Jangan Salahkan Kasta Dan Sara By Ana F

Ads:
JANGAN SALAHKAN KASTA DAN SARA 
Penulis : Ana F

Jika wanita hanya bisa bekerja di dapur dan mengurus anak. Lalu untuk apa ada perjuangan R.A Kartini ? Sederajat kan kasta & sara' di negri ku sendiri. Tidak memandang lelaki atau wanita, tidak memandang si kaya dan si miskin.."" 
Di desa ku, pagi ini sudah ramai para petani memikul cangkulnya. Tak lupa juga caping untuk menahan panasnya matahari di kepala. Pagi ini seperti biasa aku membantu emak memasak di dapur untuk sarapan keluarga ku.
Aku tinggal di desa Karang ayu, Pangkajane, Sulawesi Selatan. Emak ku hanya seorang ibu rumah tangga, sedangkan ayahku hanya lah seorang buruh tani yang menggarap sawah milik sandagar kaya itu.
Oiya, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Nama ku Rani. Lengkapnya Rania Assyifa. Emak ku memberi ku nama itu karena ia dulu saat emak menggandung ku sangat suka dengan aktris bollywood bernama Rani mukherji. Maka dari itu nama ku mirip dengan itu. Dan untuk nama belakangnya, Kakek yang memberinya. Kata beliau assyifa itu penawar atau penyembuh segala penyakit dan kesusahan.
Pagi ini sudah pukul 05.45. Aku bersiap-siap untuk berangkat sekolah.

""Rani.. Kau tak cepat untuk berangkat sekolah kah?"" Teriak emak ku.

""Iya.. Mak. Ini aku sudah siap"". Jawabku dengan singkat.

Aku buru-buru berlari mencari sepatu ku. Dan aku menemukannya di bawah meja belajar ku. Aku senang memakainya. Memakai sepatu kebanggaan ku. Mungkin tidak bagi orang lain. Karena sepatu ku yang berbeda dengan orang lain. Sepatu ku sudah tiga tahun tidak pernah diganti. Mungkin sesekali dicuci. Pasti sudah terbayang bukan, sepatu yang berumur tiga tahun? Ya! Sudah rusak. Terlihat sobek di sudut ibu jari kaki.

""Mak, pak, rani berangkat dulu ya. Doakan rani ya mak, pak"". Sambil ku cium kedua tangan orangtua ku.

""Iya. Rani. Siape pun ingin anaknya kelak berhasil nak. Emak setiap hari mendoaka mu. Tanpa kau minta"". Balas emak ku.
Tak banyak yang dikatakan bapak ku. Hanya sekedar anggukan belaka.

Kring,,,, kring,,,,, kring,,
""Rani! Rani! Rani! Cepat lah"". Terdengar teriakan dari depan rumah ku.
Aku bergegas menghampiri nya. Dia siti teman ku sejak sekolah dasar. Tepatnya bapak nya dia sahabat bapak ku dari dulu. Entah lah sejak tahun kapan.

""Kau ini bisakah tidak bersuara keras-keras?"" Kata ku yang agak sebal.

""Apa? Aku ini siti. Yang punya semangat 45. Masa pagi-pagi begini sudah lemas.Kita sebagai..."" protes nya.

Aku memotong omongannya ""Iya. Iya. Lalu, apa kau ini ingin terus membicarakan semangat 45 mu itu,ti? Kita kapan berangkat sekolah? ""

""Hehehe.. Iyak. Ran. Ayo lah kau naik"".
Lalu, aku berangkat dengan siti naik sepeda tua miliknya.

Akan ku kenal kan siti teman ku yang selalu membicarakan semangat 45 itu. Naman lengkapnya siti madjenun. Aku tak tahu darimana dan siapa yang memberika nama itu pada nya. Bapaknya tak jauh beda dengan bapak ku. Hanya buruh tani.

Aku bersyukur masih bisa menikmati kekayaan alam negri ku. Walaupun cuma sedikit. Karena sebagian besar sudah dikelola pihak asing. Tentu sudah pasti bukan? Sebagi buruh tani, keluarga ku tergolong keluarga kalangan bawah.

""Hai, kau! Mengapa kau melamun seperti itu? Macam kau pikir pejabat saja"". Tegur siti.

Sahut ku ""Tidak begitu ti, aku hanya memikirkan bagaimana desa kita bisa maju"".

""Alah.. Kau. Cepatlah! Ini sudah sampai"" gerutu nya.

Klonteng,,,,klonteng,,,teng,,teng,,
""Masuk.. Masuk. Cepat! Cepat! "" Teriak salah seorang pak guru di SLTA karang ayu.
Semua siswa berlari ke kelas mereka masing-masing.

Tentang sekolah ku ini. Sekolah ku ini hanya sekolah untuk orang-orang seperti kami. Gedung sekolahnya saja didapat karena ada salah seorang jurangan mewaqaf kan bekas pabriknya untuk dibuat sekolah. Keadaannya cukup untuk tiga kelas. Dengan rombongan belajar pagi dan siang. Guru-gurunya pun guru yang disalurkan dari kota ke desa karang ayu. Satu kelas hanya terdiri dari 20 orang.

""Selamat pagi, anak-anak. Bapak akan mengajarkan tentang sistem ekonomi di Indonesia"" ujar pak daryo. Ia adalah guru ips disekolah ini.
Serentak semua siswa dikelas ku mengeluarkan buku dari tas masing-masing.

Lanjut pak daryo ""Iya. Anak-anak. Sebetulnya negeri kita ini amat kaya akan alam hayati maupun non hayati nya. Hanya saja penyalurannya yang kurang diperhatikan. Lihat pada halaman 13. Terlihat grafik ekonomi Indonesia dari tahun 1990 sampai 1999""

""Pak, bagaimana bisa makin maju teknologi justru makin terpuruk ekonomi bangsa kita?"" Tanya ku.

""Pertanyaan yang bagus rani. Harusnya memang iya apabila tingkat SDA maju, maka perekonomian kita maju juga. Lantas mengapa bisa terjadi kesengajaan ekonomi?
Karena sikap rakyat bangsa kita sendiri pun belum bijak mengenai sistem ekonomi. Mereka hanya berfikir bagaimana bisa makmur dengan sedikit usaha atau bahkan tanpa usaha"".

Seisi kelas ku menyimak dengan fokus. Kecuali anak satu itu. Dia tio. Dia anak mandor di desa ku. Di mata kami, mandor termasuk jabatan tinggi. Karena rata-rata di desa karang ayu mata pencaharian penduduknya adalah buruh tani.

""Halah.. Untuk apa menyimak ocehan guru itu? Aku anak mandor terkenal di desa ini. Mana mungkin aku mendapatkan nilai jelek, apalagi tidak naik kelas atau bahkan tidak lulus. Bapak aku bisa saja membeli atau membayar itu semua. Untuk apa bersusah payah. Jika semua sudah serba gampang"" itu pasti ucapnya ketika ia ditegur.

Bel pulang pun berbunyi.
""Ti, kau tak usah antar aku pulang. Aku ingin temui bapak aku dulu disawah"" ucapku dengan buru-buru

Siti menjawab, ""baiklah tak apa. Aku duluan ya..""

Matahari siang ini bersinar terik sekali. Seakan membakar dosa para pemakan uang rakyat itu.

""Macam mereka tidak tahu saja. Rakyat masih menderita, berteriak akan kesusahan memikirkan makan esok. Mereka malah enak saja tertawa di atas derita orang miskin"" celoteh ku menuju sawah.

Tiba-tiba ""tak boleh seperti itu. Syukuri ape yang Allah kasih. Tenggoklah orang yang masih ada dibawah mu"" bapak ku memotong celoteh ku.

""Pulang lah dulu, lalu kembali lah bawakan bapak makan siang"" suruh bapak.

""Baik"". Singkat kata ku.

Melewati jalan rusak, panas terik. Aku merasa berada di padang pasir. Tidak lama kemudian, aku melihat seseorang ditengah hari bolong mengendarai sepeda tua.
Si pengendara sepeda itu melihat ku, ya.. Tentu hanya melihat ku.

""Mana mungkin dia sudih untuk menegur ku? Dia adalah kak hasan. Pria tampan, kaya dan bapaknya itu jurangan yang punya hampir seluruh sawah di desa karang ayu"" bicara ku dalam hati.

Tidak lama. Aku sampai dirumah.
""Assalamualaikum.. Mak, aku pulang"" sapa ku. Aku langsung duduk di kursi depan rumah.

Emak datang, dan mengatakan "" agak lambat kau pulang. Kemana dulu kau?""

""Tadi aku habis dari sawah mak. Temui bapak. Mak.. Apa kak hasan itu sudah punya kekasih kah?"" Tanya ku yang aneh.

Emak dengan wajah binggung, ""Hasan? Hasan mana? Hasan anaknya pak toro itu?""

Emak duduk disamping ku dan berkata ""nak, andai kau punya angan, jangan lah terlalu tinggi. Mana mungkin nak hasan mau gadis macam engkau. Pasti hasan memilih gadis yang setara dengan nya""

Tak sepatah kata pun aku ucapkan. Hanya satu kalimat terfikir dikepala ku "" Andai di dunia ini pandangan kasta dan sara' tidak ada"".

Jangan Salahkan Kasta Dan Sara By Ana F

Aku bergegas ganti baju dan mengantar makan siang untuk bapak.

Sesampai nya aku disawah, aku melihat jurangan sawah itu pak toro sedang berbicara kepada mandornya. 

""Bagaimana hasil panen kita tahun ini?"" Sambil pak toro melihat sawahnya.
"" Agak menurun dari tahun kemarin, jurangan"". Sahut mandor samsul.
""Apa?"" Pak toro dengan nada tinggi.

Dengan gugup mandor samsul menjawab, "" anu.. Jurangan. Buruh - buruh itu tidak teliti dengan pekerjaannya. Sehingga banyak padi kita yang diserang hama"".
""Siapa yang menjaga padi-padi ini ?"" Seru pak toro.
""Si...."" Perkataannya tidak jelas. Tetapi, mereka melihat ke arah bapak.
""Pasti mereka berbicara yang tidak-tidak tentang bapak ku. Mereka hanya orang atas, yang tidak tahu susahnya jadi orang bawah"" batin ku meninggi.

Sesampainya aku di saung tengah sawah.
"" Pak, ini sudah ku bawakan makan siang"".
""Iya,terima kasih"" dengan senyum kecil dan keringat di wajahnya itu.
Begitu selesai bapak memakannya aku pun bergegas pulang. Ditengah perjalan aku bertemu siti. 

""Ran!! Rani....!!!"" Ku dengar suara keras itu dari arah belakang.
Begitu menoleh, dia teman ku siti.
""Ada apa?"". Tanya ku singkat.
""Kau ini, bersemangat lah sedikit. Biarpun hari ini panas sangat. Kau harus tetap semangat"". Serunya. 

Aku hanya mengganguk.
"" Kau lihat tak?"" Ucap siti sangat gembira.
"" Lihat apa?"" Kata ku dengan heran.
"" Itu hasan. Yang tampan, yang kaya, dan anak disukai banyak wanita""
""Itu kau dengar darimana?"" Sahut ku pelan.
Dengan lantang siti bicara, "" tak ku dengar dari siapa-siapa. Tapi itu kenyataan lah. Coba sebut siapa gadis yang tak ingin menjadi kekasihnya?""

Aku tak bicara apa-apa. Hanya yang diam mendengar siti cakap seperti itu.
""Engkau pun, nampak nya juga menaruh hati padanya, kan?"" Cetus siti secara tiba-tiba.

Aku pun membalas cetusnya,""Bicara apakah kau ini? Aku suka padanya? Tidak seharusnya aku suka padanya"".
""Mengapa?"" Tanya siti heran.

Sambil ku tundukkan kepala, ""aku tahu dan sadar betul, ti. Aku hanya anak dari buruh tani. Sedangkan dia adalah anak jurangan kaya. Bisa kah aku bersaing dengan gadis-gadis kaya yang sepadan dengan nya"".

Siti diam terheran-heran.
""Sudah lah, jangan bermimpi di siang bolong seperti ini"". Gurau ku kepada siti.
""Yalah.. Nah ini kau sudah sampai didepan rumah kau. Sana lah masuk. Bantu emak kau di dalam"" seru siti.

Dengan menggelengkan kepala, "" hah.. Kau ini bisa saja berbicara macam orang bijak"".

Emak sudah terlihat di depan pintu, dan berkata agak kencang "" Nak siti, tak mampir dulu kah kau?"" Ajaknya dengan senyum.
""Tak mak, aku mau langsung pulang"" jawab siti.
Suatu hari itu tiba. Dengan bangga dan gembira aku nantikan hari ini. Kini semangat hampir menyamai semangat 45 milik siti itu. Senyum lebar pun terlihat para orangtua.

""Hari ini, saya sebagai kepala sekolah di SLTA karang ayu mengucapkan turut bangga atas prestasi yang ditunjukkan putra-putri kami dalam tiga tahun ini. Saya ucapkan selamat kepada kalian semua. Mari kita sambut putri terbaik kita Rania assyifa"" semua orang yang hadir di acara itu memberi ku tepuk tangan.
Sambungnya, "" mungkin yang kita tahu selama ini hanya rani anak seorang buruh tani. Tetapi tanpa kita sadari, dia adalah anak yang prestasi"".
Satu arah yang lihat, bapak dan emak ku senyum haru ke arah ku. ""Mak.., pak.. Ini semua ku tujukan untuk kalian"". Lirih pelan hati ku.

Malam hari nya, aku sedang bercakap-cakap dengan emak ku. Aku sandarkan kepala di paha emak ku. ""Mak.. Aku ini sudah lulus. Aku ingin menjadi perempuan yang berhasil. Yang bisa membawa perubahan untuk orang-orang sekitar ku"".
""Lalu?"" Tanya emak sambil mengusap rambut ku.
""Aku ingin lanjutkan sekolah ke kota, mak"". Lanjut ku.

Emak hanya diam beberapa saat. Lalu ia berkata, ""nak, kita ini perempuan. Untuk apa sekolah tinggi sangat? Jikalau akhirnya kita ke dapur dan mengurus anak"".

Seketika bangun, ""harus kah semua perempuan seperti itu? Tidak bisa kah perempuan itu makmur dengan usaha nya sendiri. Tanpa ada campur tangan laki-laki di dalamnya"".
""Kelak kau akan mengerti semua ini nak..."" Dengan lembut emak kata macam itu.

Ketika sore itu bapak dan emak pulang dari sawah. Di jalan mereka bertemu ibu toro, istri jurangan kaya itu.
Menghampiri orang tua ku, ""mak, masih kan kau ingin anak kau itu lanjut kan sekolah ke kota seperti anakku, hasan?"" Tanya nya agak sombong.

Saling menatap, seperti kehabisan kata-kata. ""Tidak. Bu. Aku tahu seperti apa kondisi keluarga ku"". Jawab bapak ku.
""Baguslah kalau begitu"". Berbicara sambil berjalan meninggalkan emak dan bapak.

Sebegitu putus asa kah aku? Atau hanya binggung? Sehingga aku menulis kan surat yang ku gulung di botol kaca bekas. Ku tulis semua keluh kesah ku.

""Aku tahu apa yang aku ingin kan. Aku hanya ingin menjadi wanita yang berguna. Tidak hanya bergantung pada kaum pria. Apa salahnya jika aku ingin pendidikan yang tinggi? Aku tahu itu mustahil untuk anak buruh tani seperti ku"".
Tetapi aku tak ingin orang tahu bahwa aku yang menulis impian bodoh ini. Akhirnya aku tulis inisial nama ku. ""-R-"" pada akhir surat.

Ku gali tanah yang agak lembut dan aku tanam ke dalamnya. Mungkin ini tidak wajar. Atau mungkin kekanak-kanakan. Tapi entah lah aku hanya sedikit kesal.

Keesokan hari nya, aku kembali tempat aku tanam surat botol itu. Aku hanya mengira-ngira apakah ada orang yang membalas surat ku itu?
""Aku yang telah membaca dan membalas surat mu. Dengan keinginan itu, tidak ada yang salah. Tetapi, kadang kala keinginan tidak selalu berjalan lurus dengan nasib"".

Dengan inisial, "" H"" di akhir surat.

Beribu pertanyaan ku bayang kan. Siapa yang membalas surat konyol itu. Karena merasa penasaran, ku tulis kan lagi surat untuk balasan.
""Ternyata masih ada yang membalas surat ku yang konyol ini. Siapa kah kau? ""
Hanya itu yang ku tulis.

Setiap hari, dikala petang selalu aku sempatkan melihat surat itu. Berhari-hari ku tunggu surat balasan tapi tidak ada balasan.

Sampai-sampai emak menergu ku di rumah, ""nak, apa yang kau lakukan ditanah lapang itu?""
""Tidak ku lakukan apa-apa. Aku hanya ingin melihat indahnya desa di kala petang"". Ujar ku.
Aku sudah tidak berharap lagi ada balasan tentang surat itu. Tetapi hati kecil ku masih ada rasa penasaran. Lalu, aku pun pergi ke tanah lapang itu lagi.
""Maaf, aku terlalu lama membalas surat mu. Aku berasal dari desa ini juga. Bila kau penasaran siapa aku, temui aku besok malam ditempat ini sehabis sembahyang maghrib"".

Tanpa fikir panjang lagi malam hari keesokannya. Aku bersiap-siap menemui si pembalas surat ku. Baru kali ini, aku memakai lipstick. Ku pakai tipis saja.

Setiba nya disana. Dan ku lihat pria memakai baju biru muda dan celana jeans abu-abu. Aku hanya melihatnya dari belakang.

Ketika ia memutar tubuhnya. Ternyata dia... Dia.. Hasan!!!
Seketika aku diam. Tak ku sangka dia yang selama ini membalas surat ku. Yang ku ia adalah anak jurangan kaya, pria yang tampan, dan tentunya sombong.
""Kau kah yang menulis surat itu?"" Tanya hasan.
""Iya"". Singkat yang keluar dari mulut ku. Aku berjalan mendekatinya dengan lugu.

Ia hanya tersenyum.

Aku merasa... Melihat senyumannya jantung berdebar kencang. Serasa tangan dan kaki ku gemetar.
""Tidak salah kan aku ini?"" Tanya ku dengan heran.
""Maksud mu?"" Jawabnya.

Bicara agak gemetar, ""Ma.. Maksud ku, benar kah kau yang mengirim balasan surat ku? Kau kah orang nya?""
""Iya benar. Aku yang berinisial ""H"" dalam surat balasan itu"".

Baru kali pertama aku merasakan seperti ini. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Berjalan pulang pun tubuh masih gemetar. Senyum kecil itu pun tidak hilang dari wajah ku.
""Hai, kau mengapa gemetar seperti itu? Macam sehabis memacul seharian saja"". Itu sambutan bapak saat aku sampai dirumah.
""Tunggu dulu.. Ada yang berbeda dari putri kita ini, pak. Lihat lah. Baru kali ini dia pergi malam hari sendirian. Riasan nya juga agak beda, bukan?"" Emak ku menambahkannya.
""Candaan macam apa ini pak, mak. Tadi aku hanya menemui teman ku"".

Sambil menghidang kopi hitam kesukaan bapak yang tengah duduk di kursi bambu itu, ibu masih mengajukan pertanyaan lagi. "" Apa kau baru saja menemui kekasih mu?"" 
""Tidak..."" Seraya duduk disamping bapak.
""Oiya nak, besok kau datang lah ke pesta nya siti"". Saran emak.
""Pesta apa? Ulang tahun? Tumben kali dia merayakannya"". Ujarku.
""Tidak. Pesta pernikahan dia lah"". Sahut emak pelan.
Terkejutnya aku, ""Apa? Siti itu akan menikah, mak?""
Menanggapi santai, ""iyalah. Apalagi yang ditunggu. Sekolah pun sudah lulus. Untuk apa menunggu lama lagi"".
""Tetapi kan seharusnya siti yang punya semangat 45 itu masih bisa jika meneruskan pendidikan. Yaa.. Setidaknya ikutlah pemberdayaan"". Seru ku.

Jika aku berbicara tentang pendidikan emak pasti menggelengkan kepalanya, ""Rani, tak semua seperti pemikiran mu. Lagipula, kita hanya kalangan bawah"".
""Sudahlah. Sembahyang dulu. Baru makan dan istirahat"" lanjut emak ku.

Keesokan harinya di pesta pernikahan siti. Semua orang nampak gembira. Tak terkecuali siti. Mempelai wanita nya.

Datang menghampiri serta memberi ucapan selamat,"" kau datang juga, ya? Kapan kau akan menyusul ku?"" Canda siti.
""Kau ini gurau apa? Aku belum ingin menikah lah. Aku ingin..."" Belum selesai berbicara siti sudah memotong.
""Aku tahu lah tentang pemikiran mu"" ucapnya.

Lalu, berganti bersalam-salaman dengan mempelai. Saat ingin mengambil minuman, tak sengaja gelas yang ingin ku ambil juga ingin di ambil orang lain.
""Maaf, maaf. Ambil saja minum ini"" ku dengar suara itu lagi.
""Tak apa. Kau dulu saja. Aku bisa ambil yang lain""
""Tidak. Wanita terlebih dahulu"".
Belum sempat aku menjawabnya, ""kau tak ingin kah mengikuti kawan mu itu? Untuk menikah..""
""Tidak. Aku masih ingin melanjutkan cita-cita ku"" kata ku

Seraya aku berbincang dengan hasan. Ibu toro, istri jurangan sekaligus emaknya hasan itu memandangi aku. Aku tak enak hati dilihatnya.

Pesta pun selesai. Hendak aku pulang, emaknya hasan menghampiri ku. Ia berkata,"" ada hubungan apa kau dengan hasan anak ku? Jangan bermimpi lah kau. Bisa bersanding dengan anak ku. Lihat lah siapa bapak kau!"" Seru nya.
""Aku tidak ada niat untuk memikirkannya"" jawabku.
Mendongakkan wajahnya dan lekas meninggalkan ku.

Setelah hari itu, aku sadar akan derajat keluarga ku. Aku ingin merubah segala pandangan negatif tentang kalangan bawah.

Suatu hari di rumah pemberdayaan hasil tani dan kebun desa.
""Ini bisa kau taruh di tempat hijau itu!"" seru emak kepala di rumah itu.
""Mak, apa yang bisa dibuat dari hasil kebun itu? Ada singkong, labu, pepaya, dan ubi"". Tanya salah seorang pekerja nya.
""Nah, rani sudah datang. Tanya kan pada nya ingin di apakan hasil kebun itu"" seru mak kepala itu.

Ku periksa hasil kebun itu, ""untuk singkong bisa dibuat tiwul, kripik, timus. Kita buat lah produk yang bisa bertahan lama. Agar kita bisa menjualnya ke kota"" saran ku.

Sudah enam bulan ku habis waktu ku di rumah perberdayaan itu. Tak ku dengar lagi kabar hasan. Entah lah apa yang terjadi.

Tok,,, tok,,, tok,,,,,
""Assalamualaikum. Pak"" ku dengar suara dari luar.
""Waalaikum salam"" jawaban dari dalam rumah.

Aku tak tahu siapa tamu ini. mereka hanya orangtua yang sedang bercakap-cakap dengan bapak dan emak.
""Rani, keluar lah. Tak baik ada tamu kau malah diam diri saja"" ajakkan emak.
""Baiklah"".
""Nak, kenal ini bapak dan emaknya danar"".
Ku salami keduanya, lalu "" Danar?"" Tanya ku.
""Iya, nak. Danar itu calon suami mu. Bapak sudah menjodohkan mu dengan nya"". 

Kata-kata itu seperti menghancurkan impian ku untuk memajukan kaum perempuan.
Setelah ku timbang dan ku fikir-fikir jika aku hanya berdiam diri di desa tidak akan terlalu banyak perubahan.

Menoleh ke arah celengan ayam ku, "" Kali ini apa boleh buat. Aku harus memecahkan mu"".

Prak!!!!
Tabungan yang ku simpan lebih kurang 2 tahun itu sekejap saja sudah ku hancurkan. Secepat mungkin ku rapih kan uang-uang itu. ""Jumlah tak seberapa, mungkin hanya cukup untuk biaya keberangkatan dan beberapa bulan disana"". Ujar ku

Kukku ruyuk....kukku ruyukkk
Allah hu akbar.. Allah hu laillah haillaulah..
Azan subuh sudah berkumandang. Emak sedang sibuk dengan masakannya. Lalu, aku menghampirinya, ""Mak, setelah ku pikir-pikir boleh aku ke kota?"" Tanya ku pelan
Membalikkan tubuh, dengan wajah binggung ""ke kota? Untuk apa?""
""Untuk dapat memajukan kaum wanita lah, mak.."" Sambil berjalan ke arah jendela.
Mengecil api dan berjalan mendekati ku,"" yakin kah kau dengan keputusan mu?""Kata emak.
""Iya. Mak. Sejak kapa aku ragu akan cita-cita ku sendiri?"" Sahut ku.


Hanya senyum kecil yang terlihat diwajah emak. ""Baiklah. Tanya kan pada bapak mu. Minta lah izin dan doa pada nya!"" Seru emak.
""Iya. Mak!"" Begitu semangatnya aku menghampiri bapak.

Mungkin bapak berfikir heran, ""kenapa kau nampak senang hati seperti itu?"" Tanya nya

Duduk di sebelah kiri bapak yang sedang meminum teh,""Pak, aku ingin menggapain cita-cita ku. Aku ingin pergi ke kota. Aku ingin menjadi perempuan yang berguna bagi orang banyak"".
""Iya kah? Itu cita-cita mu? Jikalau begitu mana bisa aku menghalangi mu"". Jawabnya begitu singkat.
""Maksud bapak?"" Mendengar perkataan nta yang kurang jelas aku ajukan pertanyaan
""Maksud ku, aku mengizinkan mu untuk pergi ke kota. Aku doa kan kau mendapatkan apa yang ingin kau dapatkan..""

Mendengar cakap bapak barusan, hati ku menjadi amat senang. Apa yang ku impikan selama ini akan terwujud.

Hari itu pun aku berangkat menuju pelabuhan. Karena di desa ku tak ada kereta atau bus. Daerah tempat tinggal ku rata-rata lautan.

Emak dan bapak mengantar ku ke sana.
""Nak, jaga diri mu baik-baik ya? Jangan lupa sembahyang. Jangan lupa makan dan istirahat ya"". 

Begitu lah emak ku jika hendak aku pergi.
""Mak.. Aku ini tak ingin pergi berperang macam tahun Jepang. Aku ini ingin pergi ke kota. Jangan khawatir mak. Nanti setiap minggu akan ku kirim surat untuk emak"". Aku menenangkan pikiran emak yang mungkin saat itu sedang kacau.

Lalu aku melanjutkan salam perpisahan ku, ""pak, doakan aku ya. Aku ingin merubah pandangan tentang hakekat sara' dan kasta itu. Jaga emak, ya!"" Seru ku.

""Nak,,, tanpa kau suruh pun aku jaga emak kau. Hati-hati lah disana"".

Sedang asyik berbincang-bincang tiba-tiba,""Rani!!! Rani!!! Tunggu aku!!!"" Suara itu terdengar samar-samar karena terhalang oleh suara kapal.
""Bukan kah itu hasan?"" Tanya emak.
""Iyalah, mak itu hasan. ayo mak ini sudah urusan anak muda"" canda bapak.

Aku mencium kedua tangan orangtua ku. Aku ingin ini doa mereka bisa menjadikan ku teguh dan sabar di kota nanti.

Sembari berlari pelan ,""sudah ingin berangkat kah?"" Tanya hasan.
""Iya. Kapal sudah ingin laju"". Sahutku
""Rani, jangan lupa ya jaga diri mu baik-baik. Dan kabari aku melalu surat setiap minggu ya.."" Pinta nya.
""Baiklah..."" Aku iya kan permintaannya itu.

Perlahan aku tinggal kan mereka. Perlahan aku melangkah menuju kapal. Sesampainya di dek kapal, aku melihat mereka melambaikan tangannya pada ku.

Dretttt,,, drettttt
Suara kapal pun sudah berbunyi, itu tandanya kapal akan berangkat. Dari atas kapal ku bals lambaian tangan mereka. Ku lampirkan senyum kecil kepada mereka pula."

Tentang Penuli:
Saya wanita yang sederhana. Tetapi kesederhanaan itu yang membuat saya berusaha menjadi istimewa.

Cerita Terkait

Jangan Salahkan Kasta Dan Sara By Ana F
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE