Cerita Cinta: Friendship & Love By Ghina Jatsiah

Ads:
CERITA CINTA: FRIENDSHIP & LOVE 
Penulis: Ghina Jatsiah

Mereka menyebutnya kebetulan. Aku menyebutnya takdir. Ini adalah cerita tentang cinta pada pandangan pertamaku saat SMA. Namaku Fandi, sekarang aku sedang mengerjakan skripsiku. Saat SMA, ada satu kisah yang masih menghantuiku akibat sesal yang aku buat. Jadi...

Aku adalah siswa baru yang baru saja naik kelas XI dan memantapkan hati untuk masuk jurusan IPA di sebuah SMA swasta. Sekolah ini cukup baik, aku suka berada di sini. Entah bagaimana kenyataannya, tapi aku merasa kelas IPA-ku sangat tidak menyenangkan. Kelas yang ‘sepi’, sulit berinteraksi, tidak seramai yang aku bayangkan. Bahkan jika harus memilih, aku lebih memilih untuk tetap berada di sekolahku dulu jika aku harus bersekolah dengan keadaan yang kurang asik seperti ini. Terbesit keinginan untuk pindah kelas, bahkan pindah jurusan, khawatir kelas IPA manapun di sekolah ini memang seperti ini keadaannya. Terlalu serius dan kaku, aku tidak suka.

Untungnya namaku belum ada dalam absen kelas, aku bisa mengajukan pindah jurusan kepada guru BP. Dan alhasil, keinginanku terpenuhi. Aku pindah jurusan IPS. Ternyata kedua jurusan di sekolah ini memang sangat terlihat perbedaannya. Anak-anak yang masuk jurusan IPA memang kebanyakan adalah murid unggulan dan berkarakter serius, meskipun tidak semua seperti itu. Sedangkan jurusan IPS hampir semua anak berkarakter lebih ‘liar’. Di sekolahku yang baru ini memang ada sebuah geng dan anggotanya hampir semua berada di IPS, walaupun di IPA juga ada. Aku tidak berniat ikut bergabung dengan geng tersebut, aku hanya berpikir mungkin mereka yang ‘liar’ ini lebih ramai dan mudah berinteraksi. Terlebih aku juga berkarakter tidak seserius seperti anak IPA.

Setelah satu minggu berada di jurusan IPS, ternyata memang benar. Aku lebih betah dibandingkan jurusanku kemarin. Biarlah aku meninggalkan pelajaran Kimia yang kusukai dan bergelut mempelajari Akuntansi yang kubenci, daripada aku menjadi tertular menjadi orang ‘pendiam’. Itu bukan aku.

Setelah satu minggu pula, aku baru melihat perempuan memakai ransel princess berwarna pink dan rambut tergerai sebahu. Kupikir dia adalah murid baru, sama sepertiku. Tapi dia berjalan masuk ke dalam kelas IPA yang sama denganku dulu, kelas IPA yang hening.

Ternyata perkiraanku salah, dia memang salah satu murid di kelas itu. Hal itu terlihat karena dia tersenyum dan bercengkrama dengan teman-temannya di depan kelasnya. Dia lucu dan mempunyai senyum yang sangat manis. Dan melihatnya mengobrol dari depan kelasku, aku tahu dia lebih ‘tidak mau diam’ seperti temannya yang lain. Dia terlihat sangat friendly dan sepertinya sedikit bawel. Aku suka perempuan seperti itu. Dan sepertinya aku... menyukainya. Kalau saja minggu lalu aku mau bersabar, sepertinya aku bisa dekat dengannya karena kami satu kelas di jurusan IPA.

Jika bel pertanda masuk jam pertama terlambat sepuluh menit, aku pasti sudah menyapanya dan mencoba untuk berkenalan. Itupun jika dia tidak berjual mahal seperti kebanyakan perempuan sok cantik di FTV. Dan kesempatan itu juga hampir datang saat jam istirahat, ketika aku.. yaaa bisa dibilang ke-geer-an.

“Sini kamu!” Teriak si perempuan ber-ransel princess itu. Dan dengan merasa kerennya aku menghampiri dia.

“Ada apa?” Tanyaku percaya diri.

“Ada apa?” Tanyanya kebingungan. Sama bingungnya seperti aku saat dia bertanya balik.

“Waaah, kamu udah sembuh ternyata.” Ucap Dira dari belakangku. “Ohh, jadi udah kenal sama Fandi, nih?”

“Hah? Nggak, nggak. Gue baru mau keluar pas ada dia.” Jawabku sambil pergi meninggalkan mereka.

Sial. Ternyata dia memanggil Dira, teman sekelasku. Dan kali ini aku tidak tahu bagaimana lagi untuk mengajaknya berkenalan. Kejadian tadi sangat memalukan. Ditambah lagi dari belakang aku mendengar...

“Dia kayaknya ngira aku manggil dia, deh, Dir.” Ucap si perempuan tadi.

“Fandi? Hahaha.. salah kali, Beb. Maklumin aja.” Jawab Dira.

“Lah, aku kan lagi ngambek sama kamu. Aku sakit kenapa kamu ga jenguk aku?” kata si perempuan itu lagi dengan manja dan tidak tahu mereka berbincang apa lagi.

‘Aku-kamu’, ‘Beb’, panggilan itu sangat menjengkelkanku. Jadi mereka itu berpacaran? Di Jakarta, panggilan 'aku-kamu' menandakan berpacaran. Beruntunglah aku belum sampai mengajaknya berkenalan tadi, karena akan tambah memalukan lagi jika aku mengajak berkenalan pacar teman sekelasku. Dan niatku untuk itu tidak akan kulaksanakan lagi. Dan rasa penasaranku hilang begitu saja.

Di kelas ini, aku memang cepat akrab dengan siapa saja. Termasuk Dira, tapi aku tidak pernah membahas Beby, si perempuan ber-ransel princess itu. Sudah mengetahui namanya saja sudah cukup untukku. Membicarakannya hanya akan membuatku merasa patah hati. Lagipula setelah aku mengenal teman sekelasku, aku juga sudah cukup dekat dengan satu perempuan. Aku memang tidak berniat mendekatinya sebagai kekasih karena aku tahu dia juga sudah memiliki kekasih di sekolah lain. Dia Prisa, perempuan paling bawel yang pernah kukenal, yang sampai saat ini dia adalah sahabat baikku.

Cerita Cinta: Friendship & Love By Ghina Jatsiah

Cerita Cinta Lainnya: Kumpulan Cerita Cinta

“Dir, Beby jadi pindah sekolah?” Tanya Dimas.

“Iya jadi. Bokapnya pindah tugas, padahal setahun lalu gue seneng dia pindah ke sini. Taunya harus pindah lagi sekarang. Besok dia udah pergi ke Bandung.” Jawab Dira.

“Beby pindah lagi? Sebelumnya dia bukan di Jakarta?” Tanyaku penasaran.

“Dia tinggal di Jakarta waktu dia mau masuk SMA. Gue seneng jadi satu sekolah sama dia.”

“Ohh, jadi sebelumnya lo pernah long distance. Pacaran sama dia udah lama, ya?”

“Ngomong apaan, sih? Gue sama dia itu deket dari jaman gue balita. Nyokap gue sama nyokapnya temen kuliah dulu di Bandung. Jadi nggak ada istilah gue pacaran sama dia karena gue udah punya pacar.”

Aku baru sadar dengan nama Beby. Panggilan ‘Beb’ itu bukan panggilan sayang umum yang super menggelikan untuk mereka, itu memang kependekan namanya. Dan bodohnya aku menganggap mereka berpacaran karena itu.

“Ya kaliii. Gue pernah denger dia panggil ‘aku-kamu’ sama lo habisan.” Aku masih penasaran.

“Dia tinggal sejak kecil di Bandung. Dan selama tinggal di Jakarta, ‘lo-gue’ belum jadi kebiasaan buat dia. Lo baru sih di sini, wajar kalau liat Beby kayak gitu.”

“Naksir, lo?” Pertanyaan menyelidik itu keluar dari mulut Prisa.

“Hahaha... Gue ketemu aja baru, kenal juga nggak. Mana bisa naksir. Ditambah dia mau pindah ya jelas makin nggak mungkin.” Jawabku asal.

Setelah itu celotehan kami berubah menjadi topik yang lain. Bukan Beby lagi. Dan otakku masih saja terfokus pada nama Beby. Kenapa tidak kutanyakan ini saja waktu itu pada Dira? Sementara sekarang aku jadi merasa menyesal tidak berusaha untuk mendekatinya waktu itu. Paling tidak menyempatkan diri untuk berkenalan secara langsung. Dan sekarang aku baru saja tahu bahwa Beby akan pindah sekolah. Kesempatan itu benar-benar hilang. Tidak kusangka seorang perempuan yang kulihat dengan tidak sengaja di depan kelas bisa membuatku seperti ini. Bahkan sampai aku lulus SMA.

---

Percaya atau tidak, rasa penasaranku saat kelas XI masih belum hilang sampai sekarang. Sebenarnya saat kelas XII, aku sempat memiliki kekasih. Namun, hubungan kami harus putus karena kami tidak bisa menjalani long distance relationship. Aku dan sahabatku, Prisa, berencana akan kuliah di Bandung. Kota itu mengingatkanku pada satu perempuan yang hampir tidak bisa kusebut teman SMA. Ya, karena pertemuan kami sangat singkat dan tidak pernah ada obrolan diantara kita berdua selain kesalahpahaman saat dia memanggil Dira.

Aku dan Prisa akhirnya diterima di salah satu universitas swasta di Bandung. Di kampus inilah, tepatnya saat semester dua, kami bertemu dengan Nasya, Alvin, dan Putra. Juga mengenal Anya yang menjadi tunangan Putra saat ini.

Pertemanan kami yang biasa menjadi sebuah persahabatan yang luar biasa. Kata jaim sudah tidak melekat pada diri kami. Prisa yang bawel sejak SMA sangat cocok dengan Nasya yang juga tidak kalah bawel. Karena kebawelan mereka, tidak jarang juga mereka sering berdebat. Dan ada Anya yang manja yang sering mengakurkan mereka kembali. Putra yang berbeda satu tingkat di atas kami, sudah menjadi kakak diantara kami. Juga Alvin yang jika tidak mengenalnya dengan baik akan memiliki kesan pria keren, padahal dia memiliki satu kisah yang membuatnya sangat melankolis karena satu perempuan. Kisahku dan Alvin hampir sama, kami masih sama-sama memiliki penyesalan di masa lalu.

Mereka adalah teman band sekaligus keluarga kedua bagiku. Terlebih aku di Bandung memang jauh dari keluarga, berbeda dengan Prisa yang memang orang tuanya memutuskan untuk pindah ke Bandung juga saat Prisa memutuskan untuk tidak kuliah di ibu kota. 

Suatu hari, di semester empat, aku sedang sibuk mengerjakan tugasku. Aku pergi ke toko buku untuk mencari bahan untuk kujadikan makalah. Saat sedang membayar buku di kasir, pandanganku terhenti pada satu rak buku komik. Bukan karena ada komik terbaru yang membuatku tertarik, tapi perhatianku tertuju pada sosok perempuan yang sedang memegang komik jepang. Sebenarnya aku tidak yakin untuk menyapanya, namun kupaksakan nyaliku.

“Beby?” Sapaku tidak yakin.

“Ya?” Jawabnya kebingungan. “Sorry. Siapa, ya?”

“Oh, sorry. Gue Fandi, temennya Dira waktu SMA. Lo dulu sekolah di Jakarta bareng Dira, kan?”

“Fandi? Oh, iya, Dira pernah cerita tentang temen sekolahnya dan pernah nyebut nama kamu. Kamu kuliah di sini?”

Beby memang sangat ramah. Dan senyumnya itu masih sama seperti dulu. Manis sekali. Ternyata ‘aku-kamu’ itu masih melekat dan sekarang dia memanggilku juga dengan panggilan ‘kamu’. Sampai aku juga jadi tertular ‘aku-kamu’ sepertinya.

“Iya, aku kuliah di Bandung. Nggak nyangka bisa ketemu di sini. Masih suka ketemu Dira?” Tanyaku.

“Udah jarang. Dira sibuk banget, terakhir dia sama keluarganya ke Bandung waktu liburan semester dua. Itupun Dira pulang duluan ke Jakarta.”

“Iya, bener. Waktu aku pulang ke Jakarta juga susah ketemu dia. Kamu sendirian di sini?”

“Sebenernya, sih, lagi nunggu orang. Kamu sendiri juga?”

“Aku juga lagi nunggu temen. Laper, nggak? Mau nunggu sambil makan barengan? Itu juga kalau kamu mau.”

“Boleh, aku juga laper dari tadi. Biar nanti aku sms biar dia tahu aku udah nggak nunggu di sini.”

Aku dan Beby masuk ke sebuah cafe dekat toko buku. Beby memang teman mengobrol yang sangat menyenangkan. Aku tidak pernah kehabisan topik dengannya. Bahkan dari menunggu makanan sampai makanan hampir habis pun kami asyik membicarakan segala hal. Kupikir ini adalah peluangku yang tertunda saat SMA dulu. Aku berniat meminta kontaknya sampai seseorang meneleponnya dan menunda maksudku.

“Halo?... Iya, aku masih di dalam... Masuklah, aku kenalin sama temen aku...” ucapnya di telepon. Sepertinya temannya sudah datang dan kulihat di pintu masuk pria tinggi berpakaian casual datang menghampiri kami dan Beby melambaikan tangan padanya.

“Maaf, ya, harus nunggu lama. Dosen emang paling seenaknya kalau mindahin jadwal kuliah.” Ucap si pria itu.

“Nggak apa-apa, untung aku ketemu temen aku. Jadi beteku hilang.” Jawab Beby manja. “Sayang, ini Fandi. Dia temen SMA-ku waktu aku sekolah di Jakarta.”

Apa? Sayang? Jadi dia sedang menunggu pacarnya? Kukira dia sedang menunggu temannya. Kesempatanku yang sudah kutunggu sejak SMA kini sudah habis. Pria itu menjulurkan tangannya dan kusambut dengan agak malas.

“Fandi.” Kataku singkat mengenalkan diri.

“Aldo. Thank you, ya, udah nemenin Beby.” Jawabnya. “Aku ke toilet dulu, ya.” Katanya lagi pada Beby sambil disambut anggukan Beby. Saat Aldo pergi ke toilet, Alvin dan Nasya datang menghampiriku. Dengan kedatangan mereka, kupikir mudah kujadikan alasan untuk pergi duluan. Tadinya aku akan meminta kontak Beby hanya untuk teman saja, sampai akhirnya Alvin kaget melihatku bersama Beby.

“Beby?” Ucap Alvin seperti tidak percaya.

“Alvin? Hai.. Hai, Nasya.” Jawab Beby canggung.

“Hei, Beb. Udah lama nggak ketemu.” Kata Alvin jadi sedikit murung.

“Kok, bisa sama Fandi, Beb? Kenal dari mana?” Tanya Nasya.

“Waktu di Jakarta, aku satu sekolah sama Fandi. Terus tadi ketemu di toko buku dan makan bareng sambil nunggu orang yang ditunggu. Taunya orang yang ditunggunya kalian, ya.”

“Kalian udah kenal?” Tanyaku penasaran.

“Ya ampun, dunia sempit banget. Beby temen kita waktu SMA. Terus... Beby ini mantan terakhir Alvin.” Jawab Nasya lagi.

Sepertinya jawaban Nasya membuat keadaan menjadi semakin canggung. Dan aku juga kaget mendengarnya. Jadi karena ini Alvin jadi sedikit murung. Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Niatku untuk meminta kontak Beby hanya untuk menjaga silaturahmi sebagai teman pun batal. Aku tidak mungkin melakukan itu apalagi aku sudah tahu bahwa Beby-lah perempuan yang menjadikan Alvin melankolis dan menyesal sampai sekarang. Alvin itu sahabat baikku sekarang. Aku tidak mungkin menghancurkan perasaan Alvin yang belum bangkit. Keadaan semakin tidak enak saat Aldo kembali.

“Hmm, kalau gitu aku duluan, ya.” Ucap Beby tiba-tiba sambil mengeluarkan dompet dan buru-buru kusanggah.

“Biar aku aja yang traktir, Beb. Kan aku yang ajak makan.” Ucapku.

“Serius, Fan? Makasih, ya. Dan sorry, nih, aku buru-buru.” Katanya. Aku tahu Beby sendiri tidak enak pada Alvin. “Kita duluan ya, Nas, Vin.” Katanya lagi tersenyum sambil berlalu bersama Aldo.

Alvin hanya menjawab dengan senyuman. Kupikir bukan hanya Alvin saja yang merasa patah hati. Aku sendiri merasa patah hati saat tahu dia menunggu kekasihnya. Ditambah aku tahu bahwa mantan kekasih Beby adalah sahabatku sendiri yang aku tahu dia masih belum bisa melupakannya.

Penantianku selama SMA sampai saat ini justru lebih pahit. Rasa sesal yang kurasakan, kini menjadi rasa kesal. Tapi mungkin ini takdir. Jika Beby tidak sedang menunggu kekasihnya pun, tidak akan menjadi kabar baik untukku. Ya, takdirku memang tidak pada Beby, perempuan ber-ransel princess yang kusukai pada pandangan pertama. Masih ada sahabatku yang perasaannya harus kujaga. Aku tidak mungkin merebut cinta sahabatku yang sampai sekarang belum habis. Tapi sepertinya aku dan sahabatku yang lain harus membantu Alvin untuk bangkit. Di balik itu, sebenarnya hal itu juga harus kulakukan. Meski itu harus kulakukan sendiri tanpa bantuan mereka. Iya, aku dan Alvin harus bangkit dari perempuan yang sama. Aku dan sahabatku harus melupakan perempuan yang sama.

Cerita Terkait

Cerita Cinta: Friendship & Love By Ghina Jatsiah
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE