Kebun By Prio Hari Kristanto

Ads:
KEBUN
Penulis : Prio Hari Kristanto

Suasana kebun komplek tempat tinggalku ketika itu sudah mulai gelap. Dengan sisa-sisa cahaya matahari sore yang segera terbenam, kulihat senyum ganjil yang muncul dari bibir perempuan itu. Mukanya pucat dan matanya menatapku tajam. Dengan ragu-ragu kupandangi keseluruhan tubuhnya. Sosok perempuan berpakaian lusuh dengan rambut terurai panjang dan tidak memakai alas kaki. Aku menebak-nebak dengan apa yang kulihat. Apakah dia manusia? Atau jangan-jangan…?. Tiba-tiba perempuan itu mengangkat sebelah tangannya seakan ingin menggapai diriku. Sejenak aku bingung dan tidak yakin. Namun, keraguan segera sirna ketika secara tiba-tiba perempuan itu menjulurkan lidahnya yang panjang sekali kebawah! Sungguh panjang dan berwarna merah darah. Raut mukanya berubah menjadi sangat jahat dan ia pun terkikik kencang sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Sungguh menyeramkan!

Rekasi pertama yang keluar dari diriku adalah teriak. Segera kulari kencang sambil memejamkan mata melewati perempuan itu. Tidak kusangka, ternyata dunia supranatural itu memang ada! Aku terus berlari keluar kebun dan ingin segera melaporkan kejadian yang baru saja kualami kepada orang-orang di rumah. Aku tak menghiraukan lingkungan komplek ketika kuberlari dan hanya fokus untuk segera sampai rumah. Dengan napas terengah-engah, aku berhasil sampai di depan gerbang. 

Sampai di rumah, segera kuceritakan pengalamanku. Awalnya Ayah tidak percaya. Apalagi Ibu. Mereka heran dengan ceritaku ketika bertemu perempuan dengan lidah merah menjulur panjang di jalan setapak kebun belakang komplek. “Kenapa kamu lewat kebun itu?” tanya Ayah. “Aku berniat membeli papan clip board untuk ujian besok di toko buku kecil di belakang komplek. Aku tidak membawa motor karena tadi kulihat bannya bocor,” belaku dengan napas terengah-engah. “Jangan mengada-ngada! Kamu itu kenapa jadi penakut. Padahal laku-laki dan sudah mau lulus SMA masih penakut seperti itu,” ujar Ayah. Kemudian Ibu yang sedari tadi terlihat berpikir keras berkata “Kebun yang tak terawat dan lebat sekali. Aku heran kenapa tidak dibersihkan saja mengingat ini di perumahan” jelas Ibu masih sambil berpikir. Ayah pun mengiyakan dan segera menyuruhku mencuci muka dan pergi ke kamar untuk belajar. Aku menurut walau masih belum puas. 

Kamarku terletak di lantai 2 yang berada di sebelah ruang kerja ayah. Sehabis ke kamar mandi, aku bergegas menuju kamar dan berpapasan dengan Abangku yang baru pulang kuliah dan melihatku dengan pandangan mengejek. Sepertinya ia sudah dengar ceritaku dari Ayah dan Ibu. Sejujurnya, aku bukanlah tipe anak laki-laki yang penakut. Sungguh bukan. Jarang sekali aku terpikir pada hal-hal berbau supranatural kecuali ketika mengalami kondisi seperti di kebun tadi. 

Komplek perumahan tempatku tinggal terbilang luas dan berisi rumah-rumah yang cukup besar, mungkin tipe 36 ke atas. Entah kenapa, malam itu suasananya terasa aneh bagiku. Di perumahan kami terdapat kebun lebat yang memiliki jalan setapak di bagian tengahnya. Jalan ini merupakan akses termudah untuk menyusurinya kebun lebat itu. Jalan setapak ini berujung pada sisi komplek yang mayoritas berisi rumah-rumah baru yang belum berpenghuni. Di jalan setapak itulah tadi aku melihat perempuan lidah panjang itu! Kebun itu ditanami pohon-pohon besar seperti kecapi dan rambutan dengan diselingi semak belukar. Sementara disekelilingnya dipagari kawat. Ada yang bilang, kebun itu akan dirapihkan untuk dibuat taman bermain dan sarana olahraga. Akan tetapi, sampai sekarang kondisinya masih utuh. Rumahku sendiri berjarak sekitar hampir 150 meter dari jalan masuk kebun tersebut. Memang jarang orang yang lewat sana. Apalagi menjelang malam hari. Sebenarnya, ada jalan komplek menuju toko tempatku berbelanja tetapi pastinya lebih jauh jika berjalan kaki. Untuk itulah kususuri kebun tersebut sebagai jalan pintas untuk pulang.

Di luar sedang hujan cukup deras. Sudah hampir dua jam aku belajar, tetapi selama itu, aku tidak bisa berkonsentrasi dengan baik. Kejadian tadi benar-benar mengganggu pikiranku. Dan sialnya lagi, aku baru teringat kalau papan clip board yang kubeli tadi tidak terbawa sampai ke rumah. Sepertinya terjatuh di kebun belakang ketika aku berlari-lari panik. Aku mencoba untuk berbaring sejenak di tempat tidur guna menghilangkan kepenatan sehabis belajar. 

Jam menunjukan pukul setengah satu pagi ketika tiba-tiba aku terbangun karena mimpi buruk. Kulihat buku-buku masih berserakan di tempat tidur dan segera kubereskan. Dengan badan penuh keringat, aku mengingat kembali mimpi yang baru kualami. Di dalam mimpi, aku mendapati diriku menyusuri jalan komplek dekat kebun bersama Abangku. Aku sedang asyik mengobrol dengan Abangku ketika tiba-tiba dari arah kebun terdengar lolongan orang minta tolong. Aku pun menengok dan mengintip dari pagar kawat. Awalnya aku hanya melihat barisan semak dan pohon-pohon lebat. Namun tiba-tiba muncul sebuah kepala melayang sambil teriak minta tolong. Abangku pun langsung berteriak dan mengatakan jika kepala itu adalah kepalaku! Saat itulah aku terbangun. 

Ketika sedang tegang mengingat mimpi yang baru saja kualami, tiba-tiba pintu kamarku dibuka oleh Ayah dan Ibu. Mereka pun masuk dan menatapku dengan muka tegang. Di luar dugaan, ternyata mereka juga baru saja mengalami mimpi yang hampir sama denganku. Mereka melihatku berada di dalam kebun belakang komplek tersebut dan berteriak meminta tolong. Lebih anehnya lagi, Abangku juga datang ke kamarku dan menceritakan mimpi yang sama! 

Hal-hal seperti ini relatif baru bagiku. Sepertinya ada sesuatu yang penting mengenai kebun tersebut. Setelah berdiskusi dan memaparkan kemungkinan-kemungkinan yang ada, Ayah pun mengambil keputusan di luar dugaan. Ia ingin kita semua malam itu juga ke kebun tersebut! Kami semua memprotes, terutama aku. Namun Ayah tetap bersikeras. Dia adalah orang yang paling keras kepala di keluarga kami. Sesungguhnya Ayah bukanlah tipe orang yang percaya takhayul, namun saat itu ia sangat yakin akan keputusannya. Ia memiliki perasaan kuat bahwa ada sesuatu yang harus dibuktikan di kebun tersebut. Aku pun hanya bisa menggelengkan kepala heran. 

***

Kebun By Prio Hari Kristanto

Saat itu waktu menunjukan pukul satu dini hari ketika kami berempat dengan menggunakan baju hangat dan senter menyusuri jalan menuju kebun belakang komplek. Hujan sudah reda, tetapi hawa dingin tidak bisa dihindari. Sejujurnya aku tidak ingin ikut, tetapi jika aku di rumah, maka aku akan sendirian. Jika aku pergi ke tetangga, aku malu. Alhasil kami berempat dengan kedinginan berjalan beriringan sambil harap-harap cemas. Bolak balik Ayah bergumam menyinggung-nyinggung perihal adanya hubungan dengan hantu perempuan yang kulihat sebelumnya. Ibu pun beberapa kali mendorong Ayah menyuruhnya agar diam dan tidak mengatakan hal-hal yang menyeramkan. Pada akhirnya mereka pun mulai percaya terhadap ceritaku. 

Sementara Abangku hanya fokus pada ponselnya ketika itu. Suasana diluar sepi sekali. Selain sudah sangat larut malam, udara dingin sepertinya membuat orang segan keluar rumah. 

Akhirnya kami tiba di ujung jalan setapak yang mengarah ke kebun. Hanya ada lampu remang-remang yang menyinari di pinggir jalan. Suasana saat itu benar-benar seram. Selain karena sepi, munculnya kabut-kabut tipis sehabis hujan menambah angker suasana ketika itu. Ayah berbisik sebentar dan menggandeng ibu masuk kedalam sambil melirik ke arah aku dan abangku memberi isyarat untuk kami mengikuti. Kami berempat masuk. Ide ini benar-benar bodoh pikirku. Semoga Ayah tidak menyesal.

Tidak ada hal mencurigakan selama kami masuk kecuali suasananya yang memang menjadi lebih seram dari terakhir aku lewat tadi. Ayah menyorot senternya kesana kemari seperti mencari-cari sesuatu. Ibu pun berbisik supaya ayah fokus mengarahkan senter ke depan. Kebun itu terlihat seperti kerajaan hantu dengan pohon-pohon besar ketika malam hari. Sesekali kami mendengar suara daun-daun bergesekan dan juga seperti suara-suara bunyi mencicit tikus. 

Kami terus melangkah pelan. Ayah pun masih terus menyenter kesana kemari. Saat itu yang memegang senter adalah Ayah dan aku. Abangku tidak mau memegang senter karena fokus dengan ponselnya. Jujur aku tidak berani menyenter ke segala penjuru dan hanya ke arah depan. Sementara Ayah masih sesekali menyenter ke atas pohon. Kemudian, aku pun teringat akan papan clip board ku yang jatuh. Akhirnya senter kuarahkan ke bawah menyusuri jalan sambil berharap siapa tahu bisa menemukannya. Ketika memasuki setengah jalan, lampu penerangan jalan komplek sama sekali tidak membantu. Kami berempat hanya mengandalkan senter. Abangku jalan paling belakang dan aku di tengah sementara Ayah dan Ibu di depan. Tiba-tiba, aku tersandung sesuatu. Aku pun membungkuk untuk mengambilnya. “Ada apa?” tanya Abangku. “Tidak apa, aku menemukan papan clip board yang kubeli tadi karena sepertinya terjatuh,” jawabku sambil tersenyum kecil dan berharap Abangku tidak mengejek disaat genting seperti ini. Namun, tidak ada jawaban dari Abangku. Aku pun menengok kebelakang dan kaget setengah mati ketika tidak mendapati abangku. Aku pun menengok kedepan dan mendapati hal yang sama dengan Ayah dan Ibuku!

Aku kaget dan langsung merasa mual. Aku setengah berteriak memanggil Ayah dan Ibu tetapi tidak ada jawaban. Aku sorot senter ke segala arah tetapi hanya ada pohon-pohon dan semak-semak. Aku akui, untuk kebun level komplek, semak yang ada disini cukup lebat ditambah dengan pohon rambutan dan kecapi. Aku pun panik! Suasana menjadi tegang bagiku. Jantungku berdegup kencang. Aku terus teriak memanggil Ayah dan Ibu serta Abangku dan berharap mereka hanya bergurau dengan membuat lelucon kepada diriku walau sepertinya hal tersebut bukanlah kegemaran keluargaku. Suasana saat itu pun berubah menjadi sangat hening dan mencekam. Aku hanya bisa mendengar desiran angin dan degup jantungku sendiri. 

Aku pun mulai berteriak minta tolong sambil berlari kecil berbalik arah dengan harapan segera keluar dari kebun tersebut. Namun lagi-lagi aku tersandung sesuatu. Akar pohon! Aku jatuh terjerembab dan menjatuhkan papan clip board yang kupegang.. Dengan segera aku berdiri dan tidak menghiraukan lagi papan clip board sialan itu. Aku berlari sekencang-kencangnya sambil terus berteriak minta tolong. Namun anehnya, jalan setapak itu terasa jauh. Jauh sekali. Aku pun kembali terjatuh. Kali ini karena terpeleset jalanan yang licin dan sedikit becek sehabis terkena guyuran hujan. Ketika terjatuh, tanpa sengaja aku melihat kembali dengan sorotan senter seonggok papan clip board di depanku yang seharusnya sudah kutinggalkan tadi. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan yang terjadi. Di mana aku? Ini kah jalan yang kulewati tadi? Apakah keluargaku tersesat di kebun? Aku pun berusaha berpikir logis walaupun terasa sulit.

***
“Ayaahh…Ibu…Abaang…keluarr..Tolooong!” teriaku keras-keras sambil terus berlari. Namun tidak ada sautan. Sekali lagi aku menyenter sekeliling dengan takut-takut. Urat-urat di kepalaku terasa berdenyut-denyut. Aku berjalan mondar-mandir panik kebingungan. Seperti berada di hutan lebat pikirku. Tetapi aku sadar ini kebun! Aku melihat jam tangan dan waktu menunjukkan pukul dua pagi. Lama juga aku terjebak. Aku pun mencari-cari penjelasan logis dari kondisi ini. Tetapi tetap gagal. 

Aku mencoba membaca doa-doa. Tanpa sadar aku mulai menangis. Aku menjadi takut sekali. Aku terus berjalan kedepan sambil terus menyenter. Tiba-tiba aku berhenti. Aku mendengar suara orang. Suara tangisan lebih tepatnya. Tangisan perempuan. Sangat lirih dan membuat merinding. Aku pun segera teringat akan perempuan berlidah panjang mengerikan yang kutemui sore tadi! Saat itu juga aku ingin muntah. Tetapi kutahan dan terus membaca doa. Suara tangisan itu semakin jelas. Semakin nyata seakan-akan di sebelahku. Aku berdiri terpaku. Aku hanya bisa memejamkan mata dan menutup telinga. Tiba-tiba lenganku seperti ditarik. Aku teriak keras sekali dan ketika membuka mata kulihat Abangku sambil terengah-engah berdiri dan menggoncang-goncangkan lenganku. Untuk pertama kalinya aku ingin sekali memeluk erat Abangku ketika itu. 

Kami pun saling bertanya satu sama lain mengenai nasib Ayah dan Ibu. Abangku terlihat panik dan bingung sekali. Aku pun menangis. Kemudian kuceritakan perihal suara tangisan perempuan yang kudengar tadi. Entah kenapa, aku justru bercerita ke abangku mengenai kemungkinan jika suara tersebut milik perempuan berlidah panjang yang kulihat sebelumnya. Ketika kujelaskan mengenai hal ini, Abangku hanya menatapku dengan heran. Lalu dengan masih memandangku, tiba-tiba ia menjulurkan lidahnya yang terulur sangat panjang sekali kebawah. Rongga matanya pun berubah bolong! “AAAAAAAAAAAAA….!” aku berteriak sangat kencang seperti yang belum pernah kulakukan. Aku merasa mual melihatnya.

Aku berteriak dan terus berlari menjauh sekencang-kencangnya sambil sesekali terpeleset. Seperti yang sudah kuduga, jalan yang kulalui tidak ada ujungnya. Tetapi aku terus berusaha menjauh sambil mengutuki ide bodoh Ayahku ini. Akhirnya aku berhenti karena kelelahan dan tersedak serta muntah. Aku muntah sambil menangis. Rasanya mual dan tubuhku gemetar hebat. Suaraku pun sudah habis karena bereriak terus. Aku belum pernah merasakan kengerian seperti ini. Aku duduk istirahat sebentar. Sambil duduk aku menyenter sekitarku dengan hati-hati. Kemudian aku berdiri dan berpikir untuk mengelilingi kebun ini. Dengan memotong arus menabrak semak-semak mungkin bisa sampai ke ujung pagar kawat dan minta tolong dari sana. Aku segera berjalan kecil dan terus menyenter ke depan. Pasti ada ujungnya pikirku. 

Lama juga aku menerobos semak-semak. Baju hangatku pun tergores semak. Pipiku terasa gatal karena digigiti nyamuk. Ketika kulihat jam, waktu menunjukkan pukul 02.20 dini hari. Aku pun sempat berniat untuk menunggu sampai pagi. Tetapi niat itu aku urungkan karena tidak mungkin aku bisa tenang duduk atau tidur sementara hantu perempuah berlidah panjang mengawasiku. Tiba-tiba pikiran tentang hantu lidah panjang itu semakin kuat. Aku berusaha membuang jauh-jauh pikiran itu sampai tak sengaja kusenter kearah batang pohon rambutan. Disitu tergantung secara terbalik sosok yang biasa orang sebut Kuntilanak dengan wajah pucat dan kepala mengeleng-geleng sambil cekikikan, Kuntilanak itu pun menjulurkan lidahnya melewati wajah sampai melebihi kepala kemudian darah menetes dari matanya. Aku terpaku gemetar. Tak tahu lagi harus bagaimana. Tak salah lagi ini hantu perempuan berlidah panjang yang kumaksud. Aku berusaha berteriak tetapi yang keluar hanya suara serak dan dengan susah payah aku lari menjauh. Ditengah ketakutan, tak sengaja kujatuhkan senterku hingga batere nya terlepas. Semua gelap. Sangat gelap! Dengan badan lemas, akhirnya aku pingsan.

***
Ketika tersadar, kudapati diriku masih ditengah kebun tengah malam. Namun kali ini aku tidak sendirian! dan tidak gelap lagi. Dibalik cahaya senter, kulihat Ayah, Ibu, dan Abangku berdiri mengelilingiku sambil memanggil-manggil. Sebagian membaca doa-doa. Ibuku pun langsung menangis dan memelukku ketika tahu aku tersadar. “Kamu sedang apa disini? kemana saja kamu nak? Kami khawatir,” Ibu bertanya sambil menangis dan memelukku. Disusul Ayah, bahkan Abangku juga. Sejenak aku bingung. Sebelum aku bertanya, Ayah pun menjelaskan semuanya kepadaku.”Begini nak” kata ayah sambil menarik nafas. Ia pun melanjutkan, “Kami tidak mendapati kamu pulang semenjak meminta izin keluar rumah untuk ke toko belakang komplek sore tadi. Sampai pukul 9 malam kami pun mulai khawatir. Kami menghubungi handphone mu, ternyata benda itu ada di rumah. Kami menghubungi teman-temanmu mereka pun tidak tahu keberadaanmu. Pukul 11 malam Ayah dan Abangmu menyusul dengan berjalan kaki ke toko belakang komplek dan mendapati kalau kamu sudah pulang lebih dari 4 jam yang lalu! Ketika berjalan pulang, alangkah terkejutnya kami ketika mendengar suara rintihan laki-laki dari arah dalam kebun komplek. Setelah menelepon Ibu untuk membawakan senter, kami bertiga masuk mengikuti arah suara dan mendapati dirimu tergeletak di jalan setapak. Sepertinya kamu terjebak di kebun ini. Selama setengah jam kami berusaha menyadarkanmu yang tergeletak tak sadarkan diri dan sesekali mengerang-erang seperti orang kesurupan,”

Aku pun menangis setelah mendengarnya sambil terus kebingungan atas apa yang terjadi. Itu artinya, bersama siapa sebenarnya aku tadi pergi ke kebun? Namun, aku tak peduli lagi. Yang terpenting adalah aku bisa bertemu keluargaku kembali dan segera pulang. Akhirnya kami semua berjalan keluar kebun tersebut tanpa adanya halangan seperti yang menimpaku tadi. Aku sangat senang ketika bisa melihat lingkungan komplek kami lagi. Rasanya seperti berhari-hari aku terjebak di dalam kebun. Aku melihat jam tangan dan waktu menunjukkan pukul 12 malam. Kami berempat berjalan beriringan dengan senang. 

Namun, ketika hampir sampai depan rumahku, Ibu berteriak histeris sekali. Teriakan ibu ini diikuti oleh Ayah dan Abangku! Aku pun bingung dan tiba-tiba Ayah berkata ke arahku. “Ke..ke..kenapa lidah kamu..terulur panjang sekali..!!” ujar Ayah ketakutan sambil menatapku yang mulai kesulitan berbicara karena lidah yang terus menjulur memanjang ini. 

END

Tentang Penulis:Prio Hari Kristanto adalah lulusan FISIP Universitas Indonesia. Sempat mengurusi lembaga pers kampusnya sebagai pemimpin redaksi, saat lulus, langsung mencicipi bekerja sebagai wartawan Tempo. Sangat suka membaca, mulai dari cerpen sastra, novel detektif sampai cerita teenlit. Memiliki kesenangan lain seperti menonton film, menonton sepak bola klub AC Milan, bermain game, serta menggemari karya-karya Joko Pinurbo, Edgar Allan Poe, dan Agatha Christie. Baru mulai produktif menulis lagi!

Cerita Terkait

Kebun By Prio Hari Kristanto
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE