Kupu-Kupu Kertas By Murni Oktarina

Ads:
KUPU-KUPU KERTAS 
Penulis : Murni Oktarina

Aku sedang berjalan menikmati kehangatan udara siang saat musim semi. Kuakui Kyoto memang cantik dengan pesona Jepang kunonya, namun Philosopher's Path saat haru1 adalah salah satu tempat terindah dan teromantis menurutku. Ratusan pohon sakura berbaris di jalanan pinggir Kanal, membuat kuil-kuil yang berada di sekitar jalan tersebut terlihat makin indah. Ah, aku jadi ingin berlama-lama di Kyoto. Namun aku hanya memiliki waktu satu minggu di sini. Besok lusa aku akan kembali ke Indonesia.

Tanpa disengaja mataku menangkap satu sosok yang membuat aku tertarik untuk memperhatikannya. Ya, dia berbeda karena aku yakin dia bukanlah orang Jepang, tapi Indonesia sama sepertiku. Namun ada satu hal lagi yang membuatku tertarik pada gadis cantik berambut lurus hitam itu.

Dia sedang disibukkan oleh lembaran kertas putih berbentuk persegi. Dia duduk di hamparan rumput, di bawah sebuah pohon sakura, bersama beberapa orang yang mungkin keluarga atau temannya. Akan tetapi si gadis yang menurutku berusia tak jauh dariku itu, sedang melipat-lipat kertas di hadapannya tanpa peduli dengan orang-orang di sekitarnya.

Tiba-tiba dia berdiri dengan membawa tas berisi hasil karyanya, kupu-kupu yang terbuat dari kertas. Lalu dia menuju ke arahku dan menghampiriku.
“Konnichiwa2. Apa kita saling kenal ya? Kenapa kamu memperhatikanku dari tadi?” Gadis itu berkata dengan suaranya yang lembut dan ramah. Namun jelas sekali kalau ia sedang bingung.
“Konnichiwa. Gomen nasai3! Aku tertarik dengan kertas-kertas berbentuk kupu-kupu itu,” jawabku sambil menunjuk ke arah tas si gadis.
“Oh…. Eh, kamu orang Indonesia juga?” tanyanya sembari memandangiku dengan mata indahnya.
Aku mengangguk dan tersenyum. “Namaku Diaz. Kamu?”
“Aku Dee....”

Dan beberapa menit setelah perkenalanku dengan Dee, si gadis kupu-kupu kertas, kami sudah berjalan bersama menyusuri Philosopher’s Path. Entah kenapa kami bisa dengan begitu cepat akrab dan saling berbagi cerita.

Diaz, setelah aku pulang ke Indonesia juga, kamu ke rumahku ya!” ujar Dee saat kami berhenti di depan kuil Eikan-do.
“Aku boleh ke rumah kamu?” tanyaku bercanda.
“Iya, bolehlah… dan harus! Hehe….” Dee menjawab riang disertai tawa kecilnya yang manis.
***

Mencintaimu, laksana meminum air dari surga. Sangat istimewa dan kesejukannya tak tertandingi. Ya, meski aku belum tahu bagaimana rasanya air surga itu, tapi aku yakin air itu adalah air terbaik yang dianugerahkan Tuhan untuk hamba yang pantas mencicipinya kelak. Begitulah yang kurasakan saat mencintaimu, rasa teristimewa yang pernah menyentuh hatiku. Dan mengenalmu adalah kesempatan terindah yang pernah menghampiri catatan hidupku di dunia.
“Terima kasih, Dee. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk mengungkapkan rasa bahagiaku! Sekali lagi terima kasih ya,” kataku hampir berteriak karena terlalu bahagia.
“Aku juga berterima kasih sama kamu, karena kamu telah menorehkan warna-warna indah dalam hidupku, Diaz. Sejak pertemuan kita di Kyoto tiga bulan yang lalu, sebenarnya aku sudah tertarik sama kamu. Dan sungguh aku bahagia saat tahu jika kamu berasal dari Palembang juga. Kebetulan yang menurutku suatu keajaiban. Dan akhirnya, saat-saat yang kutunggu telah tiba. Saat kamu menyatakan cinta padaku,” kata demi kata keluar dari mulut Dee, mengalir laksana alunan nada indah yang menyejukkanku.

Sebagai jawaban atas pernyataan Dee, aku memandangi wajahnya lalu menggenggam jemari lembut gadis yang telah memperkenalkanku tentang sebuah perasaan cinta. Dee tersenyum manis dan menunduk malu. Ah, ekspresi malu-malu Dee malah membuatnya makin terlihat menggemaskan.
“Aku mencintaimu, Dee!”
“Aku juga mencintaimu, Diaz!”
Dan semuanya menjadi indah. Hari-hari berikutnya kulalui dengan senyuman. Kini hidupku semakin berwarna, seperti yang selalu dikatakan Dee jika hidupnya pun seindah warna pelangi saat mengenalku. Emm, cinta memang membahagiakan.

Kupu-Kupu Kertas By Murni Oktarina

Setelah dua minggu aku dan Dee jadian, aku berkunjung ke rumahnya yang saat itu sedang sepi.
“Papa dan Mama menghadiri pernikahan saudara di Jakarta, Honey. Aku tidak ikut karena tidak mau meninggalkan pekerjaanku dan …,” jelas Dee saat aku bertanya namun ia tak menyelesaikan kalimatnya yang membuatku sedikit penasaran.
“Dan apa, Honey?”
‘Dan… aku takut akan merindukanmu jika aku ke Jakarta.”

Aku tertawa dan mengusap gemas kepala kekasihku tercinta. “Hahaha… kamu bisa saja!”
Dee hanya tersenyum. Lalu ia menuju ke arah dapur. Aku baru tersadar, di atas meja dekat koleksi guci-guci antik milik papa Dee, ada banyak kupu-kupu kertas di dalam kotak yang cukup besar berwarna biru langit. Aku kembali teringat tentang hasil tangan Dee saat pertama kali aku bertemu dengannya di bawah pohon sakura area Philoshoper’s Path, Kyoto. Ternyata sekarang sudah banyak sekali. Aku berpikir dalam kebingungan, untuk apa kupu-kupu kertas itu dibuat oleh Dee?

Dee sudah kembali dengan membawa dua gelas jus mangga yang menggoda. Dia tersenyum saat melihatku berdiri sambil mengamati sebuah kupu-kupu kertas yang kini ada di tanganku.
“Minum dulu, Honey!” ujar Dee sambil memberikan satu gelas jus mangga padaku.
“Terima kasih, Honey.” Dengan cepat kuteguk habis jus mangga di dalam gelas.
“Jumlahnya sudah genap seratus. Setelah ini bantu aku nulis ya,” kata Dee sembari mengambil kotak berisi kupu-kupu kertas tersebut dan membawanya ke ruang tengah.

Aku mengikuti Dee karena belum mengerti apa yang hendak dilakukannya terhadap seratus kupu-kupu kertas itu. Dee menyalakan DVD dan memutar lagu My Love-nya Westlife. Kemudian dia duduk di lantai dan mengeluarkan seratus kupu-kupu kertas dari dalam kotaknya.

Aku pun ikut duduk menghadapnya dan mulai menghitung satu per satu kupu-kupu kertas yang tergeletak di depanku. Satu, dua, tiga… sebelas, dua belas… empat puluh dua….
“Hihihi… kamu ngapain sih, Sayang? Kok dihitung?” tanya Dee geli karena melihatku yang dengan serius menghitung jumlah si kupu-kupu kertas.
“Aku tidak yakin jumlahnya tepat seratus. Kekasihku ini ‘kan sudah pikun, haha...!” kataku bercanda mengejek Dee. Dee memonyongkan bibirnya dan melemparkan gumpalan kertas ke arahku.
“Enak saja bilang aku pikun! Kamu yang pikun, ‘kan kemarin kamu lupa pulang gara-gara kita asyik mengobrol,” ujar Dee sambil menjulurkan lidahnya dengan lucu.
“Eh, itu bukan pikun kali! Itu namanya terpanah oleh kamu. Kamu membuatku lupa waktu, hehe….”

Dee tertawa dan mencubit pinggangku. Aku meringis.
“Ampun, Sayangku. Sakit, aduh!”
Dee menghentikan cubitannya. “Jangan suka menggodaku dengan gombalan kamu! Aku tidak akan terpengaruh. Sekarang bantuin aku nulis sesuatu di sayap kupu-kupunya ya!”
“Nulis apa, Dee sayang?” tanyaku sambil senyum-senyum.
“Emm… kita tulis harapan-harapan yang ingin kita gapai. Kupu-kupunya ‘kan ada seratus, jadi lima puluh untuk aku dan lima puluhnya lagi untuk kamu. Aku ingin kupu-kupu ini jadi pengingat tentang sebuah harapan aku dan kamu, juga harapan kita. Dan jika sebuah harapan yang tertulis di salah satu sayap kupu-kupu kita telah berhasil dicapai, kupu-kupu kertas itu harus kita terbangkan. Bagaimana?” Dee berusaha menjelaskan padaku dengan panjang lebar.
“Eh, memangnya kupu-kupu kertas ini bisa terbang?” tanyaku bercanda sambil menahan tawa.
“Iih… Sayang, itu ‘kan perumpamaannya saja. Bukan terbang dalam arti sebenarnya, tapi kita lempar kupu-kupunya ke udara. Terserah nanti kupu-kupu kertas itu dibawa oleh angin ke mana.” Dee menjawab dengan mata melotot.
“Hahaha, kasihan sama kamu. Dilempar pasti sakit ya, kupu-kupu. Hiks!” ujarku dengan ekspresi sedih seolah mengajak bicara si kupu-kupu kertas yang kini ada di telapak tanganku.
“Diaz…!” teriak Dee kesal karena aku masih saja tidak serius.
“Bercanda, Sayangku. Oh iya, ayo kita tulis harapannya!” ajakku sambil tersenyum lalu mencium kening Dee agar kekasihku itu tidak cemberut lagi.

Dee ikut tersenyum lalu menyerahkan sebuah pena dan kami mulai asyik menulis harapan-harapan untuk hidup ini. Harapan yang akan memberikan motivasi agar bisa lebih baik. Dan tentu saja harapan terbesarku adalah menikah dengan Dee.

***

Setengah tahun kemudian.
Palembang masih tetap sama, macet di mana-mana. Ditambah lagi jalanan tergenang air karena sudah hampir seminggu hujan terus-terusan mengguyur Kota Pempek tercinta. Aku masih tetap bekerja di salah satu perusahaan swasta yang cukup terkenal. Namun bedanya, sekarang aku sudah mendapatkan jabatan yang lumayan dan tentu saja gajiku pun ikut naik. Ini salah satu harapanku yang tertulis di sayap kupu-kupu kertas.
“Selamat ya, Honey! Aku bahagia mendengarnya,” ucap Dee dengan mata berbinar saat kuceritakan tentang kenaikan posisiku di perusahaan.

Aku tersenyum dan membelai rambut kekasihku. “Honey, sekarang kita terbangkan kupu-kupunya ya!”

Lalu kami pun berdiri di pinggiran Sungai Musi dan aku mengambil kupu-kupu kertas yang sayapnya bertuliskan ‘Aku ingin kenaikan posisi di perusahaan’. Kuulurkan kupu-kupu itu tinggi-tinggi. Sejenak kutatap Dee yang tersenyum manis dan ia mulai mengangguk. Kemudian kulepaskan dan kupu-kupu kertas itu pun tertiup angin yang membawanya pergi entah ke mana.
“Semoga setelah ini satu per satu harapan kita akan kembali terwujud. Aamiin!” doaku dengan mata terpejam seraya tetap tak melepaskan jemari Dee dalam genggaman tanganku.
***

Dan benar. Harapan-harapan berikutnya berhasil aku dapatkan. Begitu pun dengan Dee, dia sudah dipercaya menjadi pemimpin di sebuah bank swasta tempatnya bekerja. Hubungan kami pun masih tetap manis seperti sedia kala. Hingga kami mulai merencanakan pernikahan. Tapi….
“Sayangku… percaya tentang jodoh dari Tuhan?” tanya Dee padaku. Wajahnya terlihat muram dan menampakkan raut wajah sedih.
“Percaya, Sayang. Aku yakin kamu adalah jodohku. Kita akan menikah di bulan ini ya. Aku ingin memilikimu dengan sah, sesuai syariat agama.” Aku menjawab tegas demi meyakinkan Dee dan menghibur kesedihannya yang aku tak tahu disebabkan oleh apa.
“Jika nanti kita tak berjodoh, bagaimana menurutmu?”

Aku terdiam. Kutatap mata Dee dalam-dalam. Mata itu tiba-tiba berair dan seketika pecah menjadi sebuah tangisan. Kupeluk tubuh Dee untuk menenangkannya. Dee tidak biasanya seperti ini. Tentu ada hal yang teramat berat dan menyedihkan sehingga membuat airmatanya tumpah.

Di kamar Dee, rasanya aku ingin berteriak marah. Kenapa harus di saat ini aku baru mengetahui sebuah kenyataan. Aku membencinya, aku membenci kenyataan ini. Ah, rasanya aku ingin mati. Kutinggalkan Dee yang menangis dan aku pulang karena tak ingin membuat suasana semakin panas.
***

“Pa, air panasnya sudah mama siapkan.” Sebuah suara dari dalam rumah mengejutkanku yang tengah terpaku di dekat pagar karena membaca sebuah surat yang baru saja diantarkan Pak Pos.
“Iya, ma!” kataku pada seorang wanita yang sudah tiga tahun menjadi istriku. Lalu cepat-cepat kusobek surat itu dan segera masuk ke dalam.

Wanita itu istriku. Namanya Alikha. Bukan Dee? Iya, Dee hanyalah masa lalu. Setelah penjelasannya tiga tahun yang lalu di dalam kamarnya, aku dan Dee sudah tak pernah berhubungan lagi, dengan kata lain kami putus. Meski kata putus itu sendiri tak pernah terucap di antara kami. Dan sekarang, aku dan Alikha telah memiliki seorang malaikat kecil berusia dua tahun, yang cantik dan menggemaskan.

Bukan hal yang mudah untuk melupakan Dee, tapi aku sangat bersyukur bisa hidup dengan Alikha, yang dengan kesabarannya mau menerimaku. Aku dan Alikha menikah karena perjodohan orangtua yang khawatir dengan keadaanku. Karena aku tak tahu harus berbuat apalagi, maka aku iyakan saja keinginan kedua orangtuaku. Aku bahagia bersama Alikha dan aku berharap Dee pun berbahagia dengan suaminya.
***

Kyoto, 10 Agustus 2012

Diaz, Philosopher’s Path sekarang tetap seindah saat kita bertemu beberapa tahun yang lalu.. Meski sekarang sedang natsu4, sakura-sakuranya masih saja bermekaran dengan indahnya. Kamu masih ingat bukan saat memperhatikanku yang sedang membuat kupu-kupu kertas di bawah pohon sakura bersama keluarga teman orangtuaku?

Ya, sekarang mereka telah benar-benar menjadi keluarga karena pernikahan kami. Aku masih tak percaya, kukira mereka hanya sahabat dekat Papa. Tapi janji mereka untuk menikahkan putra-putrinya malah membawaku dalam keterpurukan. Aku menyesali kenyataan ini namun aku telah menerimanya, yang penting Papa dan Mama berbahagia.

Oh iya Diaz, kupu-kupu kertas milikmu yang sayapnya bertuliskan ‘Dee menjadi istriku’, diterbangkan saja ya. Meski itu tak akan pernah terwujud namun anggap saja sudah terwujud. Karena aku pun begitu, telah menerbangkan kupu-kupu kertas bertuliskan ‘Diaz menjadi suamiku’. Aku di Kyoto baik-baik saja. Dan aku mulai belajar mencintai suamiku karena ia sangat sabar menghadapi sikap dinginku selama tiga tahun ini. Doakan aku ya, agar aku bisa berbahagia seperti kamu.

SELESAI

Cerita Terkait

Kupu-Kupu Kertas By Murni Oktarina
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE