Cerita Keluarga: Bunda, Itukah Ayah By Jessica Aprillia Putri Gumilar

Ads:
CERITA KELUARGA: BUNDA, ITUKAH AYAH?
Penulis: Jessica Aprillia Putri Gumilar

Cilla masih merasakan sesak yang sama. Cilla tahu ia bukan perempuan yang tegar menghadapi kerinduan dan kepedihan. Namun, sekuat tenaga ia berusaha menghindari air mata. Pikirannya melayang, membayangkan sebuah senyuman dan pelukan hangat menyelimuti harinya. Bukan dari seorang kekasih, bukan sahabat, bukan juga teman. Ayah. Iya, sosok ayah yang dirindukannya saat ini. Pikirannya terus melayang, menembus bayang 8 tahun lalu. Diam. Hening.
“Muka kamu kok layu sih? Belum sarapan?”

Cilla menggelengkan kepalanya. Bukan karena malas menjawab, mungkin karena suasana hatinya yang kelabu. Kelam.
“Lalu? Tentang ayahmu lagi?”
Cilla mengangguk lemah. Kini, ia yang harus mengalah pada air mata. Basah. Membuat hatinya semakin kelabu saja.
“Sudahlah, jangan menangis…” 

Jemari Riri menyapa air mata Cilla. Menghapusnya lembut.
“Kan kamu yang selalu berkata, Ayahmu selalu hidup dihatimu. Biarkan ia tenang disana, aku yakin, beliau tak akan pernah suka melihat ada air mata. Tersenyumlah..”
Cilla tersenyum dan menatap sahabatnya, Riri. Pandangan matanya masih sayu, wajahnya juga masih layu. Ia menarik nafas dalam-dalam, mencoba melapangkan dadanya yang sedari tadi dipenuhi sesak kerinduan.
“Terima kasih. Kamu memang sahabatku”
Riri hanya mengangguk dan tersenyum. Perasaan Cilla sedikit lega, walaupun rindu masih menyusup dan menusuk perasaannya. Cilla lebih sering menghabiskan waktunya di perpustakaan. Menuliskan biografi ayahnya. Sekalipun ia tahu, ia hanya mengenal beliau selama 3 tahun. Tidak lebih. Namun baginya, sosok sang ayah tak pernah gugur dalam hatinya.
***

Awan kelabu menyelimuti cakrawala siang ini dan menyembunyikan sang raja siang dari pandangan Cilla. Setetes demi setetes titik air jatuh berirama dan bersama-sama. Semakin lama, semakin menjadi saja. Deras. Cilla terjebak di sekolah, mencoba untuk menerjang tirai hujan.
Ia berlari menuju gerbang sekolah, menerjang tirai hujan bersama anak-anak lainnya. Basah. Ia memeluk dirinya sendiri. Hawa dingin merasuk menyelimuti tubuhnya. Beruntung, mobil jemputannya telah siap beberapa lama kemudian. Cilla berlari kecil dan segera memasuki mobilnya.
“Bunda…?”

Sang bunda membalas panggilan Cilla dengan sesimpul senyum.
“Ini, bunda bawakan handuk dan jaket untukmu. Bunda tahu kamu pasti kedinginan.”
“Terima kasih, bunda. Bunda habis dari mana? Tak biasanya Bunda ikut menjemput Cilla.”
“Bunda hanya ingin menjemput kamu, sayang... Boleh kan?”
“Pasti boleh dong… Bunda, Cilla kangen ayah…”

Sang Bunda hanya terdiam dan memandangi putri semata wayangnya itu. Terhenyak dengan ucapan putrinya itu, segera saja sang Bunda menarik Cilla ke pelukannya. Belaian lembut sang Bunda membuat Cilla sedikit tenang. Tak terasa bulir air mata mulai mengalir perlahan.
“Iya sayang, bunda mengerti…”
“Bunda, boleh Cilla mendengar cerita masa kecil Cilla saat terakhir bersama Ayah? Cilla ingin mendengarnya lagi.”
“Boleh sayang… Begini ceritanya…”
“8 tahun lalu Cilla masih belum mengerti banyak hal. Hingga sore itu, menjadi hari terindah sekaligus hari terakhir kita bersama Ayah.” Sang Bunda memulai ceritanya. “Sore itu, Cilla sedang bermain bersama Ayah dan Bunda di sebuah taman kota. Udaranya begitu sejuk, di bawah pohon nan rindang, Cilla bermanja-manja pada ayah dan bunda.

Tiba-tiba sebuah burung merpati berbulu putih bersih hinggap di depan kita. Merpati tersebut mematuk remah-remah roti yang di buang Cilla. Cilla termenung sambil tersenyum memperhatikan merpati tersebut. Tiba-tiba, Bunda membelai lembut rambutnya dan berkata “Cilla sedang memperhatikan apa sayang?” Cilla yang polos pun menjawab “Cilla sedang memperhatikan burung itu bunda, burungnya cantik”. Sang Bunda hanya tersenyum melihat tingkah polos anaknya tersebut. Lalu, kembali duduk di tepi pohon.

Cilla menghadap belakang, Cilla lalu bertanya pada Ayah. “Ayah, itu burung apa?” sambil menunjuk ke arah burung merpati tersebut. Ayah tersenyum, lalu menjawab “Itu namanya burung merpati sayang”. Semakin lama, merpati itu tambah banyak. Remah-remah roti pun hampir habis. Cilla berlari ke arah ayah dan bunda.
“Ayah, Bunda.. Cilla ingin meminta rotinya, namun jangan pakai selai ya? Hanya rotinya saja” Ucap Cilla malu-malu sembari menekuk kedua tangannya ke belakang dan menggoyang-goyangkan badannya. “Untuk apa sayang? Bukannya Cilla lebih suka makan roti pakai selai” Bundanya menatap heran. “Itu…” Jawab Cilla polos dan menunjuk ke arah kerumunan merpati-merpati putih.

Bunda mengerti dan memberikan sehelai roti tawar pada Cilla, tak lupa juga dengan remah-remahnya. “Terima kasih, Bunda..” Cilla mencium pipi Bunda lalu berlari ke arah kerumunan merpati putih tersebut. Para merpati tak merasa terganggu dengan kedatangan Cilla, malah disambut senang. Cukup lama Cilla memperhatikan merpati-merpati tersebut, hingga senja menjelang.
Ayah lalu menghampirinya dan membelai lembut rambutnya sembari berkata “Cilla, sudah sore sayang.. Ayo pulang”. “Baiklah , ayah.” Sambil merajuk manja pada Ayah. Ayah lalu menggendong kamu. Sebelum terlalu jauh, Cilla melambaikan tangannya pada merpati-merpati tersebut. “Dadaaa…” Terucap sebuah kata perpisahan dari mulut Cilla. Cilla tertidur di gendongan Ayah.” Sang Bunda bercerita sambil sesekali membelai kepala Cilla lembut.
“Pagi menjemput, embun menebarkan bau basah. Cilla terbangun lalu tersenyum, jendela kamarnya berhadapan langsung dengan sinar sang mentari. Ia segera turun dari ranjang dan menuju ke jendela tersebut, ia melambaikan tangannya kepada sang mentari. Seolah-olah mengatakan “selamat pagi” untuk dunia.

Seperti biasa, Cilla langsung menuju ke kamar Ayah dan Bunda. Namun, pagi itu Cilla hanya menemukan Bunda sibuk merapikan pakaian Ayah dan tak melihat Ayah. Cilla bertanya pada Bunda, “Bunda, Ayah dimana?”. Bunda menjawab dengan tenang, “Cilla sayang, sekarang Cilla mandi dan bersiap ya sayang? Nanti kita akan bertemu Ayah”. Cilla mengangguk tanda mengerti.

Beberapa menit kemudian, Cilla telah siap dan menghampiri Bunda yang sibuk merapikan koper ke dalam bagasi mobil. “Cilla, sekarang Cilla makan ya? Nanti Bunda menyusul” Bunda tersenyum sembari menutup pintu bagasi mobil. “Iya, Bunda” Cilla menjawab dengan polosnya.
Seusai makan, kita segera berangkat. Cilla yang mulai mengerti sudah memasang sabuk pengaman sendiri sedari tadi. Cilla memeluk boneka kesayangan Cilla. Tanpa Cilla ketahui, kita sedang menuju ke rumah sakit tempat Ayah di rawat, Serangan jantung mendadak menyerang ayahmu hari itu.” Sang Bunda berhenti sejenak dan menghela nafas. Lalu, melanjutkan ceritanya kembali.
“Kita menuju ke kamar tempat Ayah dirawat, Cilla melihat infus yang menancap di tangan Ayah tersebut, lalu bertanya pada Bunda, “Bunda, mengapa tangan ayah di masukkan air dan di tusuk jarum? Bukankah itu sakit” menatap ke arah bunda. “Itu obat sayang, biar Ayah cepat sembuh” Bunda membelai kepalamu.

Dengan polosnya, Cilla menghampiri ayah lalu mencium kening Ayah tersebut sambil berkata “Ayah, cepat sembuh ya?”. Cilla tersenyum melihat ayah. Cilla duduk di sofa yang ada sembari mewarnai buku gambar yang sudah kamu bawa dari rumah. Berjam-jam ia ada di ruangan tersebut, mungkin karena merasa bosan Cilla melihat ke luar ruangan. Yang Bunda tahu, Cilla melihat sebuah bunga cantik yang ada di taman Rumah Sakit tersebut.
“Bunda, Cilla bosan. Bolehkah Cilla berjalan-jalan sebentar?” Tanya Cilla pada Bunda. “Boleh sayang.. Jangan lama-lama ya sayang” Jawab Bunda sembari tersenyum. Cilla pun berjalan keluar, ia menuju ke taman tersebut. Ternyata banyak sekali kupu-kupu yang menari-nari. Cilla bermain bersama kupu-kupu tersebut. Tanpa disadarinya ia terlalu lama berada di taman tersebut. Ketika akan kembali, Cilla memetik sebuah bunga untuk Ayahnya.

Kamu berjalan riang menuju ke ruangan tempat Ayah dirawat. Namun, sesampainya disana, ia melihat pintu ruangan di tutup dan Bunda menangis. Cilla terkejut, bunganya terjatuh dan segera menghampiri Bunda. Bunda mencoba tenang dan tak membuatmu khawatir. “Bunda, kenapa menangis? Ayah dimana Bunda?” Ucap Cilla polos dan menghapus air mata Bunda.

Bunda menarik Cilla ke pangkuannya dan menjawab pertanyaan Cilla “Ayah ada di dalam kok sayang.. Bunda tidak apa-apa”. Di dalam ruangan, tim dokter sedang berusaha mengembalikan detak jantung Ayahmu. Namun, Tuhan berkata lain, Ia sangat menyayangi Ayah dan memanggilnya lebih dulu. Tim dokter menyampaikan keadaannya dengan berat hati, Cilla yang masih sangat kecil masih belum mengerti. Bunda sangat terpukul dengan keadaan yang ada. Hingga tiba pemakaman Ayah.

Cerita Keluarga: Bunda, Itukah Ayah By Jessica Aprillia Putri Gumilar

Cerita Keluarga Lainnya: Kumpulan Cerita Keluarga

Saat jasad Ayah di baringkan di tanah, Cilla yang melihat bertanya pada sang Bunda, “Bunda, kok ayah tidur di tanah? Kasian Bunda, kan dingin”. Sang Bunda yang tersentak dengan pertanyaan anaknya, mencoba menjawab pertanyaan anaknya dengan tenang “Ayah hanya tidur sebentar kok sayang”. Pemakaman pun berlangsung dengan hikmat, sebelum pulang sang Bunda mencium nisan Ayahnya.” Tanpa disadari setetes air mata mengalir di pipi sang Bunda. 

Cilla menyadari jika ada air mata yang mengalir, lalu mengubah posisinya dan menatap bundanya.
“Bunda menangis? Maafkan Cilla, bunda…”
“Tak apa sayang… Bunda lanjutkan ceritanya ya?”
“2 tahun pun berlalu, Cilla yang bertingkah laku polos saat itu mulai mengerti, kala itu Cilla mengenyam pendidikan di kelas 1 SD. Hingga saat Cilla bermain di taman yang sama seperti 2 tahun lalu, Cilla bertanya pada Bunda, “Bunda, mengapa Ayah belum pulang juga? Apa Ayah marah sama Cilla?”. Bunda kembali tersentak dengan pertanyaanmu, pertanyaan yang mirip dengan 2 tahun lalu. “Ayah sekarang ada di sebuah tempat sayang.. Tempatnya indah sekali, Ayah selalu melihat kita dari sana sayang..” Jawab Bunda sambil menarik Cilla ke pangkuannya.
“Dimana itu, Bunda?” Cilla menatap Bunda. Bunda pun menjawab kembali “Di surga sayang..” Cilla mengangguk, kala itu Cilla mengerti. Cilla mengerti karena saat itu Cilla telah mengenal dengan baik surga dan neraka. Cilla lalu menatap langit, berharap bintang pertama segera muncul. Tak lama kemudian, bintang pertama muncul. Cilla lalu mengucapkan sebuah kalimat tanya yang membuat Bunda terkejut “Bunda, itukah Ayah?” sambil menunjuk ke arah bintang pertama tersebut. Sang Bunda menjawab “Iya sayang.. Itu Ayah”. Tak henti-hentinya mata bening Cilla menatap ke arah bintang pertama tersebut dan tanpa disadari mulut kecilmu mengucapkan “Ayah, Cilla sayang Ayah..” Bunda masih ingat jelas saat itu. Bunda mengerti bila Cilla sering merindukan Ayah.” Sang bunda mengecup kening putrinya.

“Bunda, Cilla memang rindu ayah.. Tapi, Cilla bersyukur masih memiliki bunda…”
Cilla memeluk bundanya dan tersenyum. Sejenak, kepedihan yang dirasakannya hilang. Dicobanya untuk menepis segala pedih di wajahnya, Cilla tak ingin hati Bundanya teriris. Sekalipun, ia begitu merindukan sosok Ayah di sampingnya.
Tak terasa, lima belas menit digunakannya untuk mendengarkan cerita sang Bunda tentang masa terakhirnya bersama sang Ayah. Rumah Cilla memang melewati tempat peristirahatan terakhir sang Ayah. Saat melewati makam tersebut Cilla meminta untuk berhenti dan sekedar melepas rindu serta mendoakan sang Ayah. Ia berlari kecil menuju ke makam sang ayah dengan seragam sekolah yang mulai mengering.

Ia berlutut disamping nisan sang Ayah. Berdoa dengan sepenuh hati untuk sang Ayah. Dalam doanya, Cilla menangis. Kerinduan yang membuat hatinya pedih. Cilla memeluk nisan sang Ayah dan berkata, “Ayah, Cilla rindu ayah…”

Tentang Penulis:
Hai, namaku Jessica Aprillia P. G. Biasa dipanggil Chica. Lahir di Ciamis, 17 April 1999, tapi tinggal di Jepara, Jawa Tengah. Sekarang duduk di bangku SMA kelas X. Entah ini cerpen keberapa yang udah aku tulis. Masih banyak cerpen yang lain, tapi nggak semuanya aku publikasikan. Wanna know more about me? Contact me in:
Twitter : @jessicaprilliaa
Fb : Jessica Aprillia

Cerita Terkait

Cerita Keluarga: Bunda, Itukah Ayah By Jessica Aprillia Putri Gumilar
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE