Untukmu By Firdausi As-Syuja'y

Ads:
Untukmu…
Nama: Firdausi As-Syuja'y


Kulempar tas ke atas amben kamar, kusertakan diriku kemudian, meluncur, tanpa daya. Ku biarkan lelahku memudar, nafasku berangsur normal. Ku pejamkan mata, satu detik, dua detik, tiga detik, ah, tidak bisa!

Pikiranku masih terpenuhi bayangan wanita itu. Wanita yang baru saja membelai lembut pipiku yang kini basah oleh peluh, lembab oleh debu, yang mungin sebentar lagi akan tumbuh jerawat. Benar saja, karena sudah tiga hari ini malas rasanya membersihkan muka dengan facial foam, atau apalah namanya. Hhmmhh, siapa peduli? Biasanya wanita itu, wanita itu yang selalu peduli! Sebentar – sebentar bilang, “Sudah mandi? Jangan lupa pakai facial foamnya!”, “Rambutmu sudah mulai gondrong. Kau akan terlihat lebih tampan jika kau potong rambutmu!”, “Jambangmu sudah mulai lebat, apa tidak lebih baik jika kau rapikan?” dan bilang, “kau terlihat kurus bulan ini! Makanlah sedikit banyak! Jaga kesehatanmu!”

Oh, wanita itu. Sepertianya dialah satu – satunya manusia di dunia yang paling perhatian padaku, melebihi diriku sendiri. Wanita itu, yang kini terbaring lemah, sendiri di ruang serba putih itu, sepi.
Tak bisa ku berlama – lama. Ku harus bergerak cepat. Wanita itu kini menungguku dan aku menunggunya untuk kembali memberi seluruh perhatiannya kepadaku. Meski ku akui, dalam kondisi dimana akulah yang harus memberi perhatian lebih untuknya, dia tetap seperti dulu, dia wanita terbaik. Ku paksa kakiku yang kini masih kram, punggungku yang masih linu, dan ragaku yang masih ingin bersantai di atas amben untuk bangun. Ku bergegas menuju almari, kubuka toples tempat alternativeku menyimpan uang selama ini. Tak sabar ku tuang semua isinya. Ratusan ribu, lima puluhan, dua puluhan, hingga koin – koin seratus rupiah ku hitung, jangan sampai ada yang ketinggalan. Semua ada Rp. 2.075.500,00 dan jika aku gabung dengan uang yang baru saja ku tarik dari mesin ATM tadi ada…, “Hmmm…, Tuhan…, masih kurang, masih belum ada separuhnya!”

Ku telungkupkan sepuluh jariku ke muka. Ahhh, tak bisa ku menahan air mata ini. Tak tahan. Oh, kasihan sekali wanita itu…, dia melakukan semua untuk ku. Kenapa di saat dia butuh bantuan, aku tak bisa membantunya?

***

Gontai ku telusuri lorong demi lorong bangunan yang dominan dengan warna putih ini, bangunan yang memiliki bau yang khas, bangunan yang tak satupun manusia ingin bertempat tinggal di sini tapi kenyataannya bangunan ini selalu ramai dihuni banyak manusia. Rumah Sakit, nama yang cukup aneh untuk sebuah bangunan. Entah bagaimana sejarahnya dulu, bangunan ini dinamakan Rumah Sakit. Entahlah! Hal itu tidak begitu penting.

Akhirnya sampai juga di ruangan ini, ruangan dimana Wanita itu berada. Ternyata sekarang dia sedang terlelap. Dengan berjinjit ku menuju kursi di samping pembaringannya. Kupandangi wajahnya yang kini tampak pucat. Oh, sudah lama sepertinya ku tidak memandangi wajahnya sedekat ini. Entah kapan tepatnya. Begitu tumpul otakku hingga kini ku tak kuasa mengingatnya!

Meski pucat, ia masih terlihat cantik. Yah, dialah wanita tercantik di dunia, paling tidak itu menurutku. Tak kan bosan setiap mata yang memandangnya, karena aura keteduhan yang senantiasa terpancar dari wajahnya. Satu detik, dua detik, tiga detik, Hmm, mataku mulai berkaca, dan lagi – lagi ku tak kuasa menahannya. Wanita ini, sungguh, bukan hanya wajahnya yang cantik. Namun juga hatinya begitu mulia. Dia selalu tersenyum, bahkan saat terlelap. Padahal ku tahu persis, separuh lebih dari jalan hidupnya adalah kepahitan.

Ku raba telapak tangannya. Bagai hanya tulang berlapiskan kulit yang tak lagi muda. Ku sentuhkan telapak tangan itu pada bibirku. Wanita ini…, Ibu…
Untukmu By Firdausi As-Syuja'y
Untukmu By Firdausi As-Syuja'y

Kini terbayang kembali, sembilan belas tahun lalu…
Hari – hari ibu jalani dengan menyapu, mencuci, memasak, mengelap keramik – keramik mewah, tentu saja, keramik – keramik mewah itu bukan milik kami. Bukan juga keramik, bukan juga semuanya, karena tidak ada yang ibu miliki. Ibu hanya seorang pembantu rumah tangga, pembantu rumah tangga yang baik. Ku sebut demikian bukan hanya karena aku adalah anaknya, akan tetapi lebih karena kreadibilitas dan kenyataan yang menggemakannya. Jika tidak, mana mungkin Ibu bisa bertahan selama tujuh belas tahun di rumah mewah itu? Sang pemilik rumah sangat mempercayai Ibu, Ibu diangkat sebagai kepala pembantu di sana. Tuan dan Nyonya (begitu Ibu memanggil mereka, dan aku menginguti Ibu menyebut nama mereka seperti itu)tidak hanya baik pada Ibu, tapi juga padaku. Tak jarang mereka memberi uang jajan, bahkan hadiah di setiap dikenaikan kelasku dulu. Percayakah kalian? Sejak SD hingga SMA aku selalu meraih juara pertama? Dan juara pararel di setiap tahunnya? Tapi apapun hadiah yang diberi oleh Tuan dan Nyonya, bagiku hadiah terindah adalah hadiah dari Ibu. Sebuah kecupan di ubun kepala, dengan satu dua linang air mata. Entah mengapa Ibu selalu menangis di moment seperti itu. Tapi tak apa, itu bisa menjadi modus bagiku tuk menghapus air matanya, yang otomatis meraba lembut pipinya.

Tujuh belas tahun, bahkan lebih dari itu, Ibu membanting tulang sendiri untuk ku. Aku yang kini hanya bisa menatapnya sayu.
Hingga akhirnya aku masuk salah satu Universitas ternama di kota (Terima Kasih Tuhan, karena kemurahan – Nya aku mendapatkan beasiswa delapan semester di Universitas itu). Tak pantas bagiku tuk meminta uang saku pada Ibu. Maka ku putuskan kerja paruh waktu. Di sela – sela jam kuliah, ku menjual koran di jalanan, di pasar tradisional, dan tak jarang masuk ke bus – bus lokal. Setelah perkuliahan selesai aku mengajar privat di perumahan dekat kampus, dan malamnya aku ikut menyapu di stasiun antar kota. Sampai suatu ketika aku merasa tabungan ku cukup. Ku sewa segotak kamar di komplek sederhana dekat kampus. Ku boyong Ibu tuk tinggal menemaniku, saatnya Ibu istirahat, menikmati masa tuanya. Meski tak seindah masa tua masyarakat lainnya yang tinggal di komplek itu.

Dua tahun kami lalui di kota baru ini dan tiada masalah yang berarti. Sampai suatu pagi ku temui Ibu tersungkur di samping amben kamar kami. Ibu bilang beliau sudah tua, orang tua biasanya gampak capek meski tak banyak yang mereka lakukan. Aku hanya meng ‘iya’kan saat itu. Yah, ku sadari bahwa tua adalah keniscayaan, dan orang tua biasanya seperti yang Ibu bilang, mereka tidak lagi sekuat diusia muda mereka. Sejak hari itu wajah Ibu mulai memucat. Gerakan Ibu juga mulai melamban, beliau lebih sering duduk diam atau berbaring. Aku mulai khawatir. Dan kekhawatiranku terbukti saat tiga hari yang lalu, kembali kutemui, Ibu jatuh tersungkur dihadapanku, dan kini lebih parah, beliau tidak sadarkan diri. Maka ku nekad meneriaki supir Taxi yang biasa mangkal di jalan dekat perumahan elit tak jauh dari komplek tempat kami tinggal. Ku minta bantuannya tuk membawa Ibu ke Rumah Sakit, tentunya dengan imbalan yang menurutku tidak murah.
Beberapa menit setelah itu, kudengar vonis Dokter, Ibu mengalami gagal ginjal. Diantara cara untuk menolongnya adalah dengan rutin melakukan cuci darah atau dengan operasi. Jika dua hal itu tidak segera dilakukan maka…

Aku tahu Dokter bukan Tuhan yang bisa menentukan hidup mati seseorang. Tapi aku menyadari bahwa Dokter memiliki keilmuan yang mumpuni, jika hanya sekedar untuk mengetahui kondisi baik buruk seseorang.

Ahhh, andai saja aku adalah orang kaya, atau seperti artis – artis senetron di Televisi yang mungkin beberapa dari mereka harus memainkan peran yang sama seperti kondisiku saat itu. Pasti aku akan bilang (seperti yang para artis itu katakan saat orang yang sangat berarti bagi mereka ada dalam kondisi di ujung tanduk), “Lakukan apa saja Dokter, demi kesembuhannya!” Tapi aku, aku hanya aku yang tidak kaya dan tidak pula seorang artis. Maka aku hanya bisa menghela nafas mendengar Dokter mejelaskan berapa nominal rupiah yang harus ku bayar untuk perawatan dan operasi Ibu.

“Oh Ibu…, maafkan aku…, maafkan aku…, maafkan aku…,” Kuremas pelan jemari Ibu, kubasahi dengan air mataku.
“Fan…” Lirih suara Ibu memanggil namaku.
Ku sedikit tersentak. Segera ku hapus air mataku. Galau, ku tak bisa berkata.
“Kau sudah sampai di sini? Kau sudah makan?” Lembut sekali Ibu berkata. Aku hanya mengangguk. Entah, bibirku belum siap terbuka, memperdengarkan suara. Ibu hanya tersenyum.
“Bagaimana kuliahmu hari ini? Kerjamu tidak mengganggu kuliah kan?”
Aku hanya tersenyum sambil menggeleng, dan senyuman indah kembali terlukis diwajahnya.
“Oh, ya, bagaimana dengan tulisan – tulisanmu? Sudahkah ada yang diterbitkan?”
Ku menghela nafas, tidak terfikir sebelumnya jika Ibu akan bertanya hal itu. Dua bulan yang lalu ada kiriman hadiah untuk kami dari Tuan dan Nyonya, sebuah laptop. Kami tak mengerti apa motif pemberian hadiah itu. Kami hanya bersyukur dan berterima kasih, tidak sampai berfikir jauh tentang motif. Kami hanya berkesimpulan Tuan dan Nyonya memang keluarga yang baik, sehingga masih berkenan mengingat Ibu dan aku. Mulai sejak itu aku sering mengetik cerita pendek, essay, apapun yang ada dalam benakku dan ingin kuketik maka ku ketik. Meski ku tahu tulisan – tulisanku masih begitu lugu (lucu tur wagu), Ibu selalu semangat membacanya, dan menyarankan untuk meng- share nya keberbagai media cetak.
“Maafkan aku bu, belum ada pihak redaksi yang menghubungiku…!” Aku tertunduk menjawab Ibu.
Perlahan Ibu membelai rambut kusamku, “Kau seperti Bapakmu, Fandy. Pekerja keras, pantang menyerah, sabar! Sifat – sifat Bapakmu itu yang membuat Ibumu ini jatuh cinta lebih dalam pada beliau.”
Ibu menghela nafas, masih membelai rambutku, lalu menyambung kembali ucapanya, “Sayang, kau tidak bisa melihat langsung Bapakmu, dan Bapak mu juga begitu. Jika dia ada di sini saat ini, pasti ia akan berujar bangga kau tumbuh menjadi pemuda seperti ini!”
Yah, Bapak. Tak pernah sekalipun ku melihat Bapak. Yang kudengar beliau adalah Bapak yang baik. Sopir kesayangan Tuan dan Nyonya. Sampai suatu ketika Bapak mengalami kecelakaan saat hendak menjemput Tuan di Bandara. Sebuah mobil yang katanya dikendarai pria mabuk menabrak mobil yang dikendarai Bapak. Seketika keduanya meninggal ditempat kejadian. Untungnya Tuan tidak marah apalagi menuntut ganti rugi pada keluarga kami. Saat itu aku masih berusia tiga bulan dalam kandungan Ibu. Aku belum tahu persis apa yang terjadi.
“Bagaimana keadaan Ibu? Apa yang Ibu rasakan saat ini?” Aku memberanikan diri bertanya, mengalihkan topik pembicaraan. Semoga Ibu tidak tersinggung.
“Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku anakku. Ibu merasa baik – baik saja, hanya sedikit kecapekan…, yang perlu kau perhatikan adalah dirimu anakku. Masa depanmu masih panjang, banyak yang masih harus kamu tunaikan. Jangan pernah putus asa atas segala yang mungkin tidak sesuai dengan harapanmu. Carang Wreksa, Wreksa Wilis Tanpa Patra, akan tetapi kamu harus seperti Witing Klapa, Jawata Ing Ngarcapada, tugasmu hanya berusaha dan berdoa, selebihnya adalah urusan Yang Kuasa.”

Ibu menghentikan sentuhan lembutnya di kepalaku. Ia kembali memejamkan matanya. Aku faham, beliau masih begitu lemah. Ku cium punggung tangan beliau dan perlahan berdiri, mendekati jendela. Ku pandangi gumintang yang tak lelah bersinar. Ku hela nafas panjang.
Ibu benar, masih banyak hal yang harus ku lakukan. Ku tak boleh mudah menyerah dengan kegagalan yang menimpaku. “Hhmmm” (ku tersenyum kecil) malah terbayang kisah Thomas Alva Edison yang 999 kali gagal dalam eksperimennya tapi tetap maju, akhirnya di eksperimennya yang ke – 1000 ia berhasil. Juga tentang Jazimah Al – Muhyi, sang penulis yang 36 cerpennya ditolak, sebelum naskah pertamnya dimuat di salah satu majalah terkenal di kota ini. Yah, banyak hal yang disampaikan Tuhan secara eksplisit yang wajib ku pelajari.

Kini terlintas di benakku tentang lomba menulis essay yang diadakan oleh salah satu Menteri di Negara ini. Hadiah utamanya dua puluh juta bagi pemenang pertama, bukan hadiah yang kecil, dan akan cukup untuk biaya operasi Ibu jika ku tambah dengan uang yang ada di sakuku saat ini. Aku akan berusaha, aku akan mencoba, untukmu Ibu…

***

Keterangan:
Amben: tempat tidur sederhana, biasanya berkerangka kayu atau bambu
Segotak: satu ruang
Lucu (akronim Lucu tur Wagu): lucu dan aneh
Carang Wreksa, Wreksa Wilis Tanpa Patra (wangsalan edi peni) yang berarti: Ora gampang wong urip ing alam donya (tidak mudah manusia hidup di dunia)

Witing Klapa, Jawata Ing Ngarcapada (Wangsalan edi peni) yang berarti: Salugune wong mudha gelema rekasa (selugunya anak muda, hendaklah mau bekerja keras).

Cerita Terkait

Untukmu By Firdausi As-Syuja'y
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE