Gadis Penenun Kain dari Minang Yang Mulai Punah

Ads:
Penulis: Khaelani

Nama saya Didila Sari, dari kecil saya tumbuh yang terkenal dengan kerajinan tren minangkabau atau biasa disebut kain songket. Kebetulan saya dilahirkan di keluarga pengrajin songket turun temurun. Sambil membantu ibu saya menjual songket, untuk di jual di toko-toko Daerah Padang.

Keuntungan yang terbayang tidak sesuai dengan kenyataan apalagi dengan melihat saya yang masih muda jarang orang yang mau langsung percaya, selain itu harga songket yang mahal juga menjadi kendala untuk saya berjualan.

Namun saya menemukan cara penjualan yang efektif dengan mahalnya harga songket yang saya jual, saya membuat sistem pembayaran kredit dan bekerjasama dengan koprasi karyawan jadi jika ada yang mau membeli songket saya, bisa langsung membeli lewat koprasi.

Dan akhirnya, nama saya mulai terdengar sebagai penjual songket, dan banyak pembeli yang mau menjadi pelanggan tetap songket saya. Setelah lulus kuliah pun pekerjaan sebagai penjual songket masih saya lakukan karena kecintaan saya kepada kain tidak pernah hilang.

Namun di tengah perjalanan bisnis saya, ternyata pengrajin songket sudah mulai jarang saya temui. Perempuan penenun songket sudah jarang mewarisi kepada anaknya terutama wanita, atau bahkan wanita jaman sekarang yang semakin sedikit peminatnya untuk menenun songket hingga akhirnya tidak adanya penerus dan mengakibatkan kepunahan yang harusnya jangan terjadi.

“Bu, pemasukan dila dari bisnis menjual kain songket mulai tidak setabil, para penenun songket di desa kita sudah mulai berkurang karena mereka sudah tua” Kata saya kepada ibu di ruang tenun ibu.
“Mungkin ada hal lain yang lebih penting dari persoalan untung rugi dila” Jawab ibu
“Maksud ibu?”
“Seharusnya bisnis kamu, sudah harus memikirkan kehidupan orang banyak nak, tidak hanya kamu seorang”

Ucapan ibu memang benar, seharusnya sebagai orang Minang saya tidak hanya memandang songket sebagai peluang bisnis, lebih dari itu mestinya saya bisa melestarikannya juga.

Berkat dari pemikiran dan saran ibu, akhirnya saya memberanikan diri sebagai wanita muda yang peduli akan kebudayaan dan saya mendirikan rumah tenun sendiri untuk kesetabilan bisnis saya dan bukan sekedar itu, saya mampu menggembrak para wanita muda untuk ikut serta melestarikan tenun songket khas minang. Saya mengajak dan membina para wanita muda untuk menenun di rumah tenun milik saya dan milik orang minang tentunya.

Satu tahun kemudian saya melakukan pembaharuan lagi dengan mengusung konsep wisata budaya. di rumah tenun saya, pembeli tidak hanya sekedar membeli songket tetapi juga mereka bisa melihat langsung proses pembuatan songket dan hasilnya tidak mengecewakan sehingga usaha saya semakin berkembang dan membuka jaringan yang luas, akhirnya saya bisa memasarkan songket bukan hanya kepada masyarakat minang tetapi ke seluruh Indonesia.
Gadis Penenun Kain dari Minang Yang Mulai Punah

Cerita Terkait

Gadis Penenun Kain dari Minang Yang Mulai Punah
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE