Mahasiswa, Bukan Mahasiwa

Ads:
Mahasiswa, Bukan Mahasiwa
Penulis: Khaelani

Masa kuliah adalah masa dimana kita bebas beridealis, bebas mengutarakan aspirasi kita. Banyak mengkritisi masalah keadaan realitas. Dan tentunya masa dimana kita menentukan pilihan hidup untuk masa depan.

Namaku Rendi, aku mahsiswa semester akhir, seorang orator di salah satu organisasi kemahasiswaan. Aku terkenal dengan keritikan “Kami hanya butuh fakta bukan kata”. Dilikungan kampusku banyak sekali problematika internal kampus. Salah satunya melibatkan kubu bendera di dalam kelembagaan kampus, yaitu dimana suara terbanyak dimiliki suatu bendera organisasi maka struktur kelembagaannya pun lebih banyak terisi oleh kubu bendera yang terbanyak itu.

Aku penat dengan keadaan kampus yang seperti itu, seharusnya kampus bukanlah tempat untuk kampanye politik, yang memakan banyak korban dan memanfaatkan mahasiswa yang tak bersalah. Padahal kehadiraan mahasiswa ke kampus hanyalah studi semata tapi malah di kambing hitamkan oleh para pelaku organisatoris yang banyak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kemenangan suara benderanya.

Suatu hari aku diajak Maman untuk berdiskusi di lingkar himpunan mahassiswa se-kampus. Dengan tema “Adat istiadat dalam menegakan kearifan berorganisasi.”

“Man kenapa sih kamu ajak saya menghadiri diskusi ini?, dari temanya saja aku tak tertarik tapi kamu memaksa” kataku, “Sudahlah, ikuti dan liat saja dulu kemana alur pembahasannya” Jawab Manan.

Tiga puluh menit setelah acara ceremonial pembukaan, barulah diskusi di mulai dengan di moderatori oleh salah satu anggota senat mahasiswa. Dan di mulai dengan pembahsan apa itu adat istiadat, “Menurut salah satu anggota dari himpunan “Adat istiadat ialah suatu cara bagaimana bersosialisasi dan berinteraksi manusia dengan manusia yang lainnya, karena hakekat manusia sesungguhnya adalah mahluk sosial. Mereka saling bergantung dengan yang lainnya.....”.

Blaa.. Bla.. Blaa... hampir semua anggota yang hadir dalam diskusi memaparkan argumentnya, bahkan sampai berujung perdebatan dan malah menyinggung-nyinggung aib salah satu bendera organisasi saingan mereka namun tak satu orang pun yang mengomentari tepat pada temanya, “Tuh kan man, ngapain coba saya hadir. Semuanya omong kosong... dari tadi apa coba yang mereka bicarakan sebenarnya” kataku, “Sok atuh kalau kamu punya pendapat argumenkan segera, jangan hanya pandai menggurutu di belakang saja. Saya ngajak kamu supaya mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi di kampus kita” Jawab Manan.

“Apa katamu saja man, yang jelas saya sudah penat, saya mending keluar saja dari sini” Gaumku. “Mau kemana kamu ren?” Tanya maman, “Saya mau melanjutkan menulis artikel saja” Jawabku, “Iya sudah, saya disini saja mengikuti diskusi samapi akhir, soalnya penasaran akhir kesimpulannya seperti apa” Kata maman.

Setibanya akui di sekretariat UKM redaksi mahasiswa, langsungku menyalakan komputer untuk melanjutkan tulisannya tentang kritikan terhadap kampusnya untuk di terbitkan di edisi minggu depan.

“Bang tadi di sekre ada yang nanyai lu?” Kata Santi temen sekrenya
“Siapa? mau perlu apa dia?” Tanyaku
“Gak tahu bang gue gak kenal orangnya, dia perempuan dan cuman nitipin ini” Kata Rere sambil menunjukan sepucuk surat.

Kemudian ku membuka suratnya yang berisi tentang kekecewaan terhadapku karena ia patah hati dan ingin mengakhiri hubungannya. Kenapa? Siapakah ia?
Ternyata ia adalah kekasihku yang sudah lama berhubungan selama 3 Bulan lebih.

“Aku tak mengerti kenapa setiap perempuan seperti itu?” Kataku, “Kenapa bang? putus Cinta lagi tah?” tanya Santi, “Biasa” Jawabku. “Hahaa.... lu ini aneh bang, sekian lama menjalin Cinta unjung-ujungnya putus juga” Celoteh Santi. “Lu tahu lah San karena lu teman dekat gua selama ini” Kataku. “Mau sampai kapan lu bang putus nyari putus nyari perempuan lagi, pasti setiap putus lu jadi gak karuan” Kata Santi, “Nyari yang cocok lah? wajarkan kalau Cinta itu berakhir karena mungkin kurang cocok” Kataku. “Lu bukan nyari yang cocok, karena lu cuman niat ga niat nyari perempuan. Kasihan tu perempuan yang jadi pacar organisatoris seperti lu bang. Gue perhatiin, waktu lu yang seharusnya sama pacar lu malah di habiskan waktu lu dengan berorasi ala organisatoris, ya gue kalo jadi cewe lu pasti kesel lah bang” Kata Santi.

Tak habis fikir Santi berpikiran seperti itu, selama ini ia tak pernah berkomentar kalo aku sedang putus dan selalu mendukungku dan menguatkanku tapi kali ini ia beda.

Perasaanku terus mengaum seperti ini kala patah hati, padahal sering aku berjumpa dengan perasaan ini tapi kenapa masih saja sakit. Sempai terbawa gak konsen ketika aku harus nulis artikel.

Seminggu kemudian,
“Ran mana artikel lu hari ini mau di cetak dan di terbitkan? Tanya salah satu tim redaksi, “Aduhh, minggu ini kayanya artikelku gak bisa terbit soalnya belum rampung tulisannya” Jawabku, “Yahh... kenapa lu seperti ini? lu patah hati lagi?” Katanya, “Iya bro” Jawabku, “Gini deh saran gue, kejadian ini jadi pelajaran deh buat lu, gak usah lagi berhubungan sama cewe. Lu harusnya mikir, ke kampus lu niatnya apa? bukan nyari cewe kan tapi studi dan berkarya, itu kan yang pertama kali lu sering bilang. Lagian lu dah semester akhir Ran, lu harus segera Wisuda,  kapan lu Wisuda?” Katanya,

Tersontak kaget aku mendengan pertanyaan itu, diam tak berkata! Dan mulai memetik hikmah atas kejadian ini, bahwa sehebat apapun lelaki kalau ia patah hati pasti segalanya akan berdampak buruk. Bahwa sadar pula, kampus bukanlah untuk aksi politik tapi tempat dimana menimba ilmu, guna mengabdi kepada masyarakat dan negara kelak setelah sarjana. Bukan malah terlena dengan aktifitas di luar kampus yang mengekang mahasiswa dan memilih harus meninggalkan jam kuliah.

Setelah kejadian itu terakhir kalinya aku putus Cinta dengan perempuan, aku tak mau lagi berhubungan dengannya, aku ingin konsentrasi pada kuliahku dan hobi menulisku namun ada yang berbeda dengan isi artikelku kali ini, yang dulu sering mengkritisi kampus, kali ini aku menulis motivasi untuk mahasiswa sepertiku. Semoga dengan artikel baruku ini menggugah dan menyadarkan semua mahasiswa organisatoris agar lebih memprioritaskan kegiatan kuliahnya daripada kegiatan diluar kuliahnya. Ku tulis judul artikel yang pertama yaitu “Hakikat Mahasiswa”, Isinya tentang cara pandang mahasiswa yang seharusnya lebih memprioritas kan dan mengembangkan prestasi keilmuannya di bangku kuliah dan segera lulus kuliah tepat pada waktunya dan di waktu yang tepat.

Dan akhirnya aku membuktikan setelah tahu hakikatnya sebagai mahasiswa, aku lulus tepat 8 semester sebagai sarjana sastra bahasa di salah satu universitas di ibu kota. Setelah lulus aku di terima kerja di salah satu perusahan penerbitan media cetak terbesar di Negara sampai saat ini.

THE AND

Demikian cerita pendek Mahasiswa, Bukan Mahasiwa. Semoga dalam ceritanya memberikan pelajaran yang baik untuk kita dan tulisan ini kami persembahkan untuk sahabat dejavu, selengkapnya baca kumpulan cerita pendek.

Cerita Terkait

Mahasiswa, Bukan Mahasiwa
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE