Cerita Motivasi: Separuh Langit Asa By Rizka Elma Karunia

Ads:
CERITA MOTIVASI: SEPARUH LANGIT ASA 
Penulis: Rizka Elma Karunia

"Langit sepertinya masih enggan menampakkan kecerahannya, sisa air hujan masih membasahi dedaunan diluar kamar dan Aaaaaah, rupanya mendung juga menyelimuti diriku.Buram. Itu satu-satunya kata yang dapat kuucap.Semua berawal dari impianku menjadi pianis yang ditolak mentah-mentah oleh orang tuaku.Ya, orang tuaku tak pernah peduli mengenai hal-hal diluar pendidikanku dan masa depanku adalah dokter, itu harapan mereka. Bermain piano seperti yang aku inginkan sama saja mengerjakan hal bodoh bagi mereka. Mereka setipe koleris, berkemauan keras dalam mencapai sesuatu dan aku, anaknya tak jauh beda dengan mereka. Karena itulah, ketika orang tuaku melarang apa yang ingin aku lakukan, tentu saja aku akan mempertahankan keinginanku.

Aku pernah mendengar kalimat “Tuhan tidak selalu memberi apa yang kita inginkan, tapi yakinlah Tuhan pasti memberi apa yang kita butuhkan”.Aku percaya kalimat itu, tapi bagiku bermain piano bukan hanya sebuah keinginan, tapi juga kebutuhan yang harus terpenuhi.Mengapa?Pada saat kubebaskan jemari-jemariku menari diatas tuts piano, aku merasakan instrumen-instrumen itu hidup, jiwa raga menjadi satu, hingga aku ragu apakah aku sedang bermain piano atau aku bermain diriku sendiri.sedikit berlebihan mungkin, tapi memang ini yang aku rasakan. Tanpa piano aku tidak tahu bagaimana caraku berdiri dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan tanganku. Piano, sekarang menjadi sebuah mimpi kecil yang menghadirkan pengharapan-pengharapan untuk bisa membahagiakan diriku sendiri, orang-orang disekitarku dan bangsaku.Semoga.

Tante Sinta, adik mama satu-satunya itulah yang mengenalkan piano padaku, permainannya sangat luar biasa dan itulah yang membuat aku ingin belajar padanya. Biasanya sepulang sekolah aku selalu berlatih dirumahnya, walaupun harus sedikit berbohong kepada orang tua karena aku mengaku hanya belajar bahasa Inggris pada tante Sinta.“Bermainlah untuk dirimu dan orang lain, berilah permainan terbaikmu kepada mereka dan buatlah mereka tersenyum” itu adalah ucapan tante Sinta yang selalu aku ingat sebelum aku bermain piano.“Saya yakin kamu bisa jadi pianis Indonesia yang luar biasa, suatu saat Indonesia akan bangga memilikimu” dan kalimatnya yang ini selalu aku renungkan setelah menyelesaikan permainanku. Mungkin aku tidak pernah bisa memberikan sesuatu yang berharga kepada orang lain dan bangsaku, namun pasti akan kuberikan permainan terbaikku untuk mereka.
“Marsya, ayo keluar! Lama sekali kamu ini”, teriak mama yang spontan membuyarkan lamunanku.
“iya ma sebentar”, jawabku pelan sambil melangkah keluar kamar. 

Rupanya mama, papa dan satu kakak laki-lakiku, Felis sudah berkumpul dimeja makan.Aku berusaha menampakkan senyumanku, walaupun pikiranku masih bingung.Seperti biasa makan malam hingga suapan terhakir berlalu tanpa suara, dan obrolan dimulai setelah makan selesai.
“Marsya, bagaimana masalah Bimbel di Sekolah ?apa kamu sudah mendaftar ?”, ujar papa mengawali perbincangan. 
“Sudah pa”, jawabku.
“Oh ya, untuk bahasa Inggris, kamu cari guru privat yang paling bagus.Nilaimu kemarin mengecewakan”, tambah papa.
“Benar itu, percuma kamu belajar di Sinta, tidak ada hasilnya”, ujar mama mendukung.
“Tidak ada hasilnya bagaimana? Nilaiku sebelumnya kan 8, kemarin sudah naik 8,5. Mama papa aja yang nggak pernah puas”, jawabku sedikit acuh.
“Maaf ma, pa aku kekamar dulu, mau ngerjain makalah”, potong Felis yang dijawab anggukan kepala oleh papa.
“8,5 saja kamu suruh mama papa puas? Nilai minimalmu seharusnya 9, biar kamu mudah masuk Universitas Kedokteran”, ujar mama.Aku hanya mendesah pelan.
“Lebih baik kamu nyari guru yang lebih berpengalaman, masalah uang kamu tidak usah khawatir”, tegas papa.
“Ya ya ya ya”, jawabku acuh lalu berdiri “Marsya kekamar dulu ma, pa.Capek”, ucapku sambil berlalu.
“Heran, diajarin apa dia sama Sinta, tambah kurang ajar”, keluh mama kesal.
***

“Marsya, tanggal 15 ada lomba piano klasik tingkat kota Syaa, tante daftarin ya?”, kata tante Sinta sambil membawakan minuman untukku.
“Wah 3 hari lagi dong? Emang cukup te buat persiapannya? Mepet nih”, ujarku sambil menerima minuman dari tante Sinta. Sebenarnya aku sudah 5 kali mengikuti lomba-lomba tingkat kota dan 3 diantaranya menang, awal yang baik untuk pemula sepertiku. tapi kalau hanya punya waktu 3 hari saja untuk persiapan, aku masih belum yakin.
“Harus bisa dong, ini event pemerintah loh”.
“Wah, kalo event pemerintah berkelanjutan biasanya ya?”
“Iya. Tingkat kota, tingkat daerah, tingkat nasional dan disitu akan dipilih satu pemenang buat mewakili Indonesia di event The International Piano Classic Competition (IPCC) 2012”, jelas tante Sinta. Imajinasiku melayang-layang, membayangkan aku membawa tropy kemenangan ditingkat Internasional, membawanya pulang, memberikannya kepada orang tua, membuktikan bahwa impianku selama ini tidak main-main dan mereka akan berkata ‘Marsya, kamu benar-benar hebat’. Luar biasa.
“gimana Sya? kesempatan bagus ini”
“Siap Guru Besar!”, jawabku lantang sambil meletakkan tangan diujung alis, seperti hormat pada komandan upacara.
“Oke kalo begitu 3 hari ini kita harus latihan intensif dan jangan lupa siapkan diri kamu dan lagu yang tepat”
""Oke, mama sebenernya kenapa sih, kayaknya gak suka banget aku main piano.Ada piano dirumah tapi hanya sebagai pajangan. Megang saja gak boleh, katanya fokus sekolah lah, harus masuk Universitas Kedokteran”,tanyaku sedikit emosi.
“hmmm, sabar Sya. Mungkin mama papa kamu ingin kamu jadi Dokter handal dan bisa sukses seperti papa kamu”
“Tapi mereka keterlaluan, mereka hanya bisa menuntut, mereka nggak pernah mau ndengerin anak-anaknya”
“Sabar Sya, pasti suatu saat mereka akan sadar akan kemampuan yang kamu miliki. Tugasmu sekarang mengasah kemampuan, berlatih terus dan berprestasi”
“Iya tante, aku akan membawakan piala juara 1 Internasional itu untuk mereka dan Indonesia, biar mereka sadar aku tidak main-main”, ujarku bersemangat.
“Amin.Tuhan tidak pernah tidur Sya, Tuhan akan selalu mendengar mimpi kita,” ujar tante Sinta sambil tersenyum.

Untuk lomba kali ini aku aku mengaku mengikuti olimpiade sains kepada orang tuaku. Sebenarnya sampai sekarang aku masih ragu, apakah aku akan melanjutkan mimpiku tanpa orang tuaku, ataukah aku harus menghentikan impianku. Karena aku juga merasa sangat bersalah jika harus terus-menerus berbohong kepada orang tuaku. Aku pernah bertemu langsung dengan Gobind Vashdev penulis buku motivator “Happiness Inside”, waktu itu diacara seminar Better Education, Better Future yang berlangsung disalah satu universitas di Surabaya dan aku bertanya padanya “ketika kita mempunyai suatu Impian dan orang tua kita, orang terdekat kita benar-benar tidak setuju, lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Ya sudah kejar impianmu”, jawabnya singkat.
“Lalu bagaimana orang tua kita? Bukankah kesuksesan kita berada pada keridhoan mereka?”, tanyaku ingin tahu.
“Saya tanya, kamu mau membohongi hati kamu sendiri?”
“Tidak”, jawabku yakin.
“Ya sudah itu jawabannya. Semua kembali padamu, apakah kamu memilih membohongi orang lain atau membohongi hati kamu sendiri yang 24 jam setia menemani kamu?”
“Tapi apakah orang tua termasuk orang lain bagi kita?”, tanyaku masih kebingungan.
“Apakah orang tuamu 24 jam berada disisimu? Tidak kan, berarti mereka termasuk orang lain bagimu”, ujarnya sambil tersenyum. 

Sekarang aku kembali memutar otak, orang tuaku menginginkan aku belajar yang rajin dan sekolah yang tinggi agar aku bisa sukses menjadi dokter dan kelak mereka akan bangga mempunyai anak sepertiku, sedangkan aku dengan impianku menjadi seorang pianis juga mengharapkan kelak orang tuaku bisa bangga terhadapku karena bisa mengharumkan martabat keluarga dan Bangsa. Tujuannya sama kan? Sama-sama ingin membuat orang tua bangga kepadaku.
***

Cerita Motivasi: Separuh Langit Asa By Rizka Elma Karunia

Cerita Motivasi Lainnya: Kumpulan Cerita Motivasi

Latihan hari pertama untuk persiapan lomba tingkat kota selesai, lagu yang menurut kami tepat sudah dipilih. Latihan hari kedua dan ketiga juga sangat lancar.Hingga tibalah pada hari pelaksanaan lomba, 1 jam sebelum acara dimulai aku dan tante Sinta sudah berada ditempat acara.Kali ini jumlah peserta ada 24 orang dan aku tampil urutan ke 14.Satu persatu peserta berlomba-lomba menunjukkan penampilan terbaiknya.Tibalah dipenghujung acara.
“Peserta yang menjadi juara pertama dan sekaligus akan menjadi perwakilan kota Surabaya di-tingkat daerah ialah Marsya Putri Wibowo..... “, Ucap si pembawa acara. Aku langsung memeluk tante Sinta dan ini merupakan langkah awal yang cukup baik untuk menggapai mimpiku.

Persiapan untuk kompetisi tingkat daerah pastinya semakin aku tingkatkan. Namun sekarang, jadwal latihanku dirumah tante Sinta harus diundur dan waktunya tidak seleluasa dulu, karena sepulang sekolah aku harus mengikuti Bimbel, tetapi hal tersebut tidak berpengaruh besar terhadap permainan pianoku, buktinya aku berhasil meraih juara pertama dan akan beradu keahlian di tingkat nasional. Tinggal sedikit lagi Marsya! Tinggal satu tanjakan agar aku bisa mewakili Indonesia di tingkat Internasional.
***

“Mbak Marsya kopi susunya sudah jadi mbak”, panggil mbok dari dapur.
“Iya mbok”, jawabku sambil menuju ke dapur “makasih mbok ya”, ujarku lalu menyeruput kopi susu itu. Mataku tertuju dipojok ruang keluarga, disana ada piano yang selama ini belum pernah aku sentuh karena mama yang melarang.Aku menuju kesana membuka tutupnya lalu mengambil kursi dan duduk tepat dihadapannya.Belum pernah aku merasa setegang ini selain penampilan di lomba perdanaku, mungkin karena aku belum pernah bermain piano dirumahku sendiri.Aku mencoba menekan satu tuts dan tuts lainnya.
“Mbak...”, ujar Mbok ingin melarang, namun aku terlanjut hanyut pada permainanku, aku merasa sudah melayang, jiwa ragaku sudah menjadi satu dengan instrumen yang kumainkan dan lama-kelamaan Mbok juga ikut terhanyut dengan instrumenku.
“Marsya !!”, teriak mama dari belakangku, akupun sontak berdiri. “Apa yang kamu lakukan? Kamu sulit diatur ya”
“Marsya hanya main piano ma”, jawabku.
“Selama ini mama sudah melarang keras kamu main piano!Apa yang mau dapetin dari piano? Bagaimana masa depanmu? . Dengar, urus saja pendidikanmu !!”, ucap mama semakin emosi.
“Ma, mama kenapa sih?Marsya tau, Marsya punya kewajiban sekolah, belajar dan kelak masuk Universitas Kedokteran.Tapi mama perlu tahu Marsya juga punya hak untuk ngelakuin apa yang Marsya suka”, ujarku menuntut, sedangkan Mbok masih berdiri ditempatnya, terdiam kebingungan menyaksikan perdebatan kami.
“Kamu itu ...” 
“Selama ini Marsya selalu menuruti kemauan mama sama papa, tapi kapan mama sama papa mau mendengar Marsya ?”, ucapku lalu berhenti sejenak mengatur nafas “Marsya tidak minta macam-macam ma, Marsya hanya minta mama sama papa membiarkan Marsya menggapai mimpi Marsya”, ujarku kemudian berlari meninggalkan mama menuju kekamar. 
***

Jalan raya A.Yani terlihat lebih ramai pagi ini.Seperti biasanya, dengan mobil merahnya Felis mengantarkan aku kesekolah dahulu, kemudian dia menuju kekampus.
“Sya, selama ini kamu latihan piano ya dirumah tante Sinta?”, tanya Felis tiba-tiba.
“Emm, kalo iya kenapa kalo tidak kenapa?”, tanyaku mengantisipasi.
“Aku ndukung kamu kok”, ujarnya.
“Serius Kak?”, tanyaku tidak percaya, namun sebenarnya aku sangat berharap kakakku satu-satunya ini memang benar-benar mendukung mimpiku.
“Ini hidupmu, kamu yang harus menjadi nahkodanya”, jawabnya, tanpa tersadar aku tersenyum mendengar pernyataan kakakku, memang benar bahwa aku harus menjadi aku.
“Tapi kak, selama ini sepertinya kakak nyaman saja dengan sikap mama papa?”
“Mereka memang seperti itu, tinggal kita pandai-pandai mensiasati saja”, jawabnya datar.
“Padahal kita sebagai anak pasti ingin membuat orang tua bahagia kan? ingin membuat mereka bangga dengan kita, hanya jalan yang kita dan mereka inginkan saja yang berbeda. Tapi apa salahnya keduanya berjalan seiring? Aku jadi dokter, tapi aku juga pianis hebat. Luar biasa kan? hahaha”
“Iya Sya, All is well. All is well. All is well. Kamu bisa Sya!”
“Amin. Eh kak, kemaren kan aku ikut lomba piano klasik tingkat kota terus menang, lalu dikirim ke tingkat daerah menang juga dan besok tingkat nasionalnya. Datang ya?Ya ya?Biar jadi semangat, biar menang terus aku maju ke tingkat Internasional.Ya ya? Ya?”, ujarku sambil menarik-narik lengannya.
“Wah hebat kamu Sya, aku pasti datang, tapi ada syaratnya”
“Apa?”, tanyaku penasaran.
“Kamu janji dulu harus menang.Gimana?”
“Oke.Siap Bos!!”, jawabku bersemangat.
***

Acara malam ini beda dengan acara-acara sebelumnya, lebih banyak peserta yang membawa suporternya masing-masing dan pastinya suasana malam ini lebih tegang. Bersaing dengan pianis-pianis terbaik dari Indonesia merupakan hal luar biasa bagiku.Sebelum aku menunjukkan permainanku, aku menoleh kearah tante Sinta dan Felis yang saat itu menempati barisan terdepan kursi penonton, merekalah semangatku saat ini.Kuletakkan jemariku diatas tuts piano lalu kupejamkan mataku sejenak “berilah permainan terbaikmu kepada mereka dan buatlah mereka tersenyum”, ucapku dalam hati.Sekitar 6 menit 25 detik permainan pianoku berakhir, tepuk tangan penonton bergemuruh diruangan dan yang terpenting, senyuman mereka menghiasi ruangan.Aku berhasil.Aku berhasil membuat mereka semua tersenyum.
Acara ini berakhir dengan akulah sebagai juara pertamanya dan akulah yang akan mewakili Indonesia di acara The International Piano Classic Competition (IPCC) 2012. Dan aku yang akan membawa nama Indonesia untuk bersaing dengan pianis-pianis terbaik dunia.
***

The International Piano Classic Competition (IPCC) 2012 dilaksanakan di Hongkong dan diikuti sekitar 15 negara. Aku akan memberikan penampilan terbaikku untuk orang tua dan bangsaku. Kali ini hanya tante Sinta yang mendampingiku, Felis sedang sakit dan kondisinya tidak memungkinkan untuk menemaniku. Sambil menunggu giliranku tampil aku keluar mencari udara segar, langit malam di Hongkong saat ini begitu cerah, kuangkat jari telunjukku kearah satu bintang yang paling indah malam ini “Disana mimpiku, walaupun sangat jauh aku yakin bisa menggapainya dan aku pasti bisa”.
Menginjakkan kaki dipanggung yang begitu megah dan dihadapkan dengan ribuan penonton yang kebanyakan adalah pejabat tinggi negara, merupakan tantangan tersendiri bagiku.Kutarik nafas panjang sebelum aku mulai memainkan piano dihadapanku.Saat permainan berakhir, akupun disambut dengan tepuk tangan penonton, banyak dari mereka juga yang memberikan standing applouse dan senyuman mereka, itulang yang terpenting. Dan kalimat yang bisa membuat detak jantungku seakan berhenti adalah “And the winner is .... Marsya Putri Hutomo from Indonesia..... “.
“Hebat kamu Sya, sekarang saatnya kamu tunjukkan ini ke mama papa”, ujar Felis ketika menjemput kami di bandara Juanda. Dari awal aku memang berencana akan menunjukkan prestasiku kepada orang tuaku, jika itu memang prestasi yang tinggi atau setaraf tingkat Internasional, namun saat apa yang aku harapkan ada ditangan, semuanya berubah. Takut. Itu yang sekarang aku rasakan.
***

Saat itu mama, papa dan Felis ada diruang tengah, piala sudah aku genggam namun langkahku terasa amat berat, aku berusaha mengumpulkan semangatku kembali, “Ma, Pa ini piala untuk kalian”, ujarku sambil tersenyum dan memberikan piala kepada mereka.
“Apa ini?”, tanya papa sambil mengambil piala dari tanganku,” The International Piano Classic Competition? Apa maksutnya?”
“Iya, aku mewakili Indonesia di acara kompetisi Internasional dan aku menang Pa, Ma.Itu aku persembahkan untuk kalian dan Indonesia.aku juga dapat beasiswa kuliah musik di Amerika. Dan ini, dan ini buktinya aku serius dengan mimpiku”, jawabku bersemangat.
“Jadi selama ini kamu berbohong sama mama?kamu mengaku ikut olimpiade Sains, tapi ternyata lomba Piano? mau jadi apa kamu dengan musik!”, bentak mama sambil mengambil secara kasar piala yang ada ditangan papa. Dan diluar dugaanku, mama melempar piala yang dari tangannya. Mulutku terkunci rapat, mataku tertuju pada pialaku yang sudah menjadi potongan-potongan, air mata yang mengungkapkan perasaanku.
“Mama!”, Bentak Felis penuh emosi “Dimana hati nurani mama? Dimana??Selama ini kita sudah menghargai mama dan papa, tapi kalian yang memang tidak pernah menghargai kita!”
“Diam kamu Felis! Jaga bicaramu!”, teriak papa emosi.
“Kenapa kalian bisanya menuntut?Sampai kapan? Kita capek ma, pa! Papa memang dokter, tapi aku, Marsya, belum tentu jalan kita juga dokter!”
“Plaaaaaak” aku menoleh kearah suara, ternyata tangan papa melayang kepipi Felis “PAPA!!”, teriakku.
“Aaaaggghh..aaagggghhh”, teriak mama kesakitan sambil memegang dadanya. Penyakit jantungnya kambuh.
***

Setelah kejadian malam itu, aku tidak pernah lagi bermain piano.Piano memang mimpiku, piano memang semangat hidupku, tapi takkan kubiarkan ambisiku merusak keluargaku. Mungkin sekarang belum saatnya aku bermain piano, namun aku percaya, suatu saat Tuhan akan memberikan kesempatan kepadaku. Selama ini aku selalu merasa bahagia karena dapat membuat orang lain tersenyum karena tanganku, tapi apakah aku pernah membuat orang tuaku sendiri tesenyum ? Orang tuaku memang orang lain bagiku, tapi nadi dan darah mereka sudah menjadi satu didalam tubuhku. Akan ku buat mereka bahagia, walaupun mimpiku korbannya.Sekarang, aku dan mimpi mereka adalah diriku.
“Lalu bagaimana beasiswamu kuliah di Amerika Sya?”, tanya tante Sinta sewaktu aku mengajak dia pergi ketaman kota.
“Saya lepas tante”, jawabku sambil menyandarkan tubuh di pagar pembatas kolam.
“Apakah kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusan itu?”
“sekarang fokus kedokteran te”, jawabku sambil tersenyum.
“Ya sudah, semua keputusan ada ditanganmu.Jika sudah memilih, yakinkan dirimu”, ujar tante Sinta sambil membelai rambutku.

Hidup ini memang pilihan dan setiap pilihan pasti ada resikonya.Aku sudah memilih untuk mengambil jalan keinginan orang tuaku dan aku harus siap dengan resikonya.Sekarang aku berhasil masuk di Universitas Kedokteran yang mereka inginkan dan yang terpenting aku juga berhasil mendapatkan senyuman mereka kembali. Aku yakin, Hidup ini seperti bermain piano, apa yang kita dapatkan, bergantung pada bagaimana kita memainkannya.

Tentang Penulis:
Panggilan saya Rizka sekarang sedang pendidikan S1 di PGSD Universitas Negeri Surabaya.

Cerita Terkait

Cerita Motivasi: Separuh Langit Asa By Rizka Elma Karunia
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE