Ads:
Kupu-Kupu Kertas
Penulis: Eka Sulistiyowati
Tujuh tahun telah berlalu namun aku masih mengingatnya. Wanita yang tampak begitu sederhana di mataku. Wanita yang sering mengiringi langkahku dengan semangat juangnya yang tinggi. Wanita itu menganggap hidup ini terlalu sempurna untuk di anggap sebagai suatu permainan. Sebagai anak dari keluarga berkecukupan aku kurang tahu bagaimana susahnya bertahan hidup di kota besar seperti Surabaya. Biaya sekolah yang tinggi tidak menyurutkan semangat kedua orang-tuanya untuk menyekolahkan anak perempuannya. Padahal zaman dulu wanita adalah makhluk yang hanya cukup tahu tentang rumah, pintar memasak dan berbakti pada suami.
Namanya Maesa Djarwati, nama yang cukup kalem. Kenyataannya Maesa adalah wanita tomboy dengan segala keunikannya. Ia sering menemaniku bermain basket, catur, voli bahkan sepakbola. Ia pribadi yang menyenangkan. Kebiasaanya yang sampai detik ini yang tak bisa aku lupakan adalah menggambar kupu-kupu. Ia senang sekali menggambar kupu-kupu kemudian membuat corak pada sayapnya serta memberi warna yang indah. Tak mau kalah dengannya aku sering membuat gambar bunga tapi gambarku lebih sederhana karena aku hanya menggoresnya dengan pensil 2B. Ia suka sekali dengan gambar buatanku, bahkan ia pernah meminta satu gambar bungaku. Untuk kenang-kenangan, katanya saat itu.
Aku tidak tahu perasaannya terhadapku. Ia memiliki banyak teman laki-laki. Ia pun tidak pernah ambil pusing apabila teman-teman sering mencomblangkan kami berdua. Ia tetap berjalan sesuai prinsip hidupnya, tidak akan pacaran. Menurutnya pacaran itu mendekati zina. Aku merasa aneh dengan apa yang ia katakan. Bayangkan saja wanita tak berhijab dan sebagian besar hidupnya bersama laki-laki berbicara tentang zina. Munafik sekali. Tapi sebagai sahabat aku hanya tersenyum mendengar ocehannya kala itu. Perkataannya memang benar hanya saja ia tidak bisa mengoreksi diri sendiri. Ini membuatku sedikit muak melihatnya.
Aku bermain dengan putri pertamaku yang kuberi nama Aisyah Almira Esaputri. Istriku selalu marah ketika aku memberi hadiah mobil-mobilan ataupun bola pada putri pertamaku ini. Istriku ingin kelak Aisyah akan menjadi wanita yang kalem seperti dirinya, wanita yang sholihah. Justru ini yang sering membuatku bertanya-tanya tentang keberadaan Maesa. Di mana Maesa saat ini?, apakah ia juga sudah menikah?. Apakah ia juga bisa berubah menjadi wanita yang kalem?. Jujur saja walaupun Maesa tomboy tapi kemampuan memasaknya jauh lebih baik dari istriku. Bagaimana aku bisa tahu? Tentu saja aku tahu, aku sahabatnya. Penampilan itu sangat bisa menipu, bukan?
Istriku bernama Hafifah Alfitriyah, tentu saja aku mengenalnya sebagai pribadi yang cocok untuk di jadikan istri. Hafifah sangat santun, pandai mengaji dan berhijab.
Tunggu, sebenarnya Maesa juga pandai mengaji. Maesa adalah wanita yang cerdas, ia mengerti hukum-hukum islam secara kaffaah, ia terkadang memiliki perhatian yang berlebihan. Aku masih ingat saat menderita sesak napas ketika liburan kelulusan SMA, ia memang tidak bisa memberi perhatian khusus namun aku tahu ia selalu mengawasiku. Bahkan aku bisa merasakan ia sangat dekat denganku. Mungkin ia terlihat cuek tapi matanya sangat cemas menatapku. Ya Tuhan mengapa aku sering membandingkan Maesa dengan istriku.
“Kamu masih mengingat Maesa, Mas?” tegur Hafifah
“Tidak” elakku
“Kamu bohong Mas, aku bisa melihat dari caramu memperlakukan putri pertama kita.”
“Aku tidak bermaksud untuk begitu Fifah”
“Tapi aku bisa melihat kerinduanmu pada sosok Maesa. Aku cemburu Mas”
Kupu-Kupu Kertas By Eka Sulistiyowati |
Kini aku bisa merasakan bahwa Maesa pun terluka saat ia tahu aku menikah dengan Hafifah. Tapi saat itu aku benar-benar tidak tahu perasaannya terhadapku. Aku pikir ia telah menemukan sandaran hidup yang tepat. Ternyata ia mengatakan bahwa sebenarnya ia sangat cemburu dan tidak percaya aku menikah dengan kekasihku, Hafifah. Ia mengatakan bahwa sampai detik di mana aku memutuskan untuk menikah, ia tidak pernah menjalin kasih dengan siapapun, bahkan cuma diriku satu-satunya lelaki yang paling tahu tentangnya. Apakah aku telah melukai hatinya. Mengapa luka kini berbalik menghujam diriku ketika tiada satu kabarpun tentang keberadaan Maesa.
“Mengapa Mas tidak menemui Maesa? Apakah ia telah bersuami?”
“Aku tidak tahu di mana dirinya dan bahkan aku tidak tahu apakah ia telah menikah.”
“Kamu masih mengharapkannya?”
“Maksud kamu apa, Fifah?”
“Mas aku benar-benar iri pada Maesa. Tiap waktu kamu selalu memujinya.”
“Maafkan aku Fifah, aku tidak bermaksud untuk menyakitimu”
“Apakah jika Maesa belum menikah Mas akan menjadikannya istri kedua? Jika itu bisa membuat Mas bahagia, aku ikhlas”
Kulihat titik air mata di pipi istriku. Ingin sekali aku menghapusnya tapi bayangan tentang Maesa membuatku hanya menatap kaku wanita yang telah dua setengah tahun mengisi kehidupanku.
“Fifah, aku tidak ada niatan untuk poligami”
“Tak apa Mas, aku juga tidak ingin melihat Mas terus-menerus bersedih”
Inikah pengorbanan seorang wanita. Bahkan aku sekarang bisa membayangkan pengorbanan hati Maesa untuk egoku menikahi Hafifah. Apakah ia menangis saat itu, apakah ia membuang semua kenangan denganku, apakah ia sangat membenciku.
“Kamu satu-satunya wanita yang akan mendampingi hidupku, Fifah. Tidak akan terganti”
“Percuma jika hatimu masih untuk Maesa”
Aku tak bisa bicara lagi. Aku tidak ingin rumah tanggaku berselisih hanya karena kehadiran Maesa dalam otakku. Namun mengapa nama Maesa selalu menghantuiku. Apakah Maesa masih belum bisa melepaskanku?
Kubakar kupu-kupu kertas pemberian Maesa tujuh tahun lalu. Aku berharap dengan ini aku bisa melupakannya. Apakah ia juga telah membakar gambar bunga yang kuberikan padanya di hari ulang-tahunnya ke tujuh belas. Ya Tuhan, mengapa aku bisa merasakan rasa sakit yang mendalam di hati Maesa. Ya Tuhan lindungilah setiap langkah kaki Maesa, berikan padanya suami yang jauh lebih baik dari diriku, yang bisa menjaga serta menyayanginya. Semoga ia menemukan kebahagiaan, meski tanpa diriku.
Kulihat istriku sibuk menyiapkan makan malam.
”Ada yang bisa aku bantu, Sayang?” tanyaku
”Iya bantu habisin masakanku. Aku harap Mas suka nasi goreng buatanku”
”Pakai pala?”
Istriku menggeleng. Andai saja ia Maesa pasti ia tahu nasi goreng seperti apa yang aku sukai. Aku tersenyum mengingat bayangan Maesa.
”Ada apa Mas? Kok tiba-tiba senyum simpul seperti itu?”
Aku menggeleng pelan. Cuma ingat sesuatu, pikirku. Aku cuma ingat seorang Maesa. Maafkan aku istriku
Kupu-Kupu Kertas By Eka Sulistiyowati
4
/
5
Oleh
Admin