Cerita Cinta: Nobody Love You Like Me By Sekar Arum

Ads:
CERITA CINTA: NOBODY LOVE YOU LIKE ME 
Penulis: Sekar Arum

Banyak orang bilang cinta terkadang membuat pikiran kita tidak rasional. Dan biasanya ketidakrasionalan tersebut dimulai dari rasa suka, yang sekilas terdengar lebih jinak daripada cinta, meski tidak begitu kenyataannya. Gara-gara suka, kadang kita melakukan hal-hal yang tidak akan mungkin dilakukan jika pikiran kita seratus persen waras. Contohnya : kalau orang yang kita taksir satu sekolah dengan kita, kita akan mencari tahu informasi-informasi detail lainnya tentang orang tersebut. Bagaimanapun caranya. Lalu nge-stalk dia dengan mencari profilnya di website sekolah. Setelah tahu nama lengkapnya, aksi penguntitan dilanjutkan melalui Facebook. Dan jika kita berani meng-add orang tersebut, tentu kita tidak perlu menguntitnya melalui jaringan sosial itu lagi. Kemudian jika dia meng-confirm, kita bisa ngobrol layaknya orang normal.

Tapi berapa banyak sih orang yang senekat itu? Dan berapa banyak sih orang yang berani melakukan hal-hal konyol seperti itu? Bukan karena kita penakut, tapi karena sebagai perempuan, kita punya harga diri dan gengsi. So.. untuk menjaga gengsi, akhirnya kita hanya bisa mengagumi orang yang kita sukai dari kejauhan. Benar, bukan?

Isabella Courtney Avery, nama lengkapku. Panggil saja, Bella. Aku tidak pernah jatuh cinta separah ini. Aku tidak pernah mencintai seseorang hingga-bisa dibilang “Fanatik”. Mungkin jika aku mencintai seseorang, hanya sekedar suka. Tidak terlalu berlebihan. Tapi entah mengapa 3 tahun belakangan ini aku mulai jatuh cinta. Pada seorang lelaki yang menjadi idola di sekolahku. Aku tidak pernah memperhatikannya sebelum aku jatuh cinta padanya. Perhatianku hanya tercurah padanya saat ini. Sayangnya, aku berbeda kelas dengannya. Ia kelas X.7 sedangkan aku kelas X.4

Butuh waktu cukup lama bagiku untuk menyadari bahwa ia tinggal bersebelahan denganku. Selama ini aku memang sering melihatnya mengendarai mobil dalam perjalanan menuju sekolah, dan hanya menyimpulkan sambil lalu bahwa ia tinggal di area yang sama denganku, itu saja. Tapi setelah menyadari di mana ia tinggal, tak mungkin aku tidak menghiraukannya karena aku mulai melihatnya ke mana pun aku pergi. Di pasar swalayan ketika sedang berbelanja. Di kotak surat depan rumahnya. Di pintu gerbang rumah masing-masing ketika aku keluar dia baru akan masuk. Dengan semakin seringnya kami bertemu, mau tak mau aku mulai memperhatikannya dengan saksama.

Justin Drew Bieber. Itulah nama lengkap lelaki yang 3 tahun belakangan ini kucintai dengan tulus. Potongan rambutnya ala jambul katulistiwa. Tubuhnya agak gempal dan kokoh berotot-tidak sampai mengerikan seperti Conan the Barbarian, tapi lebih seperti pemain rugby. Penampilannya di sekolah memang mengikuti peraturan yang mengharuskan murid laki-lak mengenakan kemeja dan dasi, tapi dia mencoba menunjukkan sisi pemberontaknya dengan selalu menggulung asal lengan kemejanya hingga ke siku, tidak mengancingkan kancing paling atas, dang mengikat longgar dasinya sehingga memperlihatkan sedikit kulit lehernya yang agak kemerahan. Intinya, dia itu maskulin banget!

Beberapa hari setelah libur sekolah karena guru ada bimbingan di kota Chicago, aku berpapasan dengan Justin di kantin ketika hendak membeli makanan ringan. Aku mencoba tersenyum padanya, tapi bukannya membalas senyumku, ia hanya menatapku dengan kening berkerut dan berlalu dari hadapanku. What the hell??!!!!

**

“Menyebalkan!” ucapku sambil mendudukkan bokongku pada kursi di taman belakang sekolah. Kebetulan di sampingku ada Maria, teman dekatku.

“Ada apa dengan kau, Bella? Justin lagi?” tanyanya heran dengan tingkahku barusan. Aku mencoba menghela napasku, lalu menjawab pertanyaan Maria.

“Yap. Dia nyebelin banget tau gak! Aku senyum ke dia tadi di kantin, eh dianya malah gak bales senyumku! Bukannya kita itu diajarin untuk membalas senyuman orang lain kepada kita walaupun kita tidak mengenal orang tersebut?” ketusku dengan nada sedikit kesal. Saat mendengar ocehanku, Maria tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangkat salah satu alisnya.

“Kenapa? Apa ada yang salah dengan perkataanku?”

Maria tersenyum padaku lalu berkata, “Tidak. Hanya saja aku terkesan oleh ceritamu itu. Apakah benar seperti itu kejadiannya?”

“Memang kau pikir aku mengada-ngada?” ucapku semakin kesal

“Baiklah. Maaf, mungkin kau memberikan senyummu yang sedikit terlihat aneh di mata Justin. Maybe” tanpa menghiraukan kata-kata Maria, aku langsung pergi meninggalkannya.

Cerita Cinta: Nobody Love You Like Me By Sekar Arum

Cerita Cinta Lainnya: Kumpulan Cerita Cinta

Sepulang sekolah..

Aku baru saja keluar dari gerbang sekolah dan bergegas karena teman-temanku sudah menunggu untuk makan siang. Ketika aku berbelok keluar, tampak Justin baru akan melangkah masuk. Langkahku sedikit tersentak, mencoba menahan momentum yang akan membuatku menabraknya. Sesaat tatapan kami bertem dan secara refleks aku tersenyum, lalu mengangguk padanya. Dia pun tersenyum lebar-mungkin karena reflex juga-dan aku mendengarnya berkata, “Hai”.

Dan untuk pertama kalinya aku mendengar suaranya yang-sumpah, seksi abiiissss!!!!! Tapi dasar bego, bukannya menanggapinya atau membuka pembicaraan, aku malah pergi dari hadapannya.

Aku berusaha melupakan kata “Hai” itu selama berminggu-minggu. Aku juga ingin mencoba melupakannya dari pikiranku. Tapi setelah terus mencoba, aku semakin mencintainya. So.. intinya aku tak bisa melupakan dan menghilangkan semua tentangnya yang ada di dalam pikiranku! Entah mengapa, begitu sulit bagiku untuk melupakannya. Jika ingat tingkahnya yang sangat dingin padaku, rasanya-aarrrgghh-ingin sekali menamparnya keras-keras! Huft, entahlah.

@Home

Setelah berada tepat di depan pintu, lantas aku masuk ke dalam rumah. Aku hanya tinggal bersama orang tuaku dan bibiku di Texas. Ya, memang aku adalah anak tunggal. Tapi aku tidak di ajarkan untuk manja kepada kedua orang tuaku. Oke, kembali ke pembicaraan. Karena gerah, akhirnya aku langsung masuk ke dalam kamar dan ganti baju. Dan kemudian aku menyalakan laptop-ku, aku mulai nge-stalk Facebooknya.

Alangkah terkejutnya aku setelah melihat Notification yang ada di Facebookku. Kau tau kenapa? Justin meng-confirm friend request ku! Omegat! Rasanya seneng banget! Berminggu-minggu aku menunggu hal ini terjadi, akhirnya terkabulkan! Tanpa basa basi lagi, aku segera melihat profilnya. Aku sempat tertawa melihat foto profilnya. Ia tersenyum lebar-menunjukkan giginya-sambil merangkul seorang wanita yang lebih tua darinya. Wanita tersebut juga tersenyum lebar dan merangkul pinggang Justin. Aku yakin wanita itu bukan pacar atau istrinya, melainkan ibunya.

Esoknya..

“Hai, Bella!” Rachel tiba-tiba menyapaku dan duduk di sampingku. Aku hanya membalas sapaannya dengan senyuman polosku. Akhirnya ia membuka pembicaraan.

“Bella, apa kau sudah tau kabar tentang Justin?” tunggu,tunggu. Berita? Ada apa ini? Feelingku tidak enak saat ini.

“Kabar? Kabar apa? Kabar apa, Rachel? Tolong katakan!!!” ujarku dengan memegang erat tangan Rachel dan memandang mata Rachel tanpa berkedip sedikitpun.

“Kemarin malam Justin kecelakaan, Bella. Justin kecelakaan saat akan menuju rumahnya. Aku tak tau kejadian pastinya seperti apa, tapi yang jelas dan yang kudengar, Justin kecelakaan. Ia ada di rumah sakit saat ini. Kondisinya sangat parah. Ia membutuhkanmu saat ini, Bella!”

JLEB. Seketika jantungku berdegup kencang mendengar kabar tersebut. Kenapa hal ini terjadi pada orang yang ku cintai? Kenapa? Apa yang harus kulakukan saat ini, Tuhan? Kenapa semua ini terjadi begitu buruk? Jika aku harus memilih, aku lebih memilih menyelamatkan jiwanya daripada harus kehilangannya. Walaupun itu berakibat fatal atau mungkin berakibat aku sendiri yang harus meninggalkan dunia ini. Baiklah, aku akan melakukan apa saja untuknya.



Setelah Rachel memberitahu kabar Justin tersebut, tiba-tiba Mrs.Varinna, guru IPS-ku masuk ke dalam kelas dan langsung duduk di mejanya.

Pertama, beliau mengucapkan salam terlebih dahulu. Lalu beliau tak langsung memulai pelajaran, tapi beliau memberitahukan kabar tentang Justin. Jadi, benar. Justin kecelakaan. Dan Mrs.Varinna mengatakan bahwa mata kanan Justin buta.

Buta? Rasanya saat ini aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Tapi keadaan tak memungkinkan jika aku ingin menangis. Aku tak tega mendengar keadaan Justin yang seperti itu. Apa aku harus merelakan mata kananku untuk Justin? Tapi..

**

Satu minggu berlalu. Hari ini, Justin baru pulang dari rumah sakit. Mata kanan Justin sudah tidak buta lagi. Sekarang matanya telah normal dan bisa melihat semuanya dengan jelas. Walaupun Justin sudah sembuh, tapi ia tak boleh langsung sekolah. Ia harus beristirahat dengan cukup di rumah. Tak boleh kecapaian, ataupun melakukan aktivitas-aktivitas berat lainnya. Obat-obatan dari dokter masih disimpan Justin. Setiap hari, setiap saat, ia harus menghabiskan satu per satu obat itu.

Di sisi lain, aku harus merelakan mata kananku untuk orang yang ku cintai. Aku harus ikhlas melakukan hal yang terbilang “gila” ini. Seharusnya tak wajar jika aku harus mendonorkan mata kananku untuk orang yang sangat ku cintai. Sedangkan Justin sendiri bertingkah acuh tak acuh padaku. Aku seperti hantu yang tak diinginkan keberadaannya oleh Justin. Aku tidak tahu apa salahku pada Justin. Seakan-akan Justin sangat membenciku seperti membenci kepada pembunuh. 

##

Mataku masih menatap lelaki berparas tampan yang sedang duduk menyendiri di kursi taman belakang sekolah itu. Semenjak kecelakaan tragis itu, Justin memilih untuk menyendiri. Ia tak pernah bergaul lagi dengan teman-temannya. Aku tak tahu apa yang membuatnya seperti itu, tapi mungkin ia trauma dengan kecelakaan yang di alaminya beberapa waktu lalu.

Namun, apa salahnya jika aku mencoba untuk menyapanya? Aku tak mau ia mati gaya hanya karena kecelakaan itu. Kecelakaan itu telah mengubah Justin hingga 180 derajat.

Perlahan aku melangkahkan kakiku ke arah Justin. Tubuhku bergetar, tanganku berkeringat dingin. Aku gugup saat mendekat ke arahnya. Dengan langkah kaki yang ku percepat, akhirnya, aku sudah berdiri di hadapan Justin. Aku mencoba tersenyum lebar kepadanya. Tapi? Justin tetap diam. Justin tak menatapku atau mungkin melirikku sedikit saja. Err, ayolah. Kenapa seperti ini? Justin sangat menyebalkan!

Karena tak kuat dengan sikap Justin, aku berbalik arah dan kembali menuju kelas. Tapi seseorang telah meraih tanganku. Aku menoleh ke belakang, ternyata Justin. Kemudian ia tersenyum. Justin menggenggam tanganku erat. Tanpa kusangka-sangka, ia meraih pinggangku dengan tangannya yang bebas, lalu menarikku mendekat. Agar tidak kehilangan keseimbangan, aku melangkah maju dengan tangan kiri berpegangan erat pada bahunya. Detik selanjutnya aku menyadari Justin benar-benar memelukku. Tubuhku menempel pada tubuhnya, hanya dipisahkan oleh dua lembar katun tipis. Tangan kami masih saling menggenggam. Lengan Justin semakin erat melingkari pinggangku, membuatku harus agak berjinjit dan memindahkan telapak tangan kiri dari bahu ke punggungnya. Tubuhnya yang kokoh itu mendekap tubuhku dengan sempurna, membuat detak jantungku menggila dengan bunyi BUM BUM BUM keras yang aku yakin dapat dirasakannya. Aku membatin “Oh my God” berkali-kali.

Lima belas detik kemudian aku menyadari Justin masih belum melepaskan pelukannya. Aku mengambil kesempatan ini untuk mengusap punggungnya dan pelan-pelan menarik napas, mencoba mencium aroma tubuhnya tanpa ketahuan. Ia hanya beraroma seperti katun dan sabun. Yang jelas ia beraroma seperti laki-laki sejati. Namun senyaman apa pun aku dalam pelukannya, pelukan itu harus berakhir. Aku pun berlalu dari hadapannya dengan wajah merah padam.

Setelah hari itu, kupikir sikap Justin akan berbeda terhadapku. Kupikir setidaknya ia akan menyapaku ketika kami berpapasan. Tapi ternyata tingkah lakunya tidak berubah, seakan pelukan itu tidak pernah terjadi. Jelas pelukan itu tidak berarti apa-apa untuknya, akunya saja yang ge-er. Merasa sedikit bingung dan sejujurnya agak sakit hati, aku pun bertingkah acuh tak acuh terhadapnya.

Suatu hari aku sadar mobilnya menghilang dari tempat parkir. Aku tak pernah lagi melihat Justin belakangan ini. Untuk menjawab rasa penasaranku, aku membuka website sekolah. Tapi namanya tak ada. Justin sudah berhenti sekolah rupanya. Berbagai pertanyaan melintasi benakku. Kemana ia pergi? Kenapa ia berhenti? Akankah ia kembali? Kemudian aku mengomeli diri sendiri karena bertanya-tanya. Kenyataannya, Justin sudah pergi. Titik.

Tapi, kenapa sampai saat ini aku masih memikirkan Justin? Aku berharap pelukan itu terjadi lagi. Aku tidak tahu kenapa masih stuck dengannya. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya jika aku naksir seseorang, ya hanya sekedar suka. Jika orang yang ku taksir sudah pergi, ya sudah, aku lupa sama orang itu. Lantas kenapa dengan Justin rasanya lain? Oh! Cinta, rasa suka, hati, perasaan… kenapa sih seneng banget bikin orang jadi kacau balau nggak jelas kayak gini?

Tapi aku tahu, yang bias kulakukan saat ini hanya melupakan apa yang sudah terjadi dan berjanji jika suatu saat aku diberi kesempatan bertemu dengan Justin lagi, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

Skip#

Beberapa bulan kemudian aku tengah terburu-buru menuju ke sekolah agar tidak telat bimbel. Tiba-tiba aku tersandung kakiku sendiri, dan detik selanjutnya sudah mencium lantai marmer yang diiringi bunyi GUBRAK yang cukup keras. Tas, botol air minum, buku pelajaran, kotak pensil, map, kontan terbang kemana-mana. Perlahan aku mencoba bangun sambil berusaha tidak meringis menahan sakit dan malu. Samar-samar kulihat banyak dari mereka kelihatan prihatin, tapi ada juga yang berusaha menahan tawa.

Seharusnya aku jengkel karena ditertawakan, tapi aku sendiri juga ingin menertawakan keteledoranku ini. Lalu aku mendongak untuk berterima kasih kepada orang yang sudah membantuku dengan mengumpulkan benda-benda yang bertebaran dari dalam tas. Aku tersentak.

Justin berdiri di hadapanku sambil tersenyum lebar menunjukkan gigi-gigi besarnya yang putih mengkilau itu.

Aku membayangkan hal ini hanya ilusi. Dalam hati aku mengucapkan: Ia bukan Justin, hanya orang yang mirip Justin. Ia bukan Justin, hanya orang yang mirip Justin. Sambil menatap wajah Justin, aku mengucapkan terima kasih dan berjalan melewatinya. Aku berusaha tidak menoleh, tapi ujung-ujungnya aku tak tahan dan berbalik juga, dan aku mendapati lelaki tersebut masih menatapku. Detik itu juga aku tahu ini bukan ilusi.

FINALLY, HE’S BACK!!!!!!!! Aku tidak pernah menyangka akan bertemu Justin lagi.

Ketukan sepatuku terdengar keras mengiringi lorong-lorong sekolah. Sepertinya, sebuah langkah yang terdengar pelan berasal dari belakangku. Perasaanku mengatakan ada yang mengikutiku dari belakang. Aku segera menoleh dan ketika aku berhenti, ia juga ikut berhenti. Hampir saja aku mencium bibirnya.

“Justin? Ada apa kau mengikutiku?” ketusku sedikit kesal padanya. Tapi ia hanya tersenyu sambil memasukkan tangannya ke dalam celana sekolahnya, dan detik selanjutnya tangannya keluar dengan sebuah kotak kecil.

Justin membukanya tanpa basa basi. Kulihat di dalam kotak itu adalah kalung emas putih yang di tengahnya bertuliskan “JB”. Kemudian Justin berkata sambil berlutut di hadapanku “Bella, do you know? Starting from we meet, you will look after .. I want you to understand how much I love you .. Only you I swear you will be guarded until death. I love you, Bella. Will you be my girlfriend?”

Aku tak menyangka hal ini akan terjadi padaku. Aku sangat terkejut dengan sikap Justin yang sangat berubah ini. Tapi yang jelas aku sangat senang hari ini. This day I will never forget forever, batinku.

“Yes, I will. Be happy” jawabku dengan menunjukkan senyum manisku.

Tentang Penulis:
Hai, namaku Sekar Arum. Umurku 13 thn, saat ini aku bersekolah di SMPN 2 Probolinggo.

Cerita Terkait

Cerita Cinta: Nobody Love You Like Me By Sekar Arum
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE