Janji Ivan kepada Langit By Imaf Hanida

Ads:
JANJI IVAN KEPADA LANGIT
Penulis : Imaf Hanida

Ivan menegacungkan golok karatan ke dagu seorang wanita yang membawa tas tangan yang penuh dengan uang. Ivan mendorong golok itu perlahan hingga dagu wanita terangkat. Wajah Ivan terlihat ganas dan menyeramkan berkat topeng siluman yang dia pakai. ketakutan berpadu kepasrahan membuat orang wanita itu berkata dengan gemetar.
“Ya…ya….. to..tolong… jangan bunuh saya. Ampun, ampun. Saya butuh uang ini untuk ……..”
Ivan semakin mendorong goloknya tanpa berkata apa-apa.
“Aaaah, iya…iya… ini, tadinya saya ingin mengobati anak saya yang sakit tumor. Tapi lupakan, ambil saja uangnya. Ambil. Ja…..jangan bunuh saya.” Air muka kesedihan tertangkap retina mata Ivan. Ivan menurunkan tangannya dengan perlahan. Hati nuraninya membunyikan nada tak tega.

Wanita itu mengatur napas yang terengah-engah dan merapikan kerudungnya. Ivan membuka tas itu. Diambilnya beberapa lembar uang saja. Sisanya dia lemparkan kembali secara serabutan kepada wanita yang belum luntur rasa shock-nya.

Perampok aneh. Mengapa dia hanya mengambil tiga lembar uang? Padahal di dalam tas itu ada bergepok-gepok uang warna merah. Mengapa tidak sekalian saja dia ambil semua? Wanita itu meletakkan pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya.
Sementara itu Ivan berjalan lesu menerabas dinding malam. Dia menyeret goloknya. Beberapa suara mengikuti derap kaki Ivan. Bukan, itu bukan suara yang biasa kita dengar di hiruk pikuk malam yang enggan untuk terlelap. Tetapi suara itu yang selalu menceracau dan mengganggu psikologis Ivan. 

Mengapa kamu lakukan itu? Hina sekali yang kamu lakukan! Kamu mengotori tanganmu sendiri!Kamu merampok seorang wanita!
Suara-suara itu terus bergema di telinganya. Ivan merasa sering terjadi sesuatu yang aneh dalam hatinya. Seperti ada pertempuran antara baik dan buruk yang berkecamuk. Seringkali ada suara gaib yang mengajak Ivan menolak perbuatan buruk. Tapi suatu lain di sudut hati yang berbeda selalu mencari alasan yang membuat Ivan serasa berhak melakukan keburukan.

Ivan terus melarikan langkahnya dengan menyeret bayangan samar, khas bayangan suasana maghrib. Dia menundukkan kepalanya. 
Hari ini aku merampok. Lagi-lagi aku mendapat uang haram. Tuhan akan membenciku.
**

“Seila, nih, kakak beliin nasi goreng buat kamu sama adikmu.” Ivan menepuk bahu seorang gadis kecil yang duduk di trotoar. Gadis itu sedang menyanyikan lagu “Ambilkan Bulan, Bu” untuk menghibur adiknya yang baru berumur lima tahun.
“Eh, kak Ivan. Waaah, makasih. Nasinya nggak pedes kan?” Dengan sangat antusias, Seila menyaut dua bungkus nasi goring hangat. Senyum dan sorot mata keceriaan dia jadikan bayaran atas kebaikan Ivan. Segores senyum hadir dengan sendirinya di wajah kumal Ivan. Ivan duduk dengan menyelonjorkan kaki. Dia sibuk menyejukkan hati dengan menatap lelampu kota.
“Tumben kak Ivan beli nasi goreng, biasanya kak Ivan Cuma beli roti seribuan. Lagi ada rejeki?”
Pertanyaan itu langsung menyengat kedua sisi hati Ivan. Dia tak menjawab. Dia berpura-pura terengah-engah agar Seila mengira Ivan tak menjawab karena kelelahan. Ivan membenamkan kepalanya di antara lututnya yang dia naikkan. Di balik diamnya, hati Ivan menceracau.
Rejeki? Apa itu termasuk rejeki? Merampok!Kamu beri mereka makanan hasik merampok!
Ahhh, suara itu dengan teganya kembali membuat hati Ivan seperih luka yang terkena air garam. 
“Kak Ivan kok nggak jawab?”
“eh, eng.. tentu. Kak Ivan kerja, nyuci motor,” Ivan berkata ragu.
Sisi hitam Ivan lalu angkat suara, jangan terlalu merasa bersalah, Ivan. Kamu kan berjanji akan merawat dua anak jalanan ini ketika kamu menemukan mereka. Ingat, setahun lalu kamu melihat mereka kedinginan di bawah siraman hujan dengan keadaan lapar. “Aku berjanji akan merawat kalian. Aku akan mencari makan untuk kalian,” katamu. Sekarang, apa boleh buat, hasil memulung kardus bekas hanya cukup untuk makanmu. Jika ada orang yang pantas untuk disalahkan, Keluargamulah yang paling pantas disalahkan. Mereka yang membuatmu menjadi manusia yang terbuang.

Jiwa Ivan layaknya secarik kertas di samudera yang penuh dengan gelombang yang berkemelut. Terombang-ambing tanpa bisa tegar dengan pendirian. Kadang sisi hitamnya menarik pada jalan jahannam. Tapi sisi putihnya selalu menarik tangannya agar tak mendekati apalagi melakukannya. Semua itu membuat Ivan sangat sakit. Keraguan selalu menemani napasnya. Kebingungan dan kebimbangan adalah pakian Ivan.

“Kak Ivan nggak ikut makan?” Seila bertanya sambil menyuapi adiknya dengan penuh sayang.
“Ah, sudahlah. Kak Ivan sudah kenyang tadi makan roti.” Ivan memaksakan senyuman tanggung.
“Kok cuma roti? Uang kak Ivan kan cukup buat beli nasi satu lagi.” Seila menoleh ke arah Ivan, membuat rambut kucir duanya bergoyang. 

Ivan hanya menjawab dalam hati, Seila sayang, aku tak mau makanan haram mengalir di darahku. Aku akan menjadi manusia yang penuh lumpur dosa. Ya Allah, aku merindukan bertemu dengan-Mu dalam doa dan sujudku. Tapi apakah Engkau masih menerimaku yang hanya penuh cela. Kuatkah aku bersimpuh pada-Mu sedangkan makananku dan pakaianku haram.

Ivan merebahkan dirinya begitu saja di atas trotoar. Pandangannya menusuk langit yang sepi oleh bintang. Bulan pun malu-malu menembakkan cahanya. Hati Ivan benar-benar lengang di tengah lautan perkotaan yang ramai. Ivan menelan ludah dan menutup mata meski tak mengantuk. 
Ivan merasakan telah ada sesuatu yang besar yang hilang dari dirinya. Tidak seharusnya dia ada di sini. Seharusnya dia di rumahnya yang damai. Kamar yang mewah, selimut hangat, kursi teras yang membuat Ivan menatap telaga sejuk, Kicau burung dari halaman rumah, suara ayah memanaskan mobil, aroma tumisan kangkung ibu, dan indahnya lukisan karya kak Neli. Dongeng-dongeng fabel sebelum tidur, coklat panas, dan tawa riang. Dulu Semua terasa begitu sempurna. 

Kenangan itu membuat Ivan tersenyum sekaligus menangis. Ada sesuatu yang lebih besar yang hilang dari dirinya dan meninggalkan lubang besar di hatinya.
Jati diri, keimanan, nilai-nilai kebaikan, dan kegembiraan. Debu dan kerasnya metropolitan mengikis jiwa Ivan yang susungguhnya. Dan saat Ivan telah berjalan terlalu jauh, hati nuraninya selalu menuntun Ivan untuk kembali pada dirinya. Meski kadang sudah terlambat.
Terlambat aku bertobat pada-Mu. Dosaku terlalu besar untuk diampuni. Akankah Engkau menerima sujudku, zikirku. Ya Allah, jika aku diberi kesempatan lagi, sungguh, aku berikan hidup dan matiku hanya pada-Mu.

Renungan itu membuat Ivan jatuh dalam peraduan. Langit kelam memayungi Ivan dengan teduh.
**

“Selamat siang para penumpang bis. Maaf saya menganggu kalian. Tujuan saya kesini hanya mencari uang untuk mendapat sesuap nasi. Saya baru lima hari keluar dari penjara karena membunuh orang. Saya sudah mencari kerja tapi selalu ditolak. Maka saya meminta keikhlasan Bapak Ibu memberi saya risky yang halal dan saya tidak ingin membunuh orang lagi.” Ivan kemudian menyanyi secara abal-abal dengan menabuh ukulele. Bertemu dengan mantan pembunuh? Tentu menyihir para penumpang hingga ketakutan dan akhirnya mau memberi uang. 

Tapi saat Ivan melompat turun dari bis, lagi-lagi ada sakit di dada kirinya, seperti tertusuk belati. Kamu berbohong! Lihatlah betapa kamu semakin menodai jiwamu. Kamu akan jadi penghuni 
jahannam. Kembalilah, kamu telah berjalan terlalu jauh.

Ivan berlutut di pinggir aspal. Dia merasa yang ada di genggaman tangan kanannya bukan lembaran uang, tapi batu bara dari neraka terdalam. Dan batu itu yang terpaksa menjadi makanan bagi Seila dan adiknya. Mengingat itu, belati di dada Ivan semakin dalam menghujam.

Ivan menatap orang-orang yang berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan solat maghrib. Anak-anak yang berlarian sambil menyelempangkan sarung, kesegaran sentuhan ari wudu, indahnya larut bersama bacaan solat, dan imam yang melantunkan bacaan al-quran dengan suara seperti sutra dari surga, itu semua menyentak titik kerinduan Ivan.
“Kakak beragama Islam?” Seila menarik tangan Ivan.
“Ya, tentu. Aku dulu belajara agama di SD.” 
“Kenapa kak Ivan tidak solat?” Seila menyernyitkan dahi.
Ivan tidak menjawab. Seila melanjutkan meyuapi adiknya.

Ivan hanya menggeliat gelisah. Kakinya terus dia gerak-gerakkan untuk menghilangkan kegelisahan. Tangannya lalu mengecek dompetnya. Hanya ada kumpulan uang haram dan sebuah foto yang bahkan dia sendiri tak berani melihatnya. Terlalu menyakitkan untuk dilihat. Sudah delapan tahun foto itu ada di dompet usang Ivan. Tapi tak sekalipun Ivan berani melihat. Mau dibuang juga tak sampai hati. Kegelisahan semakin menjalar di tiap denyut nadinya.

Dia gamang untuk membelanjakan uang haram itu untuk mengisi perutnya. 
Jangan. Lebih baik kamu mati kelaparan daripada kemana-mana membawa kemurkaan Allah.
Ivan memsukkan kembali dompet itu ke sakunya. Debu jalanan memandikan tubuhnya.
**
Janji Ivan kepada Langit By Imaf Hanida

Kejar! Kejar! Lihat, dia baru keluar dari ATM. Hajar! SIkat! Dia tidak bawa senjata apa-apa. Kamu pakai golok. Bantai!

Suara itu menggerakkan kaki Ivan untuk menguntit pria berkemeja yang baru keluar dari ATM. Pria itu menyelinap di antara kerumunan orang di pasar malam. Dengan cekatan Ivan mengikuti, jangan sampai kehilangan jejak. Ivan mengikuti pria itu melewati kios rokok, berbelok di tikungan, menyeberang jalan. Ivan terus mengikuti hingga semakin dekat, dekat, dan dekat. Topeng siluman sudah terpasang, golok sudah siap dihunuskan. Tak ada suara hati nurani yang terdengar dalam pikiran Ivan. Pria itu menuju semak-semak. Ivan sudah sangat dekat. Dia berlari dan mengangkat goloknya. Kali ini pasti berhasil dapat banyak, pikir Ivan. Ivan menerabas semak-semak.

Saat keluar dari semak-semak, dia melihat pria itu mendekati istrinya yang telah menunggu di kursi taman. Tidak hanya istrinya, tapi juga anak perempuan dan anak laki-lakinya yang masih sangat kecil. Ibu itu hamil. Pria itu tersenyum dan duduk di samping istrinya sambil mengelus perut istrinya. Pria itu lalu menggendong anak laki-lakinya dan menciumnya. Pria itu juga memberikan lolipop pada anak perempuan yang agak gemuk dan terlihat sangat menggemaskan. 
“Yuk nyanyi lagu itu,” pria itu menuntun anak-anaknya menyanyikan sebuah lagu. Malam ini bulan menghembuskan cahaya dengan kuat, tidak seperti kemarin.

“Ambilkan bulan, bu
Ambilkan bulan, bu
Yang selalu bersinar di langit
Di langit bulan benderang
Cahyanya sampai ke bintang
Ambilkan bulan, bu, untuk menerangi
Tidurku yang lelap di malam gelap,”

Mereka menyanyikan lagu itu penuh keceriaan. Si pria mencium kembali kedua anaknya. Sungguh keluarga yang terlihat sangat bahagia.

Ivan berdiri kaku. Kakinya seolah tertanam ke tanah. Dia mengamatinya dan mulai larut dalam suasana. Goloknya dia jatuhkan. Potongan-potongan masa lalunya mulai menyatu layaknya puzzle. Kenangan masa indahnya di waktu kecil, berkobar-kobar membakar dirinya. Apa yang baru saja disaksikan Ivan membuat sisi terdalam hatinya terbuka. Semua kenangan mengalir deras tanpa bisa dihentikan.
**

Semua terasa sangat sempurna. Ivan terlahirkan di keluarga pedagang pakaian sutra yang sukses. Bisa dibilang keluarganya adalah keluarga terkaya di kampung itu. Meski kaya, orang tuanya tak pernah merasa terlalu disibukkan oleh pekerjaan. Mereka selalu punya waktu untuk berkumpul bersama anak-anaknya, bermain, membacakan dongeng, makan malam bersama, mengajari belajar, dan mencium kening anaknya ketika tidur. 

Ivan terlahir sebagai anak yang cerdas logika. Nilai matematikanya selalu terbaik di kelasnya. Mbak Neli, kakak Ivan dianugerahi kemampuan melukis yang luar biasa. Beberapa kali dia menjuarai lomba melukis. Mereka berdua menjadi anak berbakat dan berakhlak mulia.
Orang tua Ivan terkenal sangat dermawan dan ramah pada tetangga-tetangganya. Mereka selalu merasakan kebahagiaan dengan berbagi. Semua terasa sangat bahagia. Tak pernah ada tanda-tanda awan hitam akan mengacauakan kesempurnaan itu. 

Namun krisis ekonomi lah yang mulai menghancurkan bangunan kebahagiaan hingga ke pondasinya. Bisnis mereka bangkrut total. Hutang ratusan juta mengintai dan mulai menyebarkan racun keputusasaan yang mendalam di keluarga Ivan.

Ayah Ivan mengalami depresi parah. Saat itulah jiwa dan imannya lemah. Setan memanfaatkan kondisi lemah itu untuk menancapkan panah kebencian dan melenyapkan kebahagiaan. Ayah Ivan yang terbakar depresi memilih membagikan depresinya pada botol-botol minuman setan dan serbuk narkotika. Hanya ini cara agar ayah Ivan lupa pada masalahnya. Akal sehatnya benar-benar tertutup.
Masih segar di ingatan Ivan malam yang begitu menyengkarut itu. Ibu Ivan menangis dan histeris. Dia lemparkan gelas-gelas. Jeritan dan amarah membuat malam yang dingin menjadi panas. Ibu Ivan tak terima kenyataan bahwa telah menemukan butir-butir ekstasi di kantong suaminya. Ibu Ivan terus histeris hingga lemas dan tersungkur dengan wajah merah padam dan coreng-moreng oleh air mata dan keringat.

Keesokan harinya, ibu Ivan meninggalkan rumah dengan membawa mbak Neli. Itulah saat terakhir Ivan melihat mereka. Mereka pergi dan tak pernah kembali, mereka telah larut dalam liarnya dunia luar. Tinggal Ivan dan ayahnya di rumah.

Kehilangan pekerjaan, istri, dan anak perempuan membuat depresi ayah Ivan semakin mengganas dan menggilas akal sehatnya. Dia menambah dosis ekstasi. Dia benar-benar terkena adiksi.
Ivan tak kuat menyaksikan semua itu. Hatinya begitu terluka. Pisau belati terlalu dalam menyarangkan tusukan di dadanya. Tiap malam ayah Ivan terus menangis dan melolong penuh keputusasaan. Ayah Ivan lebih mirip orang gila dengan tubuh semakin kurus dan wajah sepucat dinding kusam.

Suatu malam yang penuh derai air mata di wajah Ivan, dia memutuskan kabur dari rumah secara diam-diam. Entak ke mana dia akan pergi. Tak tahu kemana kaki melangkah. Tak tahu kapan waktu mengakhiri semuanya. Dia pergi ke dunia yang kejam dan penuh keremangan. Meninggalkan hangatnya selimut dan indahnya taman rumah. 
**

Sudah delapan tahun itu berlalu. Kini Ivan berjalan lemah mendekati Seila yang terus menyanyikan lagu,”ambilkan bulan, bu.”
“Kok kak Ivan nangis?” Seila memandangnya penuh heran.
“Seila, apakah kamu kadang rindu keluargamu?” Ivan menyeka air mata.
“Eh, enggak sih. Seila dan adik Seila kan dari dulu nggak kenal keluarga. Kok kak Ivan nanya gitu? Oh, kak Ivan kangen keluarga Kakak?”

Ivan mengangguk lemas.” Kak Ivan sudah rindu sekali. Ayah, ibu, dan mbak Neli. Ah, mbak Neli pasti sudah besar. Dulu dia manis seperti kamu. Apa yang terjadi pada mereka sekarang ya?” Ivan mulai menggeliat gelisah.
“Kak Ivan punya fotonya?”
Foto? Ivan terperanjat. Foto itu, yang di dompetnya. Sudah delapan tahun Ivan tak berani melihatnya. Namun saat itu juga Ivan menguatkan dirinya mengambil foto itu. Dia menarik napas dalam-dalam. 

Dipandanginya foto itu. Air mata Ivan benar-benar meleleh. Foto keluarga dalam kebahagiaan. Semua tersenyum. Ivan kecil digendong ayahnya. Mbak Neli masih dikucir dua. Pipinya tembem dan matanya sipit. 
“Semua harus berakhir!” Ivan memasukkan kembalii foto itu dan memandang langit gelap. “Semua harus bersaut lagi. Kegembiraan harus dikejar lagi. Aku pernah bahagia, aku pasti bisa mendapatkan lagi,” kata-kata Ivan menusuk langit. Dia menggenggam erat tangan Seila. 
“Seila, di bawah langit hitam ini aku berjanji. Tak ada lagi Ivan yang menggantung dalam keputusasaan. Aku berjanji menemukan diriku yang sesungguhnya. Aku akan membuka lembaran baru. Aku berjani menyatukan kembali keluargaku dalam kebahagiaan. Meski aku harus menjelajahi ujung dunia, akan kulakukan. AKU TAKKAN BERHENTI!” Kalimat terakhir begitu kuat menggema dan mengguncang langit. Perhalan Seila ikut menangis. Dia bersandar di lengan Ivan. 

Seila, aku berjanji akan mendapat pekerjaan dan mendapat uang halal untuk menghidupimu. Kamu dan adikmu akan kuajak berkumpul bersama keluargaku, menyekolahkanmu, dan membawamu menjadi manusia yang bahagia.Jangan menangis, semua akan indah pada saatnya. Ivan menatap langit. Di sana terlukis wajah ibu, ayah, dan mbak Neli. Kita akan berkumpul lagi, kita akan bahagia lagi.

Tentang Penulis:Imaf Hanida
Mulai menulis ""novel"" saat berusia 12 tahun.
Tertarik pada seni musik, seni rupa, seni sastra, psikologi, dan agama.

Cerita Terkait

Janji Ivan kepada Langit By Imaf Hanida
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE