat tahun lalu orangtuanya meninggal akibat kecelakaan pesawat yang langsung menewaskannya begitu saja. Sungguh dia begitu terpukul dan berusaha tetap bangkit meski hati tak bisa dibohongi kalau dia begitu rapuh dan seakan kesedihan dan bencana tak pernah meninggalkannya, dua tahun berikutnya pacar sekaligus tunangannya juga pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Kecelakaan itu mengakibatkan nyawa sang kekasih hilang. Frustasi? yah, itu memang tidak bisa dipungkiri. Bagaimanapun seolah ia telah ditakdirkan untuk kehilangan orang-orang yang dicintainya. Tertatih-tatih untuk berusaha bangkit, dengan kebesaran hati ia akhirnya merelakan semuanya, mungkin tuhan punya rencana lain di balik kisah itu.

Lagi-lagi pria itu duduk di sana, di tempat yang sama seperti dia sudah menandai tempat itu, tapi hari ini dia datang lebih pagi masih dengan earphone di telinganya dan segelas moccachino dan sepotong tiramishu yang menjadi menu favoritnya, raina selalu tahu itu.
Ingin sekali dia menyapa tetapi nyali dan tekadnya belum sampai. Dia selalu penasaran dan selalu saja memikirkannya.
Lagi-lagi dia…
Dia yang datang dengan tiba-tiba…
Membawakan perasaan di hati ini…
Seperti magnet, dia menarikku begitu dalam…
Tanpa ampun bayangannya selalu datang, datang di setiap mimpi-mimpiku…
Mungkinkan dia?
Dia yang dikirimkan tuhan untukku?

Namanya “Dia Sekala Bumi”, tak disangkah dan tak diduga hari itu raina bertemu dengan dengannya di sebuah pagelaran musik akustik. Hari itu lagi-lagi hujan turun dengan derasnya dan raina lupa membawa payung. Sambil menunggu hujan reda, raina berdiri di depan gedung sambil menenteng tas gitarnya, hari ini dia selesai perfom.
Dia By Nining
Dia By Nining

“sepertinya gitar itu berat”, suara itu terdengan di telinganya, raina terkesiap tatkala seorang pria tiba-tiba mengambil alih gitar dari tangannya dan tatkala mengejutkannya lagi. Pria itu adalah pria yang selalu berkunjung ke cafenya. Dia masih syok dan tak bisa berkata-kata.

“penampilanmu sangat bagus, kau dianugerahi suara yang indah”, ucapnya tersenyum tanpa memandang ke arah raina. Jantung raina berdegub kencang, dia masih syok, pria ini, pria yang selalu ia perhatikan sebulan terakhir ini akhirnya berada tepat di sampingnya. Seulas senyum manis mengukir di bibirnya “terima kasih’.

Lama tak terdengar suara, mereka berdua hanya terdiam sibuk menyelami fikiran mereka masing-masing, menatap tetes demi tetes hujan yang tak kunjung reda. Lalu raina kemudian memecahkan keheningan kembali. “kau suka musik akustik?”, ucapnya pelan. Pria itu hanya mengangguk tetapi ada sekilas kesedihan di matanya kala itu. “musik akustik, gitar dan aku seolah tak bisa dipisahkan, aku sudah menyukainya sejak kecil”. Ada kegetiran di suaranya. “tapi sekarang aku berhenti”, sambungnya masih dengan ekspresi yang sama.

“wah benarkah? kenapa berhenti?” ucap raina penasaran.
“ada sesuatu yang membuatku vakum”, ucapnya sambil memperhatikan jari-jarinya. “ketika melihatmu bernyanyi dan memainkan gitar aku seolah kembali kemasa lalu”, dia lalu menatap raina sambil tersenyum dan lagi-lagi raina terkesiap dan tak bisa menahan getaran di dadanya. Bertepatan dengan itu hujan mulai reda, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di depan mereka. Seorang pria yang bertubuh agak kekar turun dari mobil itu, dia memakai setelan berwarna hitam tampak begitu formal sambil berlari-lari kecil dia menuju ke arah mereka berdua membawakan sebuah payung yang pastinya itu bukan untuk raina tetapi untuk pria di sampinya tadi.

Dia mengeuarkan sesuatu dari dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah payung lipat berwarna biru dan memberikannya kepada raina. “ini pakailah” ucapnya sambil bergegas pergi. Raina masih terdia membisu di tempatnnya, terlalu banyak fikiran yang menyita fikirannya seolah-olah hal ini terjadi begitu cepat seperti mimpi. Sebelum masuk ke mobil pria itu berbalik kembali, raina yang masih terdiam membisu di tempatnya tampak keheranan, pria itu lalu mengulurkan tangannya “dia sekala bumi” ucapnya, ada sekitar lima detik barulah raina membalasnya “raina sky aurora”. Sedetik kemudian pria itu beranjak dan pergi meninggalkan raina dengan beribu-ribu pertanyaan di benaknya,

Sejak kejadian itu sudah hamper sebulan raina tak pernah lagi melihat “dia”, perasaan aneh bergejolak di dadanya. Dia seperti merindukan pria itu. Mungkin ini sudah takdirku, takdir yang harus kulalui. Aku harus berbesar hati kehilangan orang-orang yang kucinta fikirnya dalam hati, dan kali ini meskipun hanya sebentar dia sudah meyakinkan dirinya bahwa dia mencintai pria yang bernama “dia sekala bumi”, dia tak tahu mengapa, awalnya sugestinya membawa ingatannya kepada mantannya tetapi itu salah, dia benar-benar mencintai pria itu meskipun selama ini dia hanya bisa memperhatikannya dari jauh dan pertemuannya waktu itu seakan punya seribu arti baginya, singkat tetapi menyenangkan.

Lamunannya buyar ketika dikagetkan oleh salah seorang pegawainya yang datang membawakan sebuah amplop berwarna biru yang isinya surat. Buru-buru ia membaca surat itu.

Seperti alunan gitar yang mengalun dengan lembutnya, seperti itulah dirimu. Suara merdu dan alunan gitarmu membawakan kenyamanan hati bagi setiap pendengarnya. Kau tahu mengapa? karena kau membawakannya dari hati.
Untuk pertama kalinya aku ingin mendengar musik akustik sejak kejadian dua tahun yang lalu, dua tahun yang lalu dimana aku menghentikan bermain gitar sampai saat ini, itu begitu menyakitkan dan kau masih mengingat kataku waktu itu bahwa aku, gitar dan musik seakan tak bisa dipisahkan, tetapi kecelakaan itu telah merenggut semuanya, akhirnya jari-jari ini tak mampu lagi untuk memetik gitar dan mengalunkan nada-nada indah.

Marah? iya, aku sungguh marah bahkan aku mengutuk diriku sendiri yang sangat lalai waktu itu. Aku terlalu lemah dan menyerah begitu saja. Seakan magnet yang yang menarik sebuah besi, kau seperti itu. Tanpa disengaja aku mendengar lantunan gitar dan suara merdumu, aku bagaikan tertarik dan tak bisa mengelak dan saat itu yang aku tau aku selalu ingin mendengarmu bernyanyi dan memainkan gitar lagi dan lagi dan tatkala pentingnya aku ingin mengenalmu lebih jauh.

Terima kasih kau sudah mengubahku, terima kasih kau sudah menciptakan nada-nada indah. Ketika ditakdirkan kembali bolehkah aku bertemu denagnmu kembali dan mendengarkan kau menyanyi diiringi suara gitarmu?

Karenamu, untuk pertama kalinya aku ingin bisa memainkan gitar kembali, aku ingin berduet denganmu, aku akan bermain gitar dan kau yang menyanyikan lagu indah. maafkan aku tak sempat mengobrol banyak denganmu waktu itu karena hari itu aku akan berangkat ke jerman untuk melakukan operasi pada tanganku yang sudah dua tahun ini kutolak mentah-mentah Karena aku berfikir tak ada lagi harapan bagiku dan kau membawakan secercah harapan buatku.
Terimah kasih raina…
– Dia sekala bumi –

Sehabis membaca surat itu, tak henti-hentinya ia meneteskan air mata, perasaan di hatinya bercampur aduk, sedih, terharu dan masih banyak lagi. Seketika ada dorongan kuat untuk terus bernyanyi dan menghibur orang di sekitarnya. Dilipatnya surat itu dan bergegas mengambil gitarnya. Malam pengunjung di cafenya cukup ramai karena bertepatan dengan malam minggu. Dia segera memainkan gitarnya dan menyanyikan sebuah lagu…

Dia (anji).

Tentang Penulis:
Nama: Nining
Facebook: nining suarsinni
@instagram: niningsuarsini
@wattpad: cookiemons21

Demi Hari yang Menanti di Ujung Harapan By Ahmad Hafizin

Demi Hari yang Menanti di Ujung Harapan
Penulis: Ahmad Hafizin

Pagi itu, ketika udara terasa basah oleh embun pagi, aku memulai rutinitas mingguanku menjelajahi kota. Dengan berbekal sepatu sport, aku pun melesat menyusuri jalan setapak sekitar rumahku. Belum 100 meter aku berlari, lagi-lagi hal yang sama seperti minggu lalu kembali terulang. Aku melihat seorang gadis muda sedang menyusuri gang sempit yang ada di pertigaan jalan besar. Hal itu menjadi hal yang aneh mengingat gang sempit yang ia masuki adalah gang buntu yang tidak ada apa-apa di dalamnya. Sangat aneh pikirku, tetapi aku berusaha tidak peduli dan melanjutkan langkah kakiku.

Sudah 3 minggu sejak hari itu, dan sudah 3 kali pula aku mendapatinya masuk ke dalam gang buntu yang sama. Rasa penasaran sudah tak mampu lagi ku tahan. Dengan sedikit keberanian, aku mengikutinya. Ketika memasuki mulut gang, aku sempat terganggu dengan jalannya yang basah dan bau sampah.
“Hei, tunggu….”. kataku.

Gadis itu mengacuhkanku dan terus menyusuri gang. Setelah aku mengikutinya sampai ujung gang, aku kembali menegurnya. Tampak dia sedikit terkejut ketika melihat wajah asingku. Aku pun mencoba mencairkan suasana.
‘Hey, kamu lagi ngapain ?” ucapku basa-basi.
Demi Hari yang Menanti di Ujung Harapan By Ahmad Hafizin
Demi Hari yang Menanti di Ujung Harapan By Ahmad Hafizin

Dengan wajah tanpa ekspresi, dia pun mengabaikanku dan meletakkan bungkusan kecil yang dibawanya. Beberapa saat kemudian muncul beberapa ekor anak kucing mengerubungi bungkusan tersebut.
Gadis itu mengangkat seekor anak kucing dan mulai mengelusnya. Seketika itu, untuk sesaat aku merasakan kehangatan terpancar di wajahnya. Begitu lembut, tenang dan syarat akan kebaikan. Inilah kehangatan yang telah lama hilang dari hidupku sejak ibuku meninggal 5 tahun yang lalu.
“Kucing-kucing ini dibuang pemiliknya dan tidak punya tempat tinggal lagi”. Katanya membuyarkan lamunanku.
“Ah, jadi karena itu kamu kesini setiap minggu? Untuk memberi makan mereka?” tanyaku.
“Yah begitulah, hampir setiap hari aku ke sini. Hanya ini yang dapat kulakukan untuk mereka”.
“Ehmm, o ya, aku Ramdan”.
“Irsa”. Jawabnya pendek.
Inilah perkenalan kecil kami yang merupakan awal baru dalam kehidupanku.
Tanpa terasa hari telah sore ketika aku mengakhiri bincang-bincangku dengan Irsa. Entah kenapa aku begitu tertarik dengan gadis satu ini.
***###***

Setelah beberapa kali bertemu, aku semakin akrab dengan Irsa. Di suatu sore aku mengajaknya pulang dengan motor ninja ku. Di jalan yang lengang itu, kucoba membuatnya berkesan dengan kemampuan berkendaraku. Kupacu motorku dengan kecepatan maksimal. Tanpa kusadari, mobil sedan yang ada di depanku berhenti mendadak. Dengan kecepatan seperti ini, mustahil bagiku menghentikan laju motorku. Langsung aku berinisiatif mengambil sedikit badan jalan bagian kanan untuk menghindarinya. Tiba-tiba sebuah mobil dari arah berlawanan menabrak motorku dan mementalkan aku dan Irsa sejauh beberapa meter. Seketika aku tak sadarkan diri.

Aku terbangun di ruangan serba putih yang aku yakini sebagai rumah sakit. Tiga tulang rusuk dan kaki kananku patah, serta banyak memar-memar di sekujur tubuhku. Lalu bagaimana dengan Irsa ? aku begitu shock dan tak percaya dengan semua ini. Irsa tidak selamat.

Tidak hanya perasaan sedih, aku juga merasa kecewa, marah, gundah dan menyesal dengan semua yang terjadi. Ketika pemakaman Irsa berlangsung, aku sedikit terkejut melihat banyaknya orang yang datang. Terutama karena kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yatim piatu disekitar rumah Irsa.

Memang, aku baru mengenal Irsa selama tiga minggu, dan hanya dalam selang waktu itu aku merasa telah sangat mengenalnya, aku tidak meragukan keramahan dan kabaikan hatinya. Namun ternyata dia lebih dari yang kubayangkan. Selama ini dia tidak hanya peduli terhadap lingkungannya, ia juga ternyata aktif mengurusi anak-anak itu. Mulai dari makan, hingga sekolah mereka. Aku kagum sekaligus malu padanya. Kagum karena kesediaannya untuk berbagi dengan orang lain dan malu karena selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku sadar bahwa selama ini aku hidup sebagai pecundang yang tidak berarti.
Aku termenung dan berpikir jika Irsa hidup demi anak-anak itu, lantas aku hidup demi apa? Demi siapa?. Sekarang aku tidak punya siapa-siapa di hidupku, kecuali Irsa, Irsa Damayanti Dewi. Jadi aku putuskan akan hidup demi Irsa dan harapan-harapannya akan dunia.

Aku tidak lagi gundah, karena aku punya alasan untuk hidup. Dengan langkah pincang aku meninggalkan pemakaman sambil berucap dalam hati “demi dunia… demi Irsa Damayanti… wanita yang ku cintai”.

Belum Waktunya by Dewi Apriani

Belum Waktunya
Penulis: Dewi Apriani

Assalamu’alaikum wr.wb
Dias, sepertinya hubungan kita selama ini sudah terlalu jauh. Aku merasa terlalu banyak mudharat yang terjadi di antara kita. Mungkin lebih baik kita mengakhiri saja semua ini. Maaf…

Degg. Aku terbelalak saat membaca pesan singkat yang tertera di layar ponsel ku. Tenggorokannku tercekat seketika. Pesan yang baru saja aku terima itu benar-benar membuatku sangat terkejut. Sudah berulang kali aku membaca dan memastikan kebenaran sms itu. Bahkan aku sangat berharap itu bukan sms darinya. Namun, kenyataannya semua begitu terasa jauh dari harapan. Sms itu benar-benar dari Arif yang ia tujukan padaku. Untuk Dias dan bukan untuk orang lain.

Kepala ku hampir saja pecah saat membaca pesan itu. Dunia ku seakan terasa runtuh dan menghujam seketika. Bahkan aku tak mengerti mengapa Arif tiba-tiba mengirimkan sms itu padaku, setelah sekian lama ia tak pernah membalas sms yang aku kirimkan padanya. Apa sebenarnya maksud dari semua ini? Mengapa tak ada alasan yang jelas darinya? Bahkan dia tak memberikan sedikitpun penjelasan apa-apa padaku? Apakah aku sudah tak berarti lagi untuknya?

Sungguh, tak dapat lagi aku menahan air mata yang terbendung ini. Semua tumpah begitu saja. Aku menangis terisak, sendiri, di sudut kamar. Hatiku benar-benar hancur menangisi duka yang terasa perih ini. Ternyata, ia benar-benar tak ingin melanjutkan hubungan ini. Dia sudah mengakhiri cerita yang baru saja tertulis dalam lembaran baru. Hubungan yang telah terjalin selama lebih dari 1 tahun ini ternyata harus selesai sampai di sini. Semua cerita di antara aku dan dia, benar-benar sudah ia akhiri.

Ya Allah, salahkah jika aku menaruh hati padanya? Salahkah jika aku terus mengharapkan nya? Mengapa kenyataan pahit ini harus terjadi pada ku,di saat seperti ini? Mengapa kau biarkan bunga-bunga cinta yang baru bersemi ini tiba-tiba menjadi layu kembali? Mengapa?

Aku semakin terisak sedih. Pedih. Kecewa. Hancur. Terluka. Semua rasa itu berkecamuk menyatu dalam dada. Sesak, terasa sangat menyakitkan batinku.


12 Juli 2010

Krringg!!!

Jam beker ku berbunyi di angka 04.15, menandakan waktu subuh telah tiba. Seruan umat di kala senja itu, telah berkumandang sejak beberapa menit yang lalu. Dengan mata yang masih belum terbuka sempurna, aku bergegas mengambil air wudhu untuk segera menunaikan shalat subuh di mushola. Seperti biasa, aku tak pernah lupa untuk membawa mushaf kecil yang akan aku gunakan untuk tilawah begitu usai shalat nanti. Dan begini lah rutinitas ku sehari-hari di setiap pagi. Aku selalu terbiasa memanfaatkan waktu senja ku itu untuk menunggu pagi menjelang sebelum aku berangkat ke sekolah. Setidaknya mengisi waktu luang untuk mencari pahala dan kebaikan.

Pukul 06.15. Aku sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Suasana jalan Kartini yang biasa aku lewati pun masih terlihat begitu sepi, berkabut dengan udara pagi yang masih terasa dingin. Lalu lalang kendaraan belum lah memadati jalanan itu. Aku justru memperlambat kelajuannya untuk dapat menikmati suasana perjalananku menuju sembari merasakan dingin nya udara jalanan di pagi hari yang cerah ini. Hembusan angin begitu terasa tajam merasuk dalam tubuhku. Aku sangat menikmati suasana ini. Namun ketika aku berada di tengah perjalanan, kenikmatan itu tiba-tiba hilang saat terjadi sebuah insiden tak terduga yang menimpaku.

Brrukkk…

Sebuah sepeda motor tiba-tiba menyerempetku dari arah belakang, membuat laju motorku menjadi tak terkendali. Seketika itu juga aku terjatuh, tersungkur di jalanan beraspal.
“Aduhhh…” seru ku keras.

Ku lihat si pengendara motor yang baru saja menyerempetku itu berhenti tepat di sampingku. Ia mematikan mesin motornya dan segera menolong aku yang terjatuh.
“Kamu ga papa?” sebuah suara muncul dengan samar-samar dalam pendengaranku.
“Apa? Seenak nya saja dia bilang ga papa. Ga lihat apa aku jatuh tersungkur begini,” batinku kesal.
“Kamu tu…” Aku menengadah dan… Oh Tuhan! Sesosok malaikat tengah menatapku dengan mata indah nya. Begitu tampan dan membuatku mendadak terdiam dan terpaku saat menatapnya. Sungguh, baru pertama kali aku melihat sesosok yang begitu sangat sempurna.
“Hei?” malaikat itu melambaikan tangannya di depan wajahku. “Maaf, kamu nggak pa pa? Ada yang luka?” tanyanya lagi. Dia benar-benar menatapku saat itu.
“Eh? Oh.. I.. Iya, aku nggak pa pa.” Jawabku pelan. Aku segera bangkit sambil mendirikan motorku yang terbalik. Dia juga membantuku dan entah mengapa tiba-tiba jantungku berdegup sangat kencang kali ini, saat menatap dia dari dekat.
“Maaf udah buat kamu celaka. Aku tadi agak melamun. Apa kamu terluka? Motormu bagaimana?”
“Nggak, kurasa semua baik-baik saja,” kataku yang masih linglung.
“Mm…maaf, begini saja, ini no ponsel ku. Jika nanti di cek ternyata ada yang nggak beres, hubungi saja aku.
“Mm…maaf, aku bukanya mau kabur, tapi kebetulan sekarang aku sedang terburu-buru. Atau mungkin aku bisa minta nomor ponsel mu,” ucapnya mengeluarkan secarik kertas dan pena.
“Eh?” aku terhenyak sesaat.
“085728562369,” jawabku pelan.
“085728562369 Ok. Nanti kuhubungi ya” ucapnya. Aku mengangguk pelan.

Cowok itu pergi setelah berpamitan sembari menebar senyum indah nya padaku. Sungguh, ini pertama kali nya aku melihat sesosok malaikat tampan yang baik hati. Tuhan, kenapa kejadian tadi begitu cepat? Andai saja bisa di ulang, ku ingin menatap nya lebih lama, batinku berandai-andai.
Belum Waktunya by Dewi Apriani


SMA N 2 Pembangunan. Sebuah sekolah menengah atas dengan akreditasi nya yang sangat baik ini, memiliki bangunan sekolah yang terlihat sangat luas. Gedungnya terbentang dari ujung utara hingga selatan yang berdekatan dengan kantor Kejaksaan. Tampak dari depan, terdapat lapangan basket yang terletak di tengah bangunan sekolah. Tepat di sebelah utara, ada enam ruang kelas berlantai dua yang berjajar rapi. Terinci dari ruang kelas PKN hingga berujung ke ruang kelas bahasa Jawa. Sebuah taman yang tertata sedemikian rupa, terlihat begitu rindang dan asri, menghiasi lingkungan sekolah dengan teduhnya. Jelas sekali tercermin bahwa sekolah ini merupakan sekolah berbasis adiwiyata.

Aku segera bergegas menuju kelas ku yang terletak di depan aula. Ruangan nya tak jauh berbeda dengan ruang kelas lain. Tertata rapi dengan whiteboard yang terpasang di depan.

Aku hampir saja terlambat 5 menit untuk masuk kelas jika tidak cepat bergegas. Sesaat setelah itu, seorang guru pun masuk dalam kelasku. Seorang pria dengan seragam dinasnya berdiri di depan kelas menerangkan rumus matematika di jam pelajaran pertama ku. Beliau begitu terlihat serius dan sangat berwibawa. Bapak Suhirman, dialah guru Matematika yang saat ini sedang berdiri di depan kelas.
“Pembayaran yang dilakukan dalam pembelian tersebut adalah lima persen jika…”

Aku memandang papan tulis putih yang sedang di tulisi angka-angka oleh Pak Herman saat menerangkan matematika bab jual beli. Tapi pikiranku saat ini sama sekali tak tertuju pada rumus itu, angka ataupun persen lain nya, melainkan pada sesosok manusia yang menyerupai malaikat yang telah Tuhan pertemukan dengan ku pagi tadi. Masih ku ingat saat ia menebarkan tersenyum indah nya padaku.
“…sedangkan jika di diskon 15%, maka harga belinya sebesar sepuluh…?”
Aargghh!! Apa-apaan aku ini? Apa yang kau pikirkan, Dias? Fokus lah..
“Apriani Dias Ramadhani. Coba, berapa harga yang harus di bayar setelah di diskon?” tanya pak Herman tiba-tiba. Semua pandangan kelas tertuju padaku.
“Eh? Berapa ya? Sepuluh, pak,” jawabku sekenanya. Setidaknya tadi pak Herman sempat mengatakan itu.
“Sepuluh apa?”
“Sepuluh… juta, Pak,” kataku pelan.
“Ya, benar. Benar dugaan saya jika kamu tadi melamun,” ujar pak Herman. Kontan seisi kelas tertawa. Pak Herman menatapku geleng-geleng. Hanya aku yang tertunduk malu tanpa bisa berbuat apa pun.

***

Aku menghela nafas panjang. Pikiranku terfokus pada kejadian yang baru saja aku alami tadi pagi. Sekilas teringat olehku sesosok malaikat penolong. Ya, malaikat penolong yang aku sendiri lupa untuk menanyakan siapa namanya. Aku tersenyum sendiri mengenang kejadian itu.
Beep… beep…
Sebuah pesan masuk membuyarkan lamunanku. Nomor baru. Aku mengkerutkan kening penuh tanya. Tanpa pikir panjang, aku segera membuka pesan itu. Mataku terbelalak seketika membaca isi pesan yang tertera. Dia?
Oh Tuhan, mungkinkah ini hanya mimpi? Dia menghubungiku? Batinku tersenyum girang.

From: 085729098765
Assalamu’alalaikm. Hai, aku Arif, yang tadi ga sengaja nabrak kamu di jalan. Maaf, tadi buru-buru. Gimana keadaan kamu sekarang?

Aku tersenyum membaca sms itu. Arif. Malaikat penolong itu ternyata bernama Arif. Seketika juga, tangan ku tergerak untuk menyimpan nomor dan membalas sms darinya.

To: Arif (085729098765)
Wa’alaikumsalm. Alhamdulilah. Aku baik-baik saja. Ga pa pa kok, santai saja.:)

From: Arif (085729098765)
Syukurlah kalau begitu. Engg… kalau boleh tau, siapa nama kamu? Jika di lihat dari seragam yang kamu pakai tadi, sepertinya kamu siswa SMA N 2 Pembangunan.

To: Arif (085729098765)
Namaku Dias. Iya, aku dari SMA 2 Pembangunan. Kamu sendiri dari SMA mana? Dan kalau boleh tau juga tadi kenapa kok buru-buru? Takut telat ke sekolah ya? hhe

From: Arif (085729098765)
Aku dari SAPA. SMA N 1 Pembangunan. He he iya, maklum jam pertama ada ulangan, jadi harus persiapan. Eh… dengar-dengar SMAPA ada lomba nulis puisi yaa? Pendaftarannya sudah di mulai belum?

To: Arif (085729098765)
Ohh.. gitu. Iya, kebetulan aku yang jadi panitianya. Pendaftarannya baru-baru ini di buka kok. Kenapa? Mau ikutan ya? Boleh loh, hhe

From: Arif (085729098765)
Iya. Ni besok mau ke sana buat ikut lomba sekalian daftar. Wah, kebetulan sekali, hhe. Oke aku daftar sama kamu yaa. Engg.. insya Allah besok siang aku mampir kesana untuk ngurus berkas-berkasnya. Makasih sebelumnya.

Aku tersenyum. Semua ini terasa bagai mimpi. Sesosok malaikat yang baru saja aku kenal itu, besok akan datang ke sekolah untuk daftar lomba. Itu artinya aku akan bertemu lagi dengannya. Ya, bertemu dengan malaikat baik hati yang bernama Arif.

Senyumku terkembang lepas seketika itu. Sudah tidak sabar rasanya menunggu hari esok hanya untuk bertemu dengan Arif, si malaikat penolongku.

Pagi ini aku semangat untuk berangkat ke sekolah. Tidak seperti biasanya, aku berkaca mematut diri di depan cermin seperti ini. Diam-diam ku perhatikan baik-baik penampilanku. Sejenak, terlintas olehku bayang-bayang tentang cowok itu. Arif. Entah mengapa aku kembali memikirkannya.
“Dek, cepetan dong turun. Udah siang, nih,” teriak kak Ahmad dari balik pintu. Lamunanku pecah seketika. Aku bergegas menyambar tas dan menyusul kak Ahmad yang sudah menunggu di luar untuk segera berangkat ke sekolah.

Dari kejauhan aku melihat sesosok Arif berjalan ke arahku. Bagiku, Arif yang kemarin, masih sama dengan Arif yang sekarang. Ia terlihat sempurna meskipun dengan penampilannya yang sederhana.
“Assalamu’alaikum wr. wb,” sapa Arif pelan.
“Wa’alaikumsalam, wr. wb, datang sendirian?”
“Enggak. Aku sama teman, tapi dia telat. Mungkin sebentar lagi datang. Oh, ya ini berkas-berkas pendaftaran yang di minta. Kalau ada yang kurang, kamu bilang aja. Biar langsung segera aku lengkapi,”
“Bentar ya, aku periksa dulu,”

Tidak membutuhkan waktu lama bagiku untuk memeriksa berkas-berkas itu. Entah mengapa hatiku berdegup saat aku beralih menatapnya. Pandangan kami bertemu sesaat.
“San, maaf telat. Udah lama nunggu ya?”
“Enggak. Ini baru saja datang. Kebetulan langsung menemui panitianya,”

Aku menoleh dan beralih. Sesosok sahabat lama tiba-riba muncul di hadapanku. Ia tak begitu asing bagiku, karena aku mengenalnya dengan baik.
“Farah?”
“Dias?”

Arif beralih memandang ke arahku dan Farah. Sepertinya ia bingung melihat kami berdua.
“Kalian berdua saling kenal?” tanya Arif heran.
“Kenal. Baik malah. Dias ini teman dekatku waktu SMP dulu, San,”
Aku tersenyum menatapnya. Dan lihat, dia membalas senyumanku, seolah mengerti.
“Tuhan, betapa sempurnanya dia. Senyumannya benar-benar menjatuhkan,” batinku dalam hati.


Perkenalanku dengan Arif bisa di bilang singkat. Semua itu bermula dari kejadian yang tidak sengaja. Dan entah mengapa hubunganku dengannya tetap berlanjut sampai saat ini, hingga pada akhirnya pesan itu datang merubah segalanya.
“Dek, kamu kenapa?” sapa seseorang dari balik pintu.
“Kak Ahmad…”
“Hei, apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?”
“Arif, kak. Dia mengakhiri semuanya,” aku semakin terisak.
“Tunggu, tunggu. Mengakhiri? Bukannya kalian ga pacaran?” tanya kak Ahmad heran.
“Emang enggak, kak. Tapi kan kita deket,”
“Oh, jadi begitu. Iya, kakak ngerti. Berarti kamu nangis itu gara-gara dia?” tanya kak Ahmad lagi. Aku mengangguk pelan. Ku perlihatkan sms yang baru saja aku terima pada kak Ahmad. Namun, laki-laki yang berada di hadapanku ini justru menertawakanku.
“Ya, ampun, dek. Masalah begitu saja langsung nangis. Dasar cengeng,”
“Ih, kak Ahmad bukannya menghibur, malah menjatuhkan. Pakai ketawa lagi,”
“Hehe bercanda. Lagi pula apa untungnya sih menangis karena cowok? Coba deh kamu pikirkan. Kamu sama Arif itu hanya berteman, tidak lebih dan tidak kurang. Kita juga tahu kalau dia itu ketua rohis. Catat. K-E-T-U-A. Jadi wajar dong kalau dia berkata seperti itu sama kamu,”

Aku terdiam. Apa yang kak Ahmad ucapkan memang benar adanya. Bahkan aku malah mengesampingkan hal itu. Tidak seharusnya aku meratapi nasib hanya karena kehilangan seperti ini.
“Jika kalian jodoh, pasti juga akan kembali lagi,” lanjutnya tersenyum. Pikiranku sedikit menemukan titik terang darinya.
“Aku pikir kakak benar. Tidak seharusnya aku sedih dan menangisi semua ini,”
“Nah, udah sadar kan, sekarang. Makanya berhenti tu menangis darahnya. Belum waktunya tau kamu beginian,”
Seuntai senyuman tipis terkembang dariku. Meskipun hati ini terasa sakit, namun aku akan mencoba untuk melupakan semua ini. ya, dengan langkah yang baru dan lembaran yang baru.

Tentang Penulis:
Nama: Dewi Apriani
Facebook: Dewi Apriani

Kumpulan Cerita Cinta Tergokil

Kumpulan Cerita Cinta Tergokil - Cinta adalah sesuatu yang diaugrahkan oleh Tuhan Kepada kita manusia. Karena cintalah semuanya jadi segalanya, yang tidak mungkin pun akan menjadi mungkin. Peryakah?

Memang dalam hidup, cinta mungkin sudah menjadi sebuah tujuan demi menggapainya kita rela melakukan apapun dan bagaimana pun keadaan kita pasti akan mengejar yang namanya cinta. Berbagai macam cerita cinta dalam kahidupan ini sudah banyak yang mendapatkannya dan banyak pula yang sampai saat ini pmasih ingin mendapatkannya demi hidupnya ynag di penuhi cinta.

Mungkin otak kita tidak akan bisa sampai menguraikan apa arti dari cinta, dan yakinlah di setiap hidup ini semua orang memiliki cerita cintanya masing-masing. Seperti cerita cinta yang telah di rangkum dalam situs Cerita Dejavu ini yang asli kiriman dari orang-orang yang ingin membagi cerita cintanya kepada orang lain. Betapa ia ingin menceritakan kehidupan cintanya. Atau mungkin semua cerita ini bukan sekedar dari kehidupan pribadinya melainkan dari apa yang ia lihat di sekelilingnya.

Mari kita pelajari apa menurut mereka Cinta dari cerita pendek yang telah di rangkum dalam situs ini:
Kumpulan Cerita Cinta Tergokil

Kumpulan Cerita Cinta Tergokil:


Bagi para pembaca yang ingin juga berbagi cerita cintanya, silahkan kirimkan ke situs ini, semoga dengan berbaginya cerita semua orang akan terinspirasi dan yang terpenting adalah membuat orang lain bermanfaat karena kita.

Caranya gampang, tinggal klik menu KIRIM dan ISI form yang telah kami sediakan, bagi yang lolos kategori penilaiannya akan kami publish di situs ini, seperti mereka.

Dan Masih banyak lagi cerita lainnya di situs ini!
ada Cerita Sedih, Cerita Insfiratif, Cerita Motivasi, Cerita Islami, Cerita Romantis dan Lainnya. Karya Asli anak bangsa Indonesia.

Salam Cerita Dejavu!

Kumpulan Cerita Sedih Terbaru

Kesedihan adalah salah satu perasaan yang kebanyakaan orang tidak ingin memilikinya, karena kesedihan yang hadir dalam hidup kita akan mempengaruhi segala aktifitas kehidupan kita dalam sehari-hari. Namun tidak bisa dihindari bagi kita yang masih hidup di dunia ini yang masih memiliki perasaan. Karena kesedihan adalah sifat dan perasaan mutlak yang dimiliki oleh manusia. Setiap orang memiliki cerita sedih dalam hidup, entah dimasa lalu kelam yang tidak ingin lagi kita ceritakan kembali kepada orang lain bahkan untuk di kenang oleh dirinya sendiri.

Cerita sedih yang menghantui setiap orang yang pernah memilikinya hadir karena dua faktor. Yang pertama karena diri kita sendiri, yang timbulnya sebagai penyesalan dalam hidup dan tidak ingin kejadian tersebut terulang kembali. Yaitu karena perbuatan kita sendri kepada orang lain. Lalu, cerita sedih faktor yang kedua disebabkan karena di luar diri kita sendiri, yang tidak ingin kita lakukan namun hal itu natural karena kehendak di luar kita sendiri, atau karena garis kodrat yang terjadi begitu saja padahal kita sendiri tidak melakukannya. Yaitu karena orang lain kepada kita sendiri.

Banyak orang yang mungkin tidak seberuntung kita, karena begitu pedihnya ujian kehidupan yang di alami mereka sehingga banyak kesedihan yang membalut hidupnya. Cerita sedih mereka akan membuat kita sendiri termenung betapa beruntungnya diri kita dibandingkan mereka yang tidak seperti kita saat ini. Lewat certa sedih ini kita merenung sejenak, dan cobalah tengok di luaran sanah, bagaimana ia melewati kehidupan mereka yang begitu pedih. Dan pertanyaan untuk kita apakah kita sendiri bisa melewati kesedihan tersebut, ataukah kita sendiri yang akan kalah, hidup kita akan selalu bersemayam kesedihan.

Dibawah ini telah kami rangkum cerita sedih untuk kita pelajari dari mereka-mereka:

Kumpulan Cerita Sedih di Tahun 2016


Semoga cerita sedih ini bisa memberikan banyak hikmah atau pelajaran kepada kita semua, agar kita lebih bijak lagi dalam menjalani kehidupan ini. Ketika kita bersedih janganlah kita berlarut-larut terbenam dalam kesedihan, namun hendaklah kita selalu tersenyum karena di dunia ini terlalu indah untuk kita tangisi.

Jangan lupa lihat cerita-cerita lainnya, dan jika sahabat dejavu ingin berkontribusi berbagi cerita, kirmimkan ke kirim cerita di situs ini, dan kami akan menayangkannya.

Kupu-Kupu Kertas By Eka Sulistiyowati

Kupu-Kupu Kertas
Penulis: Eka Sulistiyowati

Tujuh tahun telah berlalu namun aku masih mengingatnya. Wanita yang tampak begitu sederhana di mataku. Wanita yang sering mengiringi langkahku dengan semangat juangnya yang tinggi. Wanita itu menganggap hidup ini terlalu sempurna untuk di anggap sebagai suatu permainan. Sebagai anak dari keluarga berkecukupan aku kurang tahu bagaimana susahnya bertahan hidup di kota besar seperti Surabaya. Biaya sekolah yang tinggi tidak menyurutkan semangat kedua orang-tuanya untuk menyekolahkan anak perempuannya. Padahal zaman dulu wanita adalah makhluk yang hanya cukup tahu tentang rumah, pintar memasak dan berbakti pada suami.

Namanya Maesa Djarwati, nama yang cukup kalem. Kenyataannya Maesa adalah wanita tomboy dengan segala keunikannya. Ia sering menemaniku bermain basket, catur, voli bahkan sepakbola. Ia pribadi yang menyenangkan. Kebiasaanya yang sampai detik ini yang tak bisa aku lupakan adalah menggambar kupu-kupu. Ia senang sekali menggambar kupu-kupu kemudian membuat corak pada sayapnya serta memberi warna yang indah. Tak mau kalah dengannya aku sering membuat gambar bunga tapi gambarku lebih sederhana karena aku hanya menggoresnya dengan pensil 2B. Ia suka sekali dengan gambar buatanku, bahkan ia pernah meminta satu gambar bungaku. Untuk kenang-kenangan, katanya saat itu.

Aku tidak tahu perasaannya terhadapku. Ia memiliki banyak teman laki-laki. Ia pun tidak pernah ambil pusing apabila teman-teman sering mencomblangkan kami berdua. Ia tetap berjalan sesuai prinsip hidupnya, tidak akan pacaran. Menurutnya pacaran itu mendekati zina. Aku merasa aneh dengan apa yang ia katakan. Bayangkan saja wanita tak berhijab dan sebagian besar hidupnya bersama laki-laki berbicara tentang zina. Munafik sekali. Tapi sebagai sahabat aku hanya tersenyum mendengar ocehannya kala itu. Perkataannya memang benar hanya saja ia tidak bisa mengoreksi diri sendiri. Ini membuatku sedikit muak melihatnya.



Aku bermain dengan putri pertamaku yang kuberi nama Aisyah Almira Esaputri. Istriku selalu marah ketika aku memberi hadiah mobil-mobilan ataupun bola pada putri pertamaku ini. Istriku ingin kelak Aisyah akan menjadi wanita yang kalem seperti dirinya, wanita yang sholihah. Justru ini yang sering membuatku bertanya-tanya tentang keberadaan Maesa. Di mana Maesa saat ini?, apakah ia juga sudah menikah?. Apakah ia juga bisa berubah menjadi wanita yang kalem?. Jujur saja walaupun Maesa tomboy tapi kemampuan memasaknya jauh lebih baik dari istriku. Bagaimana aku bisa tahu? Tentu saja aku tahu, aku sahabatnya. Penampilan itu sangat bisa menipu, bukan?

Istriku bernama Hafifah Alfitriyah, tentu saja aku mengenalnya sebagai pribadi yang cocok untuk di jadikan istri. Hafifah sangat santun, pandai mengaji dan berhijab.

Tunggu, sebenarnya Maesa juga pandai mengaji. Maesa adalah wanita yang cerdas, ia mengerti hukum-hukum islam secara kaffaah, ia terkadang memiliki perhatian yang berlebihan. Aku masih ingat saat menderita sesak napas ketika liburan kelulusan SMA, ia memang tidak bisa memberi perhatian khusus namun aku tahu ia selalu mengawasiku. Bahkan aku bisa merasakan ia sangat dekat denganku. Mungkin ia terlihat cuek tapi matanya sangat cemas menatapku. Ya Tuhan mengapa aku sering membandingkan Maesa dengan istriku.
“Kamu masih mengingat Maesa, Mas?” tegur Hafifah
“Tidak” elakku
“Kamu bohong Mas, aku bisa melihat dari caramu memperlakukan putri pertama kita.”
“Aku tidak bermaksud untuk begitu Fifah”
“Tapi aku bisa melihat kerinduanmu pada sosok Maesa. Aku cemburu Mas”
Kupu-Kupu Kertas By Eka Sulistiyowati
Kupu-Kupu Kertas By Eka Sulistiyowati

Kini aku bisa merasakan bahwa Maesa pun terluka saat ia tahu aku menikah dengan Hafifah. Tapi saat itu aku benar-benar tidak tahu perasaannya terhadapku. Aku pikir ia telah menemukan sandaran hidup yang tepat. Ternyata ia mengatakan bahwa sebenarnya ia sangat cemburu dan tidak percaya aku menikah dengan kekasihku, Hafifah. Ia mengatakan bahwa sampai detik di mana aku memutuskan untuk menikah, ia tidak pernah menjalin kasih dengan siapapun, bahkan cuma diriku satu-satunya lelaki yang paling tahu tentangnya. Apakah aku telah melukai hatinya. Mengapa luka kini berbalik menghujam diriku ketika tiada satu kabarpun tentang keberadaan Maesa.

“Mengapa Mas tidak menemui Maesa? Apakah ia telah bersuami?”
“Aku tidak tahu di mana dirinya dan bahkan aku tidak tahu apakah ia telah menikah.”
“Kamu masih mengharapkannya?”
“Maksud kamu apa, Fifah?”
“Mas aku benar-benar iri pada Maesa. Tiap waktu kamu selalu memujinya.”
“Maafkan aku Fifah, aku tidak bermaksud untuk menyakitimu”
“Apakah jika Maesa belum menikah Mas akan menjadikannya istri kedua? Jika itu bisa membuat Mas bahagia, aku ikhlas”

Kulihat titik air mata di pipi istriku. Ingin sekali aku menghapusnya tapi bayangan tentang Maesa membuatku hanya menatap kaku wanita yang telah dua setengah tahun mengisi kehidupanku.

“Fifah, aku tidak ada niatan untuk poligami”
“Tak apa Mas, aku juga tidak ingin melihat Mas terus-menerus bersedih”

Inikah pengorbanan seorang wanita. Bahkan aku sekarang bisa membayangkan pengorbanan hati Maesa untuk egoku menikahi Hafifah. Apakah ia menangis saat itu, apakah ia membuang semua kenangan denganku, apakah ia sangat membenciku.
“Kamu satu-satunya wanita yang akan mendampingi hidupku, Fifah. Tidak akan terganti”
“Percuma jika hatimu masih untuk Maesa”

Aku tak bisa bicara lagi. Aku tidak ingin rumah tanggaku berselisih hanya karena kehadiran Maesa dalam otakku. Namun mengapa nama Maesa selalu menghantuiku. Apakah Maesa masih belum bisa melepaskanku?

Kubakar kupu-kupu kertas pemberian Maesa tujuh tahun lalu. Aku berharap dengan ini aku bisa melupakannya. Apakah ia juga telah membakar gambar bunga yang kuberikan padanya di hari ulang-tahunnya ke tujuh belas. Ya Tuhan, mengapa aku bisa merasakan rasa sakit yang mendalam di hati Maesa. Ya Tuhan lindungilah setiap langkah kaki Maesa, berikan padanya suami yang jauh lebih baik dari diriku, yang bisa menjaga serta menyayanginya. Semoga ia menemukan kebahagiaan, meski tanpa diriku.
Kulihat istriku sibuk menyiapkan makan malam.

”Ada yang bisa aku bantu, Sayang?” tanyaku
”Iya bantu habisin masakanku. Aku harap Mas suka nasi goreng buatanku”
”Pakai pala?”
Istriku menggeleng. Andai saja ia Maesa pasti ia tahu nasi goreng seperti apa yang aku sukai. Aku tersenyum mengingat bayangan Maesa.
”Ada apa Mas? Kok tiba-tiba senyum simpul seperti itu?”
Aku menggeleng pelan. Cuma ingat sesuatu, pikirku. Aku cuma ingat seorang Maesa. Maafkan aku istriku

Untukmu By Firdausi As-Syuja'y

Untukmu…
Nama: Firdausi As-Syuja'y


Kulempar tas ke atas amben kamar, kusertakan diriku kemudian, meluncur, tanpa daya. Ku biarkan lelahku memudar, nafasku berangsur normal. Ku pejamkan mata, satu detik, dua detik, tiga detik, ah, tidak bisa!

Pikiranku masih terpenuhi bayangan wanita itu. Wanita yang baru saja membelai lembut pipiku yang kini basah oleh peluh, lembab oleh debu, yang mungin sebentar lagi akan tumbuh jerawat. Benar saja, karena sudah tiga hari ini malas rasanya membersihkan muka dengan facial foam, atau apalah namanya. Hhmmhh, siapa peduli? Biasanya wanita itu, wanita itu yang selalu peduli! Sebentar – sebentar bilang, “Sudah mandi? Jangan lupa pakai facial foamnya!”, “Rambutmu sudah mulai gondrong. Kau akan terlihat lebih tampan jika kau potong rambutmu!”, “Jambangmu sudah mulai lebat, apa tidak lebih baik jika kau rapikan?” dan bilang, “kau terlihat kurus bulan ini! Makanlah sedikit banyak! Jaga kesehatanmu!”

Oh, wanita itu. Sepertianya dialah satu – satunya manusia di dunia yang paling perhatian padaku, melebihi diriku sendiri. Wanita itu, yang kini terbaring lemah, sendiri di ruang serba putih itu, sepi.
Tak bisa ku berlama – lama. Ku harus bergerak cepat. Wanita itu kini menungguku dan aku menunggunya untuk kembali memberi seluruh perhatiannya kepadaku. Meski ku akui, dalam kondisi dimana akulah yang harus memberi perhatian lebih untuknya, dia tetap seperti dulu, dia wanita terbaik. Ku paksa kakiku yang kini masih kram, punggungku yang masih linu, dan ragaku yang masih ingin bersantai di atas amben untuk bangun. Ku bergegas menuju almari, kubuka toples tempat alternativeku menyimpan uang selama ini. Tak sabar ku tuang semua isinya. Ratusan ribu, lima puluhan, dua puluhan, hingga koin – koin seratus rupiah ku hitung, jangan sampai ada yang ketinggalan. Semua ada Rp. 2.075.500,00 dan jika aku gabung dengan uang yang baru saja ku tarik dari mesin ATM tadi ada…, “Hmmm…, Tuhan…, masih kurang, masih belum ada separuhnya!”

Ku telungkupkan sepuluh jariku ke muka. Ahhh, tak bisa ku menahan air mata ini. Tak tahan. Oh, kasihan sekali wanita itu…, dia melakukan semua untuk ku. Kenapa di saat dia butuh bantuan, aku tak bisa membantunya?

***

Gontai ku telusuri lorong demi lorong bangunan yang dominan dengan warna putih ini, bangunan yang memiliki bau yang khas, bangunan yang tak satupun manusia ingin bertempat tinggal di sini tapi kenyataannya bangunan ini selalu ramai dihuni banyak manusia. Rumah Sakit, nama yang cukup aneh untuk sebuah bangunan. Entah bagaimana sejarahnya dulu, bangunan ini dinamakan Rumah Sakit. Entahlah! Hal itu tidak begitu penting.

Akhirnya sampai juga di ruangan ini, ruangan dimana Wanita itu berada. Ternyata sekarang dia sedang terlelap. Dengan berjinjit ku menuju kursi di samping pembaringannya. Kupandangi wajahnya yang kini tampak pucat. Oh, sudah lama sepertinya ku tidak memandangi wajahnya sedekat ini. Entah kapan tepatnya. Begitu tumpul otakku hingga kini ku tak kuasa mengingatnya!

Meski pucat, ia masih terlihat cantik. Yah, dialah wanita tercantik di dunia, paling tidak itu menurutku. Tak kan bosan setiap mata yang memandangnya, karena aura keteduhan yang senantiasa terpancar dari wajahnya. Satu detik, dua detik, tiga detik, Hmm, mataku mulai berkaca, dan lagi – lagi ku tak kuasa menahannya. Wanita ini, sungguh, bukan hanya wajahnya yang cantik. Namun juga hatinya begitu mulia. Dia selalu tersenyum, bahkan saat terlelap. Padahal ku tahu persis, separuh lebih dari jalan hidupnya adalah kepahitan.

Ku raba telapak tangannya. Bagai hanya tulang berlapiskan kulit yang tak lagi muda. Ku sentuhkan telapak tangan itu pada bibirku. Wanita ini…, Ibu…
Untukmu By Firdausi As-Syuja'y
Untukmu By Firdausi As-Syuja'y

Kini terbayang kembali, sembilan belas tahun lalu…
Hari – hari ibu jalani dengan menyapu, mencuci, memasak, mengelap keramik – keramik mewah, tentu saja, keramik – keramik mewah itu bukan milik kami. Bukan juga keramik, bukan juga semuanya, karena tidak ada yang ibu miliki. Ibu hanya seorang pembantu rumah tangga, pembantu rumah tangga yang baik. Ku sebut demikian bukan hanya karena aku adalah anaknya, akan tetapi lebih karena kreadibilitas dan kenyataan yang menggemakannya. Jika tidak, mana mungkin Ibu bisa bertahan selama tujuh belas tahun di rumah mewah itu? Sang pemilik rumah sangat mempercayai Ibu, Ibu diangkat sebagai kepala pembantu di sana. Tuan dan Nyonya (begitu Ibu memanggil mereka, dan aku menginguti Ibu menyebut nama mereka seperti itu)tidak hanya baik pada Ibu, tapi juga padaku. Tak jarang mereka memberi uang jajan, bahkan hadiah di setiap dikenaikan kelasku dulu. Percayakah kalian? Sejak SD hingga SMA aku selalu meraih juara pertama? Dan juara pararel di setiap tahunnya? Tapi apapun hadiah yang diberi oleh Tuan dan Nyonya, bagiku hadiah terindah adalah hadiah dari Ibu. Sebuah kecupan di ubun kepala, dengan satu dua linang air mata. Entah mengapa Ibu selalu menangis di moment seperti itu. Tapi tak apa, itu bisa menjadi modus bagiku tuk menghapus air matanya, yang otomatis meraba lembut pipinya.

Tujuh belas tahun, bahkan lebih dari itu, Ibu membanting tulang sendiri untuk ku. Aku yang kini hanya bisa menatapnya sayu.
Hingga akhirnya aku masuk salah satu Universitas ternama di kota (Terima Kasih Tuhan, karena kemurahan – Nya aku mendapatkan beasiswa delapan semester di Universitas itu). Tak pantas bagiku tuk meminta uang saku pada Ibu. Maka ku putuskan kerja paruh waktu. Di sela – sela jam kuliah, ku menjual koran di jalanan, di pasar tradisional, dan tak jarang masuk ke bus – bus lokal. Setelah perkuliahan selesai aku mengajar privat di perumahan dekat kampus, dan malamnya aku ikut menyapu di stasiun antar kota. Sampai suatu ketika aku merasa tabungan ku cukup. Ku sewa segotak kamar di komplek sederhana dekat kampus. Ku boyong Ibu tuk tinggal menemaniku, saatnya Ibu istirahat, menikmati masa tuanya. Meski tak seindah masa tua masyarakat lainnya yang tinggal di komplek itu.

Dua tahun kami lalui di kota baru ini dan tiada masalah yang berarti. Sampai suatu pagi ku temui Ibu tersungkur di samping amben kamar kami. Ibu bilang beliau sudah tua, orang tua biasanya gampak capek meski tak banyak yang mereka lakukan. Aku hanya meng ‘iya’kan saat itu. Yah, ku sadari bahwa tua adalah keniscayaan, dan orang tua biasanya seperti yang Ibu bilang, mereka tidak lagi sekuat diusia muda mereka. Sejak hari itu wajah Ibu mulai memucat. Gerakan Ibu juga mulai melamban, beliau lebih sering duduk diam atau berbaring. Aku mulai khawatir. Dan kekhawatiranku terbukti saat tiga hari yang lalu, kembali kutemui, Ibu jatuh tersungkur dihadapanku, dan kini lebih parah, beliau tidak sadarkan diri. Maka ku nekad meneriaki supir Taxi yang biasa mangkal di jalan dekat perumahan elit tak jauh dari komplek tempat kami tinggal. Ku minta bantuannya tuk membawa Ibu ke Rumah Sakit, tentunya dengan imbalan yang menurutku tidak murah.
Beberapa menit setelah itu, kudengar vonis Dokter, Ibu mengalami gagal ginjal. Diantara cara untuk menolongnya adalah dengan rutin melakukan cuci darah atau dengan operasi. Jika dua hal itu tidak segera dilakukan maka…

Aku tahu Dokter bukan Tuhan yang bisa menentukan hidup mati seseorang. Tapi aku menyadari bahwa Dokter memiliki keilmuan yang mumpuni, jika hanya sekedar untuk mengetahui kondisi baik buruk seseorang.

Ahhh, andai saja aku adalah orang kaya, atau seperti artis – artis senetron di Televisi yang mungkin beberapa dari mereka harus memainkan peran yang sama seperti kondisiku saat itu. Pasti aku akan bilang (seperti yang para artis itu katakan saat orang yang sangat berarti bagi mereka ada dalam kondisi di ujung tanduk), “Lakukan apa saja Dokter, demi kesembuhannya!” Tapi aku, aku hanya aku yang tidak kaya dan tidak pula seorang artis. Maka aku hanya bisa menghela nafas mendengar Dokter mejelaskan berapa nominal rupiah yang harus ku bayar untuk perawatan dan operasi Ibu.

“Oh Ibu…, maafkan aku…, maafkan aku…, maafkan aku…,” Kuremas pelan jemari Ibu, kubasahi dengan air mataku.
“Fan…” Lirih suara Ibu memanggil namaku.
Ku sedikit tersentak. Segera ku hapus air mataku. Galau, ku tak bisa berkata.
“Kau sudah sampai di sini? Kau sudah makan?” Lembut sekali Ibu berkata. Aku hanya mengangguk. Entah, bibirku belum siap terbuka, memperdengarkan suara. Ibu hanya tersenyum.
“Bagaimana kuliahmu hari ini? Kerjamu tidak mengganggu kuliah kan?”
Aku hanya tersenyum sambil menggeleng, dan senyuman indah kembali terlukis diwajahnya.
“Oh, ya, bagaimana dengan tulisan – tulisanmu? Sudahkah ada yang diterbitkan?”
Ku menghela nafas, tidak terfikir sebelumnya jika Ibu akan bertanya hal itu. Dua bulan yang lalu ada kiriman hadiah untuk kami dari Tuan dan Nyonya, sebuah laptop. Kami tak mengerti apa motif pemberian hadiah itu. Kami hanya bersyukur dan berterima kasih, tidak sampai berfikir jauh tentang motif. Kami hanya berkesimpulan Tuan dan Nyonya memang keluarga yang baik, sehingga masih berkenan mengingat Ibu dan aku. Mulai sejak itu aku sering mengetik cerita pendek, essay, apapun yang ada dalam benakku dan ingin kuketik maka ku ketik. Meski ku tahu tulisan – tulisanku masih begitu lugu (lucu tur wagu), Ibu selalu semangat membacanya, dan menyarankan untuk meng- share nya keberbagai media cetak.
“Maafkan aku bu, belum ada pihak redaksi yang menghubungiku…!” Aku tertunduk menjawab Ibu.
Perlahan Ibu membelai rambut kusamku, “Kau seperti Bapakmu, Fandy. Pekerja keras, pantang menyerah, sabar! Sifat – sifat Bapakmu itu yang membuat Ibumu ini jatuh cinta lebih dalam pada beliau.”
Ibu menghela nafas, masih membelai rambutku, lalu menyambung kembali ucapanya, “Sayang, kau tidak bisa melihat langsung Bapakmu, dan Bapak mu juga begitu. Jika dia ada di sini saat ini, pasti ia akan berujar bangga kau tumbuh menjadi pemuda seperti ini!”
Yah, Bapak. Tak pernah sekalipun ku melihat Bapak. Yang kudengar beliau adalah Bapak yang baik. Sopir kesayangan Tuan dan Nyonya. Sampai suatu ketika Bapak mengalami kecelakaan saat hendak menjemput Tuan di Bandara. Sebuah mobil yang katanya dikendarai pria mabuk menabrak mobil yang dikendarai Bapak. Seketika keduanya meninggal ditempat kejadian. Untungnya Tuan tidak marah apalagi menuntut ganti rugi pada keluarga kami. Saat itu aku masih berusia tiga bulan dalam kandungan Ibu. Aku belum tahu persis apa yang terjadi.
“Bagaimana keadaan Ibu? Apa yang Ibu rasakan saat ini?” Aku memberanikan diri bertanya, mengalihkan topik pembicaraan. Semoga Ibu tidak tersinggung.
“Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku anakku. Ibu merasa baik – baik saja, hanya sedikit kecapekan…, yang perlu kau perhatikan adalah dirimu anakku. Masa depanmu masih panjang, banyak yang masih harus kamu tunaikan. Jangan pernah putus asa atas segala yang mungkin tidak sesuai dengan harapanmu. Carang Wreksa, Wreksa Wilis Tanpa Patra, akan tetapi kamu harus seperti Witing Klapa, Jawata Ing Ngarcapada, tugasmu hanya berusaha dan berdoa, selebihnya adalah urusan Yang Kuasa.”

Ibu menghentikan sentuhan lembutnya di kepalaku. Ia kembali memejamkan matanya. Aku faham, beliau masih begitu lemah. Ku cium punggung tangan beliau dan perlahan berdiri, mendekati jendela. Ku pandangi gumintang yang tak lelah bersinar. Ku hela nafas panjang.
Ibu benar, masih banyak hal yang harus ku lakukan. Ku tak boleh mudah menyerah dengan kegagalan yang menimpaku. “Hhmmm” (ku tersenyum kecil) malah terbayang kisah Thomas Alva Edison yang 999 kali gagal dalam eksperimennya tapi tetap maju, akhirnya di eksperimennya yang ke – 1000 ia berhasil. Juga tentang Jazimah Al – Muhyi, sang penulis yang 36 cerpennya ditolak, sebelum naskah pertamnya dimuat di salah satu majalah terkenal di kota ini. Yah, banyak hal yang disampaikan Tuhan secara eksplisit yang wajib ku pelajari.

Kini terlintas di benakku tentang lomba menulis essay yang diadakan oleh salah satu Menteri di Negara ini. Hadiah utamanya dua puluh juta bagi pemenang pertama, bukan hadiah yang kecil, dan akan cukup untuk biaya operasi Ibu jika ku tambah dengan uang yang ada di sakuku saat ini. Aku akan berusaha, aku akan mencoba, untukmu Ibu…

***

Keterangan:
Amben: tempat tidur sederhana, biasanya berkerangka kayu atau bambu
Segotak: satu ruang
Lucu (akronim Lucu tur Wagu): lucu dan aneh
Carang Wreksa, Wreksa Wilis Tanpa Patra (wangsalan edi peni) yang berarti: Ora gampang wong urip ing alam donya (tidak mudah manusia hidup di dunia)

Witing Klapa, Jawata Ing Ngarcapada (Wangsalan edi peni) yang berarti: Salugune wong mudha gelema rekasa (selugunya anak muda, hendaklah mau bekerja keras).

FANSPAGE