Belum Waktunya by Dewi Apriani

Ads:
Belum Waktunya
Penulis: Dewi Apriani

Assalamu’alaikum wr.wb
Dias, sepertinya hubungan kita selama ini sudah terlalu jauh. Aku merasa terlalu banyak mudharat yang terjadi di antara kita. Mungkin lebih baik kita mengakhiri saja semua ini. Maaf…

Degg. Aku terbelalak saat membaca pesan singkat yang tertera di layar ponsel ku. Tenggorokannku tercekat seketika. Pesan yang baru saja aku terima itu benar-benar membuatku sangat terkejut. Sudah berulang kali aku membaca dan memastikan kebenaran sms itu. Bahkan aku sangat berharap itu bukan sms darinya. Namun, kenyataannya semua begitu terasa jauh dari harapan. Sms itu benar-benar dari Arif yang ia tujukan padaku. Untuk Dias dan bukan untuk orang lain.

Kepala ku hampir saja pecah saat membaca pesan itu. Dunia ku seakan terasa runtuh dan menghujam seketika. Bahkan aku tak mengerti mengapa Arif tiba-tiba mengirimkan sms itu padaku, setelah sekian lama ia tak pernah membalas sms yang aku kirimkan padanya. Apa sebenarnya maksud dari semua ini? Mengapa tak ada alasan yang jelas darinya? Bahkan dia tak memberikan sedikitpun penjelasan apa-apa padaku? Apakah aku sudah tak berarti lagi untuknya?

Sungguh, tak dapat lagi aku menahan air mata yang terbendung ini. Semua tumpah begitu saja. Aku menangis terisak, sendiri, di sudut kamar. Hatiku benar-benar hancur menangisi duka yang terasa perih ini. Ternyata, ia benar-benar tak ingin melanjutkan hubungan ini. Dia sudah mengakhiri cerita yang baru saja tertulis dalam lembaran baru. Hubungan yang telah terjalin selama lebih dari 1 tahun ini ternyata harus selesai sampai di sini. Semua cerita di antara aku dan dia, benar-benar sudah ia akhiri.

Ya Allah, salahkah jika aku menaruh hati padanya? Salahkah jika aku terus mengharapkan nya? Mengapa kenyataan pahit ini harus terjadi pada ku,di saat seperti ini? Mengapa kau biarkan bunga-bunga cinta yang baru bersemi ini tiba-tiba menjadi layu kembali? Mengapa?

Aku semakin terisak sedih. Pedih. Kecewa. Hancur. Terluka. Semua rasa itu berkecamuk menyatu dalam dada. Sesak, terasa sangat menyakitkan batinku.


12 Juli 2010

Krringg!!!

Jam beker ku berbunyi di angka 04.15, menandakan waktu subuh telah tiba. Seruan umat di kala senja itu, telah berkumandang sejak beberapa menit yang lalu. Dengan mata yang masih belum terbuka sempurna, aku bergegas mengambil air wudhu untuk segera menunaikan shalat subuh di mushola. Seperti biasa, aku tak pernah lupa untuk membawa mushaf kecil yang akan aku gunakan untuk tilawah begitu usai shalat nanti. Dan begini lah rutinitas ku sehari-hari di setiap pagi. Aku selalu terbiasa memanfaatkan waktu senja ku itu untuk menunggu pagi menjelang sebelum aku berangkat ke sekolah. Setidaknya mengisi waktu luang untuk mencari pahala dan kebaikan.

Pukul 06.15. Aku sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Suasana jalan Kartini yang biasa aku lewati pun masih terlihat begitu sepi, berkabut dengan udara pagi yang masih terasa dingin. Lalu lalang kendaraan belum lah memadati jalanan itu. Aku justru memperlambat kelajuannya untuk dapat menikmati suasana perjalananku menuju sembari merasakan dingin nya udara jalanan di pagi hari yang cerah ini. Hembusan angin begitu terasa tajam merasuk dalam tubuhku. Aku sangat menikmati suasana ini. Namun ketika aku berada di tengah perjalanan, kenikmatan itu tiba-tiba hilang saat terjadi sebuah insiden tak terduga yang menimpaku.

Brrukkk…

Sebuah sepeda motor tiba-tiba menyerempetku dari arah belakang, membuat laju motorku menjadi tak terkendali. Seketika itu juga aku terjatuh, tersungkur di jalanan beraspal.
“Aduhhh…” seru ku keras.

Ku lihat si pengendara motor yang baru saja menyerempetku itu berhenti tepat di sampingku. Ia mematikan mesin motornya dan segera menolong aku yang terjatuh.
“Kamu ga papa?” sebuah suara muncul dengan samar-samar dalam pendengaranku.
“Apa? Seenak nya saja dia bilang ga papa. Ga lihat apa aku jatuh tersungkur begini,” batinku kesal.
“Kamu tu…” Aku menengadah dan… Oh Tuhan! Sesosok malaikat tengah menatapku dengan mata indah nya. Begitu tampan dan membuatku mendadak terdiam dan terpaku saat menatapnya. Sungguh, baru pertama kali aku melihat sesosok yang begitu sangat sempurna.
“Hei?” malaikat itu melambaikan tangannya di depan wajahku. “Maaf, kamu nggak pa pa? Ada yang luka?” tanyanya lagi. Dia benar-benar menatapku saat itu.
“Eh? Oh.. I.. Iya, aku nggak pa pa.” Jawabku pelan. Aku segera bangkit sambil mendirikan motorku yang terbalik. Dia juga membantuku dan entah mengapa tiba-tiba jantungku berdegup sangat kencang kali ini, saat menatap dia dari dekat.
“Maaf udah buat kamu celaka. Aku tadi agak melamun. Apa kamu terluka? Motormu bagaimana?”
“Nggak, kurasa semua baik-baik saja,” kataku yang masih linglung.
“Mm…maaf, begini saja, ini no ponsel ku. Jika nanti di cek ternyata ada yang nggak beres, hubungi saja aku.
“Mm…maaf, aku bukanya mau kabur, tapi kebetulan sekarang aku sedang terburu-buru. Atau mungkin aku bisa minta nomor ponsel mu,” ucapnya mengeluarkan secarik kertas dan pena.
“Eh?” aku terhenyak sesaat.
“085728562369,” jawabku pelan.
“085728562369 Ok. Nanti kuhubungi ya” ucapnya. Aku mengangguk pelan.

Cowok itu pergi setelah berpamitan sembari menebar senyum indah nya padaku. Sungguh, ini pertama kali nya aku melihat sesosok malaikat tampan yang baik hati. Tuhan, kenapa kejadian tadi begitu cepat? Andai saja bisa di ulang, ku ingin menatap nya lebih lama, batinku berandai-andai.
Belum Waktunya by Dewi Apriani


SMA N 2 Pembangunan. Sebuah sekolah menengah atas dengan akreditasi nya yang sangat baik ini, memiliki bangunan sekolah yang terlihat sangat luas. Gedungnya terbentang dari ujung utara hingga selatan yang berdekatan dengan kantor Kejaksaan. Tampak dari depan, terdapat lapangan basket yang terletak di tengah bangunan sekolah. Tepat di sebelah utara, ada enam ruang kelas berlantai dua yang berjajar rapi. Terinci dari ruang kelas PKN hingga berujung ke ruang kelas bahasa Jawa. Sebuah taman yang tertata sedemikian rupa, terlihat begitu rindang dan asri, menghiasi lingkungan sekolah dengan teduhnya. Jelas sekali tercermin bahwa sekolah ini merupakan sekolah berbasis adiwiyata.

Aku segera bergegas menuju kelas ku yang terletak di depan aula. Ruangan nya tak jauh berbeda dengan ruang kelas lain. Tertata rapi dengan whiteboard yang terpasang di depan.

Aku hampir saja terlambat 5 menit untuk masuk kelas jika tidak cepat bergegas. Sesaat setelah itu, seorang guru pun masuk dalam kelasku. Seorang pria dengan seragam dinasnya berdiri di depan kelas menerangkan rumus matematika di jam pelajaran pertama ku. Beliau begitu terlihat serius dan sangat berwibawa. Bapak Suhirman, dialah guru Matematika yang saat ini sedang berdiri di depan kelas.
“Pembayaran yang dilakukan dalam pembelian tersebut adalah lima persen jika…”

Aku memandang papan tulis putih yang sedang di tulisi angka-angka oleh Pak Herman saat menerangkan matematika bab jual beli. Tapi pikiranku saat ini sama sekali tak tertuju pada rumus itu, angka ataupun persen lain nya, melainkan pada sesosok manusia yang menyerupai malaikat yang telah Tuhan pertemukan dengan ku pagi tadi. Masih ku ingat saat ia menebarkan tersenyum indah nya padaku.
“…sedangkan jika di diskon 15%, maka harga belinya sebesar sepuluh…?”
Aargghh!! Apa-apaan aku ini? Apa yang kau pikirkan, Dias? Fokus lah..
“Apriani Dias Ramadhani. Coba, berapa harga yang harus di bayar setelah di diskon?” tanya pak Herman tiba-tiba. Semua pandangan kelas tertuju padaku.
“Eh? Berapa ya? Sepuluh, pak,” jawabku sekenanya. Setidaknya tadi pak Herman sempat mengatakan itu.
“Sepuluh apa?”
“Sepuluh… juta, Pak,” kataku pelan.
“Ya, benar. Benar dugaan saya jika kamu tadi melamun,” ujar pak Herman. Kontan seisi kelas tertawa. Pak Herman menatapku geleng-geleng. Hanya aku yang tertunduk malu tanpa bisa berbuat apa pun.

***

Aku menghela nafas panjang. Pikiranku terfokus pada kejadian yang baru saja aku alami tadi pagi. Sekilas teringat olehku sesosok malaikat penolong. Ya, malaikat penolong yang aku sendiri lupa untuk menanyakan siapa namanya. Aku tersenyum sendiri mengenang kejadian itu.
Beep… beep…
Sebuah pesan masuk membuyarkan lamunanku. Nomor baru. Aku mengkerutkan kening penuh tanya. Tanpa pikir panjang, aku segera membuka pesan itu. Mataku terbelalak seketika membaca isi pesan yang tertera. Dia?
Oh Tuhan, mungkinkah ini hanya mimpi? Dia menghubungiku? Batinku tersenyum girang.

From: 085729098765
Assalamu’alalaikm. Hai, aku Arif, yang tadi ga sengaja nabrak kamu di jalan. Maaf, tadi buru-buru. Gimana keadaan kamu sekarang?

Aku tersenyum membaca sms itu. Arif. Malaikat penolong itu ternyata bernama Arif. Seketika juga, tangan ku tergerak untuk menyimpan nomor dan membalas sms darinya.

To: Arif (085729098765)
Wa’alaikumsalm. Alhamdulilah. Aku baik-baik saja. Ga pa pa kok, santai saja.:)

From: Arif (085729098765)
Syukurlah kalau begitu. Engg… kalau boleh tau, siapa nama kamu? Jika di lihat dari seragam yang kamu pakai tadi, sepertinya kamu siswa SMA N 2 Pembangunan.

To: Arif (085729098765)
Namaku Dias. Iya, aku dari SMA 2 Pembangunan. Kamu sendiri dari SMA mana? Dan kalau boleh tau juga tadi kenapa kok buru-buru? Takut telat ke sekolah ya? hhe

From: Arif (085729098765)
Aku dari SAPA. SMA N 1 Pembangunan. He he iya, maklum jam pertama ada ulangan, jadi harus persiapan. Eh… dengar-dengar SMAPA ada lomba nulis puisi yaa? Pendaftarannya sudah di mulai belum?

To: Arif (085729098765)
Ohh.. gitu. Iya, kebetulan aku yang jadi panitianya. Pendaftarannya baru-baru ini di buka kok. Kenapa? Mau ikutan ya? Boleh loh, hhe

From: Arif (085729098765)
Iya. Ni besok mau ke sana buat ikut lomba sekalian daftar. Wah, kebetulan sekali, hhe. Oke aku daftar sama kamu yaa. Engg.. insya Allah besok siang aku mampir kesana untuk ngurus berkas-berkasnya. Makasih sebelumnya.

Aku tersenyum. Semua ini terasa bagai mimpi. Sesosok malaikat yang baru saja aku kenal itu, besok akan datang ke sekolah untuk daftar lomba. Itu artinya aku akan bertemu lagi dengannya. Ya, bertemu dengan malaikat baik hati yang bernama Arif.

Senyumku terkembang lepas seketika itu. Sudah tidak sabar rasanya menunggu hari esok hanya untuk bertemu dengan Arif, si malaikat penolongku.

Pagi ini aku semangat untuk berangkat ke sekolah. Tidak seperti biasanya, aku berkaca mematut diri di depan cermin seperti ini. Diam-diam ku perhatikan baik-baik penampilanku. Sejenak, terlintas olehku bayang-bayang tentang cowok itu. Arif. Entah mengapa aku kembali memikirkannya.
“Dek, cepetan dong turun. Udah siang, nih,” teriak kak Ahmad dari balik pintu. Lamunanku pecah seketika. Aku bergegas menyambar tas dan menyusul kak Ahmad yang sudah menunggu di luar untuk segera berangkat ke sekolah.

Dari kejauhan aku melihat sesosok Arif berjalan ke arahku. Bagiku, Arif yang kemarin, masih sama dengan Arif yang sekarang. Ia terlihat sempurna meskipun dengan penampilannya yang sederhana.
“Assalamu’alaikum wr. wb,” sapa Arif pelan.
“Wa’alaikumsalam, wr. wb, datang sendirian?”
“Enggak. Aku sama teman, tapi dia telat. Mungkin sebentar lagi datang. Oh, ya ini berkas-berkas pendaftaran yang di minta. Kalau ada yang kurang, kamu bilang aja. Biar langsung segera aku lengkapi,”
“Bentar ya, aku periksa dulu,”

Tidak membutuhkan waktu lama bagiku untuk memeriksa berkas-berkas itu. Entah mengapa hatiku berdegup saat aku beralih menatapnya. Pandangan kami bertemu sesaat.
“San, maaf telat. Udah lama nunggu ya?”
“Enggak. Ini baru saja datang. Kebetulan langsung menemui panitianya,”

Aku menoleh dan beralih. Sesosok sahabat lama tiba-riba muncul di hadapanku. Ia tak begitu asing bagiku, karena aku mengenalnya dengan baik.
“Farah?”
“Dias?”

Arif beralih memandang ke arahku dan Farah. Sepertinya ia bingung melihat kami berdua.
“Kalian berdua saling kenal?” tanya Arif heran.
“Kenal. Baik malah. Dias ini teman dekatku waktu SMP dulu, San,”
Aku tersenyum menatapnya. Dan lihat, dia membalas senyumanku, seolah mengerti.
“Tuhan, betapa sempurnanya dia. Senyumannya benar-benar menjatuhkan,” batinku dalam hati.


Perkenalanku dengan Arif bisa di bilang singkat. Semua itu bermula dari kejadian yang tidak sengaja. Dan entah mengapa hubunganku dengannya tetap berlanjut sampai saat ini, hingga pada akhirnya pesan itu datang merubah segalanya.
“Dek, kamu kenapa?” sapa seseorang dari balik pintu.
“Kak Ahmad…”
“Hei, apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?”
“Arif, kak. Dia mengakhiri semuanya,” aku semakin terisak.
“Tunggu, tunggu. Mengakhiri? Bukannya kalian ga pacaran?” tanya kak Ahmad heran.
“Emang enggak, kak. Tapi kan kita deket,”
“Oh, jadi begitu. Iya, kakak ngerti. Berarti kamu nangis itu gara-gara dia?” tanya kak Ahmad lagi. Aku mengangguk pelan. Ku perlihatkan sms yang baru saja aku terima pada kak Ahmad. Namun, laki-laki yang berada di hadapanku ini justru menertawakanku.
“Ya, ampun, dek. Masalah begitu saja langsung nangis. Dasar cengeng,”
“Ih, kak Ahmad bukannya menghibur, malah menjatuhkan. Pakai ketawa lagi,”
“Hehe bercanda. Lagi pula apa untungnya sih menangis karena cowok? Coba deh kamu pikirkan. Kamu sama Arif itu hanya berteman, tidak lebih dan tidak kurang. Kita juga tahu kalau dia itu ketua rohis. Catat. K-E-T-U-A. Jadi wajar dong kalau dia berkata seperti itu sama kamu,”

Aku terdiam. Apa yang kak Ahmad ucapkan memang benar adanya. Bahkan aku malah mengesampingkan hal itu. Tidak seharusnya aku meratapi nasib hanya karena kehilangan seperti ini.
“Jika kalian jodoh, pasti juga akan kembali lagi,” lanjutnya tersenyum. Pikiranku sedikit menemukan titik terang darinya.
“Aku pikir kakak benar. Tidak seharusnya aku sedih dan menangisi semua ini,”
“Nah, udah sadar kan, sekarang. Makanya berhenti tu menangis darahnya. Belum waktunya tau kamu beginian,”
Seuntai senyuman tipis terkembang dariku. Meskipun hati ini terasa sakit, namun aku akan mencoba untuk melupakan semua ini. ya, dengan langkah yang baru dan lembaran yang baru.

Tentang Penulis:
Nama: Dewi Apriani
Facebook: Dewi Apriani

Cerita Terkait

Belum Waktunya by Dewi Apriani
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE