Ketika Luka By Nia Kurnia

Ads:
KETIKA LUKA 
Penulis: Nia Kurnia

“Di, kamu belum pulang?” Seorang cewek menegur sosok yang sedang duduk menengadah ke langit, orang yang dipanggil hanya menoleh sebentar kemudian melanjutkan lagi aktivitasnya. “Bentar lagi.” Jawabnya singkat.
“Eh iya, ini novel lo  kan?” Cewek itu, Anya, memperlihatkan sebuah novel yang memang kepunyaan orang yang ditanya. “Lo jangan lupa ambil yah, ntar ilang loh.” Anya kembai mengingatkan.

Entah apa yang lebih menarik di langit sana daripada lawan bicaranya, pandangannya mash tetap tertuju ke gumpalan awan yang menghitam, sedikit demi sedikit gumpalan awan itu mulai menutupi langit biru di atas gedung fakultas tempatnya duduk.

Diandra, begitu ia biasa dipanggil. Mahasiswi jurusan managemen ekonomi ini sejak beberapa hari yang lalu mulai bertingkah aneh, tanpa seorang pun tahu sebabnya. Teman-temannya yang biasa melihat ia ceria tanpa beban sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi pada gadis itu.
“Di, bentar lagi ujan, pulang yuk.” Anya kembali mengajak cewek itu. Anya adalah salah seorang teman yang selalu bersamana sejak awal masuk kuliah. Anya yang begitu mengagumi keceriaan yang dimiliki Diandra pun tak tahu harus berbuat apa. Setiap kali di tanya, “Gue gak papa.” Hanya jawaban itu yang selalu keluar dari mulutnya. Namun ekspresinya sama sekali tak menjelaskan demikian. Sikapnya dingin, bukan Diandra yang biasanya.

Semua bermula sejak minggu lalu, ketika seorang mahasiswa yang ditansfer dari salah satu universitas di Jakarta muncul di depan kelas. “Raka Prawira” begitu ia menyebutkan namanya. Tampak orangnya sangat ramah, namun anehnya Diandra yang sedang fokus dengan hal lain tiba-tiba tersentak kaget mengengar nama itu. Buku yang sedang dipegangnya lepas dari genggamannya.
Sejak itu, Diandra bukan lagi yang biasanya, setiap hari datang dan pergi dari kampus hanya dalam diam. Bahkan sapaan teman-temannya pun tak dia hiraukan. **
* * * * *

“Wira hari ini pindah ke Jakarta, dia mau lanjut sekolah di sana. Kebetulan juga dinas orang tuanya di sana diperpanjang.” Begitulah penjelasan singkat nenek Wira ketika Diandra membawakan hadian ulang tahun ke rumahnya.
“Kok dia ga bilang-bilang Aku, oma?” Diandra tak mampu membendung air matanya ketika ia masuk ke kamar sahabatnya itu yang dia dapati telah kosong. “Mungkin Wiranya lupa, tapi teman-temannya banyak kok yang nganter ke bandara. Oma kira kamu juga ke sana.” Tak ada lagi yang mampu diucapkan Diandara, hadiah yang ia bawa diletakkannya di atas meja belajar kosong yang tampak kesepian. 

Lama Diandra menatap hadiahnya, bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya di kamar itu sendirian, tapi dibawa pun akan menjadi belati penggores luka di hati Diandra. Sahabat yang selalu menemaninya selama bertahun-tahun, pergi begitu saja, tanpa kata perpisahan. 
Lupa?. Wajah Diandra mendadak mengeras, ia meninggalkan kamar pennggalan Wira tanpa menoleh. Rasa sakitnya teramat sangat mendapati bahwa orang yang paling dia percaya lupa untuk sekedar menyampaikan rencana kepergianya. Sejak hari itu, semua tentang Wira sudah terhapus dari hidup Diandra. **
* * * * *

Tetesan air hujan mulai mengucur dari gumpalan awan hitam itu. Diandra menghela napas, kemudian beranjak dari tempat duduknya dan bersiap untuk pulang. Gerak tubuhnya masih tetap dingin, tak ada keramahan lagi di sana.

Langkahnya terhenti ketika ia menyadari seseorang berdiri tepat di depannya. “Di, mau pulang?” Wira bertanya denga segenap keramahan yang ia miliki. Diandra tak bergeming, ia melanjutkan langkahnya tanpa melirik sedikit pun orang di depannya.
“Di.” Wira mengekor di belakang gadis itu.
“Di, hujannya deras banget, kalo pulang sekarang lo bisa sakit.” Wira menarik lengan Diandra yang hedak melangkah keluar dari gedung fakultasnya. Diandra tersenyum, tapi justru membuat Wira merasa tak nyaman, senyum sinis penuh dengan kebencian, senyum yang belum pernah dilihat Wira sebelumnya.
“Lo siapa? Lo kenal gue?” tangan Diandra menggeliat melepaskan diri dari genggaman Wira. 
“Di.” Semua orang yang ada di lobi fakultas ekonomi melihat kea rah Wira, namun tak dipedulikannya.
“Diandra.”
. . . 

Diandra tak peduli dengan tubuhnya yang sudah kuyup terkena air hujan, bahkan tubuhnya mulai menggigil tak ia hiraukan sedikitpun. Ia hanya berjalan lurus ke depan, tak peduli dengan apapun.
“Kenapa lo bisa suka sama hujan?” Wira hanya tersenyum mendengar pertanyaan sahabatnya itu. “Suka aja.” jawabnya sekenanya.
“Gak asik banget sih lo.” Diandra merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan Wira, “Mana ada orang suka sesuatu tanpa alasan gitu.”
“Gue ngerasa hujan bikin perasaan gue nyaman.” Wira diam sejenak menoleh ke arah sepasang mata yang tengah memperhatikannya. “Kalo gue hujan-hujanan, gue ngerasa kayak seluruh beban hidup gue ikut luruh sama air hujan. Rasanya ringan banget.”
“Cih, ngutip di mana lo?” Diandra tersenyum mendengan alasan Wira.

Kenangan itu muncul di pelupuk mata Diandra, kenangan bersama sahabat yang sangat dia rindukan. Kenangan yang telah lama ia coba kubur dalam-dalam, tapi sekarang semua menyeruak kembali ke permukaan.
“Gue harap hujan ini juga meluruhkan semua sakit yang gue rasa, Wir.” Air mata Diandra jatuh bersama dengan air hujan, bercampur menjadi satu. “Gue harap hujan bisa bawa pergi semua luka gue, bawa pergi semua rasa sakit yang lo tinggal buat gue.” Diandra mulai sesenggukan, derasnya hujan tak mampu menyembunyikan air mata yang berlinang di matanya.**
* * * * *

Week end benar-benar membuat Wira frustasi, sudah dua hari sejak ia terakhir melihat Dinadra, dan itu dalam keadaan yang tidak bisa dikatakan baik. Ingin sekali rasanya Wira menemui sahabatnya itu langsung, tapi urug dia lakukan toh, dia akan bisa bertemu Diandra besok di kampus.**
* * * * *

“Nya, lo liat bukunya novel gue gak? kayaknya minggu lalu gue lupa di mana gitu.” Diandra yang baru masuk kelas langsung menuju ke salah satu teman dekatnya, Anya. Orang yang ditanya hanya tersenyum sambil mengeluarkan sebuah novel karangan Tere Lie yang memang dilupakan temannya itu di atas meja. Maksud lain dari senyum Anya adalah ia tidak lagi melihat Diandra yang minggu lalu. Diandra yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Diandra yang biasanya.

Kedua gadis yang tengah berbincang itu, tak menyadari sepasang mata yang sedari tadi mengawasi mereka. Wira. Meski masih bingung dengan perubahan sikap Diandra yang mendadak itu, namun ia bersyukur sahabatnya tidak lagi bertingkah seperti zombie.
“Kemarin lo kenapa sih Di, lo aneh tau.” Anya menyuarakan rasa penasarannya.
“Gue, aneh? Kenpa?” Diandara pura-pura tak mengerti dengan maksud temannya.

Anya menghela napas, memilah kata yang tepat agar gadis itu tak tersinggung, “yaa, lo aneh. Lo ga kayak Diandra yang biasanya. Lo dingin banget, kayak abis nelen es batu.” Jawab Anya setengah bercanda.
Diandra mengibas-ngibaskan novel Tere Lie miliknya di depan Anya, “Mungkin gue kebawa sama ceritanya ni novel. Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.” Diandra hanya tersenyum tiada  arti. Anya yang tak ingin memaksa temannya itu untuk bercerita menyudahi sampai di situ percakapannya.

Ketika kuliah selesai, Diandra yang sedang mencari Anya mendapati dirinya bertemu pandangan dengan Wira. Jantungnya berdegub, wajahnya kembali mengeras, ia merasakan wajahnya mulai panas karena marah. Sejurus kemudian ia memalingkan pandangannya, mengabaikan Wira yang tersenyum padanya.
“Di, ada yang nyariin tuh.” Teguran Lian sang ketua tingkat memudarkan amarah Diandra. “Siapa?” tanyanya singkat.
“Biasa, orang yang selalu bikin cowok-cowok yang naksir sama lo makan hati.” Goda si ketua tingkat, yang diikuti dengan sorakan menggoda seisi kelas.

Diandra hanya tersenyum dan menemui cowok yang sedang mnunggunya di depan kelas. Sepasang mata terasa begitu panas melihat Diandra tersenyum manis di depan cowok itu, dalam satu gesture, cowok itu mengambil kesempatan membelai rambut Diandra. 
Pemilik sepasang mata itu kemudian beranjak keluar dari kelas tanpa menoleh sedikit pun, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat menahan amarah.**
* * * * *

Ketika Luka By Nia Kurnia

Hari ini, salah satu fakultas di kampus mengadakan bazaar dan pentas seni untuk penggalangan dana. Tentu saja seluruh warga kampus berhak datang sekedar untuk menyumbangkan beberapa rezeky yang mereka miliki. Tak terkecuali Diandra.
“Di, aku ke sana dulu yah, kamu ga papa kan sendiri?” cowok yang datang bersama Diandra mengusap lembut rambut gadis itu. “Gak papa, bentar lagi juga Anya datang.” Jawab Diandra dengan senyum manis di wajahnya.

Diandra masih berjalan keliling sendirian menikmati bazaar yang dibuat cukup ramai ini. bukan hanya dari kampus mereka saja, bahkan dari kampus lain banyak yang datang. Mungkin mereka memenuhi undangan dari teman-teman mereka yang kebetulan adalah mahasiswa kampus sini. 
Diandra kemudian berhenti di tempat yang lumayan sepi tapi cukuo strategis untuk menikmati bazaar malam ini. Dari tempatnya berdiri, panggung pensi bahkan tampak dengan sangat jelas.***
* * * * *

Wira sedang uring-uringan memikirkan apa yang baru saja dilihatnya. Rasanya akal sehatnya sudah tidak bekerja sebagaimana mestinya melihat tingkah Diandra di depan cowok lain. Bisanya-bisanya Diandra tersenyum dengan begitu manisnya di depan cowok itu. Senyum yang bertahn-tahun sangat dirindukan Wira.
Penat dengan pikirannya sendiri, akhirnya Wira memutuskan untuk keluar mengobati kesuntukannya. Kebetulan dia mendengar di kampusnya tengah diadakan bazaar, apa salahnya ke sana bersenang-senang dengan beberapa temannya.
Belum sempat Wira menikmati suasana bazaar, di depan matanya sudah di sajikan pemandangan yang snagat tidak ingin dilihatnya. Diandra sedang bersama cowok itu, dengan gesture yang sangat tidak disukai Wira. Cowok itu dengan leluasa menyentuh Diandra, membelai rambutnya. Yang lebih menyakitkan adalah melihat Diandra tersenyum dengan begitu tulus I depan cowok itu.
Wira mengikuti Diandra yang berjalan sendiri. Setidaknya ia sedikit lega melihat Diandra berpisah dari cowok itu. Dengan hati-hati Wira berdiri di tempat yang tidak bisa dilihat oleh Diandra, berharap ia bisa mengobati rindunya kepada gadis itu dari jauh. 
Belum lama menikmati fantasinya, cowok itu datang lagi, dengan sekaleng soft drink di tangannya yang langsung ia sodorkan kepada Diandra. Entah apa yang mereka bicarakan, Diandra tamat begitu penurut menganggukkan kepala dengan segala instruksi yang diberikan cowok itu. Sama sekali bukan Diandra yang dia kenal.
Tapi semakin Wira melihat cowok itu, ia merasa pernah bertemu sebelumnya. Tapi ia tidak tau di mana. Ah, tentu saja, ia melihatnya tadi siang bersama Diandra, jelas wajahnya tidak asing, pikir Wira.

Amarah sudah menguasai pikiran Wira, ia mengepalkan tinjunya kuat-kuat, namun tak mampu untuk menghalangi perasaannya. Ia akhirnya memberanikan diri mendatangi Diandra bersama cowok itu.
“Di, bisa ngomong bentar?” Cowok di samping Diandra seketika kaget dengan kedatangan Wira.
“Mau ngomong apa lagi, gue sibuk.” Diandra sama sekali tak melihat ke arah Wira. Pandangannya hanya lurus ke depan.
“Kenapa Di?” tanya cowok ang bersama Diandra. “Gak papa, gak penting” jawab Diandra singkat dengan wajah ketusnya. Ia kemudian menarik lengan cowok itu menjauh dari Wira.

Wira benar-benar sudah tidak bisa mengendalikan dirinya, ia menahan lengan kiri Diandra. “Di, aku tinggal kalian berdua dulu, kalian silahkan bicara.” Cowok itu mengambil inisiatif, tapi justru membuat hati Wira semakin panas dengan aksen aku-kamunya.
“Gak, ga ada yang perlu dibicarain kok.” Diandra berkeras.
“Di, aku tinggal bentar yah.” Dengan lembut cowok itu mengusap kepala Diandra kemudian berlalu pergi. 
Genggaman tangan Wira yang belum terlepas refleks menarik cewek itu mencari tempat yang lebih tenang untuk bicara.**
* * * * *

Tangan Diandra menggeliat melepaskan diri saat Wira berhenti beberapa jauh dari keramaian bazaar. Wira yang mengerti keinginan Diandra pun melepaskan tangannya.
Selama beberapa saat tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut keduanya. Wira hanya menatap Diandra lurus, sementara cewek itu memandang ke arah lain.
“Mau ngomong apa?” Diandra memecah kesunyian dengan intonasi ketusnya.
“Di, segitunya ya lo ga mau ngeliat gue.” Suara Wira melembut.
“Iya. Udah itu doang?” jawan Diandra dengan tegas dan berbalik bermaksud pergi. Sayangnya tangan Wira lebih cepat.
“Di.”

Hening.
“Di, yang tadi itu siapa?” Wira akhirnya memecah keheningan sementara tangannya masih menggenggam lengan cewek itu. “Bukan urusan lo.” Jawaban yang sama sekali tidak diharapkan Wira. Ia terdiam.

Hening kemudian.
“Di, please, jawab jujur. Siapa cowok itu?” Wira melepaskan genggamannya. Ia tidak ingin melampiaskan amarahnya dengan menyakiti lengan cewek itu.
“Kayaknya gue ga ada kewajiban buat jawab pertanyaan lo.” Wajah Diandra mengeras, kalau saja ini bukan malam, dengan mudahnya Wira akan menyadari betapa merah wajah cewek itu. “Sama ketika lo pergi, lo sama sekali ga punya kewajiban buat ngasih tau gue. Oke. Itu gue terima, karena gue bukan siapa-siapa buat lo. Gue aja yang terlalu naïf udah nganggap lo sahabat gue. Sementara dengan bodohnya gue ga tau kalo gue ini nothing buat lo.” Lanjut Diandra menyuarakan sakit hatinya.

Wira hanya diam mmbiarkan cewek itu melampiaskan seluruh emosi yang ada di hatinya.
“Lo tau, Wir, selama tiga tahun gue berusaha nyembuhin luka gue sendiri. Tapi begitu luka gue udah mulai baik-baik aja, lo datang. Lo kembali dengan tanpa merasa bersalah sedikit pun. Dan dengan ngeliat muka lo, luka gue kembali terbuka. Satu yang gue nyesel banget dalam hidup gue. – kenapa gue pernah jadiin orang kayak lo sahabat gue.” Setiap kata yang diucapkan cewek itu menohok tepat di hati Wira.
“Gue bisa jelasin kenapa gue tiba-tiba pergi gak pamit sama lo, Di.” 
“Gue udah ga butuh. Sakit gue terlampau parah untuk bisa diobati dengan alasan lo.” Diandra benar-benar meluapkan emosinya.
“Maafin gue Di.”

Hening. 

Gue bohong Wir. Jelasin ke gue. Buat gue ngerti kenapa lo ninggalin gue. Diandra merintih dalam hatinya.
“Sahabat.” Wira menyeringai sinis. “bertahun-tahun gue sama lo dengan status itu, lo ga pernah tau gimana rasanya Di.” Wira berhenti sejenak, sementara cewek di depannya menatapnya tak mengerti.
“Alasan kenapa gue ga mau lo ngeliat gue pergi, karena gue takut. Gue takut ga bakal sanggup ninggalin lo di belakang. Gue takut bakalan lari ke arah lo dengan bodohnya. Dan gue takut liat air mata lo.”

Diandra merasakan sesuatu yang hangat di pelupuk matanya, air matanya menetes membasahi pipinya.
“Tapi ibu gue sakit, Di. Gue harus milih tetap sama lo  atau ibu gue.” Tangan Wira mengepal kuat-kuat.
“Lo nanya kenapa gue balik?” cowok itu menatap tajam ke arah Diandra, kaget kilatan bening pantulan cahaya lampu pada pipi Diandra yang basah dengan air mata. Tidak. Wira tidak bisa berhenti di sini. Ia menghela napas, menahan rasa bersalah di dadanya yang telah membuat cewek yang dia rindukan menangis.
“Gue kangen sama lo. Bukan baru sekarang, tapi sejak dulu. Sejak hari kepergian gue. Bahkan sejak gue masih sama lo, gue selalu kangen sama lo.” Wira berhenti sejenak. “Lo ga pernah tau Di, gimana rasanya gue yang harus nahan perasaan gue sendirian. Gue bukannya mau buka luka lama lo. Gue balik justru mau ngobatin luka gue.” Lanjut Wira.
“Kalo lo kangen sama gue, kenapa lo ga ngasih kabar?” Suara Diandra terdengar dingin. “Kita lo bukannya hidup di jaman purba Wira.”

Wira menatap lurus mata cewe itu. Ingin sekali dia merengkuhnya, menghentikan air matanya. “Gue takut Di, kalo sampe gue denger suara lo, kalo sampe gue denger kabar tentang lo, gue bakal kehilangan akal dan ninggalin ibu gue.”
“Bertahun-tahun gue sayang sama lo Di, tapi hanya dianggap sebagai sahabat itu berat banget buat gue. Dan ketika gue dapat keberanian untuk nyatain rasa gue, gue justru harus pergi.” Diandra tak mampu berkata apa-apa. Ia mundur beberapa langkah dan bersandar di pohon si belakangnya.
“Gue tiba di sini, disambut dengan rasa marah lo, gue terima. Lo ga peduli sama gue, gue gak bisa berbuat apa-apa. Gue bahkan udah nyoba untuk lupaian lo, tapi gue justru mendapati diri gue semakin sayang sama lo.”
“Cukup Wir. Kenapa lo bilangnya sekarang, di saat sakit hati gue udah terlampau dalam.” Diandra mulai sesenggukan.
“Karena gue ga mau ngerusak persahabatan yang  udah lo jaga. Gue ga mau buat lo harus kehilangan sahabat lo cuma karena perasaan gue.”
“Lalu kenapa lo harus bilang itu sekarang?”

Wira maju beberapa langkah dan memegang pundak cewek itu. Dia merasakan seluruh tubuh cewek itu hampir kaku karena marah. “Gue ga sanggup Di.” Suara Wira melembut, “Gue gak bisa ngeliat lo sama cowok lain. Rasa sakit ketika lo ga peduli sama gue bisa gue tahan. Tapi ngeliat lo tersenyum di depan cowok lain dan ngeliat cowok itu nyentuh lo, itu ngebuat perasaan gue menggila. Gue ngerasa kehilangan kewarasan gue setiap ngeliat lo sama dia.”

Wira tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Jika memang teinganya masih berfungsi normal, ia baru saja mendengar tawa Diandra.
“Di?” Wira bingung merasakan goncangan kecil di bahu cewek itu.
“Maksud lo kak Rama?” Diandra mendongak menatap Wira sambil tersenyum. Senyum yang membuat jantung Wira berdegup tak karuan. Senyuman yang dirindukannya tepat di depan matanya. Diandra tersenyum, kepadanya, tulus. “Siapa pun namannya” hanya itu yang mampu keluar dari mulut cowok itu tanpa mampu mangalihkan pandangannya dari wajah Diandra.
“Dia kak Rama, Wir. Kakak gue.” Diandra melepaskan kedua tangan Wira dari bahunya.
“Rama?” Wira masih bingung. Oh, wajah yang ia kenal, pantas saja cowok itu begitu familiar di matanya.
“Kak Rama bahkan udah ngenalin lo dari pertama dia liat lo.” Tambah Diandra. Rasa malu menggelayuti hati Wira, ia sadar cemburu telah membutakan matanya. Wira belum sepenuhnya sadar dari kebingungannya ketika tangannya sekali lagi menahan Diandra untuk pergi.
“Stop kabur-kaburan, Di. Gue belum selesai.” Nada lembut suara Wira namun terkesan memerintah. 
“Apa lagi? Gue udah jawab pertanyaan lo. Kelar kan.” Diandra menghentakkan tangan Wira yang lanngsung melepaskan genggamannya. Namun kedua tangannya berpindah bahu cewek itu.
“Gue ga tau gimana perasaan lo, bahkan gue ga tau lo maafin gue tau gak.” Kali ini nada suara Wira terdengat pasrah.

Di luar kesadarannya, tangan cewek itu sudah melingkar di bahu Wira. Diandra memeluknya. Pelukan yang tak perlu lagi kata-kata untuk menjelaskan maknaknya. Tangan Wira refleks membalas pelukan cewek itu.
“Lo tau Wir, begitu gue tau lo balik, rasanya gue mau langsung lari ke arah lo. Gue pengen meluk lo. Gue pengen bilang gue kangen banget sama lo.” Diandra berhenti sejenak. “Tapi gue takut, lo balik Cuma buat nyakitin gue lagi.”
“Maaf, Di, gue benar-benar ga tau lo bakal sesakit ini.” Maaf lirih keluar dari mulut Wira.
“Tapi, seandainya lo ga pergi, mungkin gue ga bakal sadar kalo selama bertahun-tahun gue bukannya sayang sama lo. Tapi gue cinta sama lo.”
“Jadi ceritanya lo nembak gue, nih?” Goda Wira yang membuat cewek itu melepaskan pelukannya.

Wira tersenyum dan menggenggam tangan Diandra, “Gue cinta sama lo, Di. Entah sejak kapan, tapi yang pasti jauh sebelum gue sadar gue udah cinta sama lo.” Diandra hanya membalas dengan senyuman.
Tanpa mereka sadari, luka yang telah mereka rasakan selama ini akhirnya mengajarkan mereka tentang cinta.

* * * *SELESAI* * * 

Cerita Terkait

Ketika Luka By Nia Kurnia
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE