A Lovely Friend By Nurlindah Malik

Ads:
A LOVELY FRIEND 
Penulis: Nurlindah Malik


Tak ada hal yang lebih menyakitkan ketika keadaan harus memaksa kita untuk mererima sebuah kenyataan, bahwa orang yang kita cintai dan sayangi tenyata mencintai sahabat kita sendiri. 
Yah, sahabat. Orang terdekat kita. Orang kepercayaan kita. Dan lebih menyakitkannya lagi ketika kita harus berpura-pura untuk tidak mengetahui akan hal itu. Mencintai orang yang ternyata hanya menganggap kita hanya sebatas teman mungkin sudah merupakan hal yang lumrah. Teman ya teman. Sahabat ya sahabat. 

Ada sebuah fase di mana aku harus menikam hatiku untuk menutupi segala rasa yang menjamur di hatiku sejak awal semester tiga ini. Aku tak ingin dia tahu tentang gejolak yang kini bersarang di hatiku. Terlebih ketika aku tahu, ternyata diam-diam dia telah menyimpan rasa terhadap sahabat karibku. Bagaimana mungkin aku memilih di antara keduanya. Haruskah aku mempertahankan egoku untuk tetap mencintainya. Atau malah membiarkannya untuk mencintai sahabatku dengan konsekuensi aku harus menjadikan hatiku sebagai korban mutilasi cintanya. Tiap hari aku mencoba untuk membunuh rasa itu secara perlahan. Namun semakin kumencoba, semakin rumit untuk menghilangkan rasa itu. Benar-benar telah menjamur. Aku sendiri belum tahu apakah ini adalah cinta atau hanya sebuah perasaan yang berinduksi sebatas kekaguman. Dan aku bahkan lupa bagaimana perasaan konyol ini bisa hadir dalam diriku.

Ditemani sebuah novel karya Tere Liye. Kunikmati suasana mendung pada sore ini. Langit seakan ingin menumpahkan amarahnya kepada penduduk bumi. Gemercik demi gemercik air itu mulai turun dari atas langit sana, yang seakan meyuruhku untuk segera minggat dari taman ini. 
“Pppppiipppp” Sebuah suara klakson mobil dari sudut parkiran taman berhasil membuat lamunanku buyar seketika. Seseorang terlihat melambaikan tangan dibalik jendela mobil yang terlihat sedikit buram. Tadinya kupikir itu adalah kak Ryan, tapi ternyata Gio. 
“Ree..! ayuk, buruan masuk” Panggil Gio di balik jendela mobil. Tanpa berpikir panjang, aku berlari kecil ke arah Gio dan segera masuk ke dalam mobil, sebelum hujan berhasil membuatku basah kuyup.
“Kamu kok bisa di sini ?” Tanyaku kepada Gio. 
“Aku mau ngajakin kamu ke suatu tempat” Balasnya dengan senyum cengengesan. 
“Ke mana ?” Jawabku penasaran. 
“Udah. Kamu ikut aja. Entar juga kamu bakalan tau kok” Balasnya lagi yang semakin membuatku bertanya-tanya.
Kali ini ada yang berbeda dari Gio. Tak seperti biasanya. Sebelum mengajakku ke suatu tempat, dia akan menelfonku terlebih dahulu. Namun kali ini setitik sms pun tidak kudapati darinya.
*****

Di depan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota Makassar. Gio berhenti dan memarkir mobilnya. Dengan manis dia keluar dari mobil dan membukakan pintu untukku. Hei, Gio benar-benar bertingkah aneh pada hari ini. Gio menyambut pergelangan tanganku. Menggiringku masuk ke dalam Mall.
“Gio, sebenarnya kita mau ngapain sih. Kamu kok malah bawa aku ke sini?” 
Gio tidak berniat menjawab pertanyaanku. Dia terus menggiringku hingga kami sampai pada sebuah toko perhiasan. Bak lautan berlian. Semuanya berkilauan. Perak, emas, semuanya nampak indah. Gio semakin membuat batinku bertanya-tanya. Ada apa gerangan. Kenapa dia membawaku ke tempat ini. Mau membelikanku perhiasan ? tapi untuk apa ? perasaan hari ulang tahunku masih tersisa 3 bulan ke depan. Lagi pula mustahil ketika dia akan membelikanku sebuah perhiasan yang dianggapnya hanya sebatas teman.. Hanya sebatas teman.
“Gio. Cantik banget” Ujarku sembari menatap takjub pada perhiasan yang kini berjejeran di depan mataku.
“Kamu suka kan ?” Tanya Gio diselangi senyum yang selalu terlihat manis di mataku.
“Suka Gi. Suka banget” Jawabku berkaca-kaca.
“Nah. Sekarang kamu pilih salah satu dari perhiasan ini. Kamu harus milih yang paling kamu suka, dan paling indah menurut kamu” Perintah Gio.

Dengan berwajah bimbang. Aku melirik satu demi satu perhiasan itu. Ahhh, semuanya cantik nan indah. Aku bingung memutusakan untuk memilih salah satu di antara mereka. Ingin kumiliki semuanya. 

A Lovely Friend By Nurlindah Malik

Di salah satu pojok pada kotak perhiasan nan bening itu. Sebuah cincin bermahkotakan batu zamrud berhasil memikatku. Bentuknya sederhana. Bundarnya pas. Di dalam lingkaran cincin tersebut terdapat tulisan “Will you marry me”. Warnanya bukan emas, namun berwarna perak.
“Gio. Kayaknya aku suka yang ini deh” Ujarku menunjukkan cicin yang aku maksud kepada Gio.
“Yang mana?” Tanya Gio.
“Yang paling pojok sebelah kanan” Balasku lagi.

Tanpa basa-basi, Gio meminta kepada salesnya untuk mengambilkan cincin yang aku maksud. Gio kembali meraih tanganku. Tanpa ragu dia memasukkan cincin itu tepat di jari manis sebeleh kiriku. “Deg!” Kurasakan detak jantungku semakin jelas terasa. Darah dalam tubuhku mengalir begitu cepat. Aahh, tubuhku seakan membeku hingga ke ubun-ubun. Tuhan.. jika aku boleh meminta sesuatu kepadaMu. Kumohon, hentikan perputaran waktu ini. Aku ingin tetap berada pada moment ini. Aku tak ingin moment ini berlalu. 
“Pas” Ujar Gio dengan wajah berseri-seri sambil memandangi cincin yang kini melingkar di jari manisku.
Aku benar-benar belum mengerti maksud dari semua ini. Cincin.. Kenapa..? Kenapa cincin ? Kenapa cincin ini malah melingkar di jariku. Sedangkan setahuku cincin ini harusnya berada di jari manis Angel. Yah, Angle. Angle sahabatku. Orang yang dicintai oleh Gio. 
“Gi. Aku nggak ngerti deh maksud kamu. Beneran. Ujarku yang seakan berwajah bodoh pada saat itu.
“Angle. Kamu mau nggak jadi pendamping hidup aku ? Kamu mau nggak menjadi bagian dari hidup aku?” Ungkap Gio menatapku lekat.

Waktu seakan tiba-tiba berhenti berputar. Hatiku bak ombak yang diangkat dan dihempaskan oleh angin hingga ke pesisir pantai. Angle ? Hei, Gio sadar tidak siapa yang ada di hadapanmu sekarang ? Hei, Gio. Buka matamu. Ini aku Rere. Bukan Angle. Bahkan sedari tadi pun seorang Rere yang ada di hadapannya kini dianggapnya seorang Angle. Angle yang dicintainya bukan Rere yang hanya dianggapnya sebatas teman yang kini ada di depan matanya.

Setitik demi setitik kurasakan air bening itu kini berkumpul di pelupuk mataku. Ingin ia keluar untuk menyampaikan kepada Gio, bahwa orang yang kini di depannya telah terluka. Sangat terluka. Ahh, dengan segala rasa sakit yang hampir membunuhku. Kumencoba menepis segala rasa kecewa itu. Kenapa ? Kenapa kamu sejahat ini Gio. Apakah kamu pikir hatiku sekebal batu karang yang ada di laut sana ? Aku pun wanita. Sama seperti Angle yang kamu cintai. Tidakkah kamu melihat cinta di mata ini. Mata yang tak pernah sayu untuk memandangmu. Mata yang tak pernah lelah mencari detail hingga detail tingkahmu. Terlalu jahat kau memperlakukanku seperti ini.
“Gi. Gimana ? acting aku oke kan ?” Tanyanya tanpa sedikitpun memperdulikan perasaanku. Pertanyaan Gio berhasil membuatku sadar dari dimensi lamunanku. Mencoba membuat wajahku agar terlihat senormal biasanya. Menarik dan menghembuskan nafas secara perlahan untuk menghilangkan jejak kekecewaanku.
“Keren Gi. Keren banget. Itu adalah acting yang paling mayakinkan yang pernah aku lihat. Bahkan acting kamu bisa ngalahin acting seorang actor Bollywood Syahruk Khan” Jawabku dengan senyum samar-samar.
“Serius kamu Ree ? jadi kalau misalnya aku bilang ke Angle, kira – kira responnya apa Ree ?” Tanya Gio lagi.

Tanpa ragu aku menyambut pertanyaan Gio “Angle pasti mau kok Gi. Siapa sih wanita yang nggak mau sama kamu. Kamu terlalu sayang untuk disia-siain” Ujarku memberikan jawaban kemantapan kepada Gio.
“Akkkkk, makasih yaa Ree” Balas Gio sembari menarik dan memeluk tubuhku.
Tak dapat lagi aku membendung air mata ini. Tumpah.. Tumpah seketika. Harusnya aku ikut bahagia Gi. Bahagia melihat kamu seperti ini. Meskipun perasaanku yang harus menjadi taruhannya sekalipun. Terlebih lagi ketika tahu kamu akan bersama sahabatku. Tentu aku tak meragukannya lagi. Aku yakin dia akan menjaga hati yang selama ini ingin aku miliki namun akhirnya akan dimiliki oleh orang terdekatku.

Biarkan cinta itu terpendam sampai Allah menunjukkan siapa yang pantas untuk kita. Jika di dunia tak disatukan Inshaa Allah di akhirat kelak. Karena betapa terkadang rasa yang akan membunuh secara perlahan adalah sebuah rasa kagum yang ternyata kita pikir itu adalah cinta. Sebuah perasaan. Dikatakan maupun tidak dikatakan maka tetaplah itu adalah cinta. Dan cinta tak harus memiliki. Mencintai bukan berarti kita harus saling memiliki. Banyak cara untuk menunjukkan rasa cinta itu. Dan salah satu caranya adalah merelakan Ia yang kita cintai untuk orang yang dicintainya. Sesakit apa pun itu. Namun inilah cinta. Mengajarkan kita arti sebuah pengorbanan.

Tentang Penulis:Hanya seorang gadis melankolis yang kebetulan lahir dari rahim seorang Ibu bernama Jenne pada 20 Agustus 1995. buah pernikahan dengan seorang ayah yang bernama Abdul Malik.
Facebook: Nurlindah Malik
Twitter : @Nyuuu07

Cerita Terkait

A Lovely Friend By Nurlindah Malik
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE