Mata Air dan Air Mata By Akhmad Gufron Wahid

Ads:
MATA AIR DAN AIR MATA 
Penulis : Akhmad Gufron Wahid

Suara tangis perempuan belia terdengar meringik-ringik diseberang telepon. Diseberang lain, seorang lelaki berperawakan kurus mayus mencoba menenangkan suasana.
“Dik, ndak usah nangis gitu toh, paling-paling mas cuma dua hari perginya, itupun demi kebaikan kita, ya toh?”
Suasana mulai meredup, namun ringikan perempuan belia itu masih terdengar merayap-rayap.
“Ya adik ngerti, mas, tapi adik takut terjadi apa-apa sama mas.”
“Perbanyak do’a kepada Allah agar semua yang adik takutkan tidak akan pernah terjadi sama mas.” Sahut lelaki itu.
“Adik ikut saja ya?” lanjut perempuan itu.
“Mana bisa, dik. Kita akan dihukumi haram kalau jalan berdua. Meskipun mas sudah mengkhitbah adik, namun adik belum halal untuk mas.”
“Ya sudah, adik akan do’akan supaya mas kembali dengan selamat. Adik akan merindukan mas.” Perempuan itu kembali menitikkan air mata.
“Amin. Mas juga akan merindukan adik. Selama kepergian mas, mas harap adik akan baik-baik saja. Mas juga berharap adik masih menjaga hati adik untuk mas sampai mas pulang nanti.” Suara lelaki itu sedikit demi sedikit mulai parau. Suasana kemudian mulai terasa diselimuti oleh cinta.
“Ya, adik akan selalu menjaga hati ini untuk mas.”

Perbincangan kemudian terputus. Lelaki itu kemudian memejamkan mata, ia bermunajat kepada Allah semoga apa yang akan dilakukannya ini tidak menemukan halang rintang.
“Tole, kamu jadi berangkat besok?”
Suara ibunya memaksa pejaman matanya terbuka perlahan-lahan. Ia lalu bergegas menuju sumber suara. Ternyata ibunya di dapur, tengah mempersiapkan makan malam.
“Iya, bu.” Jawabnya singkat.
“Sudah kau beritahu tunanganmu?”
“Sudah, barusan saya telepon.”
“Ya sudah. Ibu Cuma bisa memberimu bekal makanan, paling tidak cukup untuk dua hari.”

Lelaki itu lalu menjulurkan uang 100.000 ke tangan ibunya.
“Paling tidak ini buat belanja selama saya tidak ada disini, bu.” Suaranya melirih.
“Lho, yo’opo toh, le? Harusnya ibu yang ngasih sangu sama kamu. Kok malah kebalik toh?”
Lelaki itu tersenyum kecil, ia lalu memeluk ibunya.
“Restu dan do’a dari ibu sudah cukup untuk saya, bu.”
“Le, le. Kamu itu seperti almarhum bapakmu, le. Ibu bangga padamu. Iya, pasti ibu do’akan semoga kamu selamat sampai pulang.”
“Terima kasih, bu.” Lelaki itu kemudian melepaskan pelukannya.

*****

Pagi itu ia mulai bersiap-siap. Pakaian ganti yang dikira cukup untuk dua hari ia jejal-jejalkan di tas ranselnya. Nasi bungkus buatan ibunya juga ia masukkan ke dalam tasnya. Kalimat Basmalah ia baca berulang-ulang.

Lelaki itu lalu mencium tangan ibunya, lalu meminta restunya untuk kesekian kali. Bola matanya berkaca-kaca. Sebelumnya, ia tak pernah meninggalkan ibunya seperti saat ini. Namun, demi rencana yang menari-nari di pelupuk otaknya, ia harus rela mengorbankan jiwanya berpisah dengan orang yang teramat ia cintai itu.

Beberapa menit kemudian, kalimat Salam memisahkan mereka.
Terminal Minak Koncar hari itu sepi senyap. Hanya dua sampai empat bus saja yang terparkir. Lelaki itu mulai menunggu di kursi bus yang dikaca bus tersebut tertulis daerah yang akan dilaluinya: Lumajang – Surabaya.
Tak lama kemudian seorang lelaki tinggi berusia sekitar 35 tahun mendekat padanya.
“Boleh saya duduk disamping anda?” tanya lelaki tinggi itu.
“Silakan, dengan senang hati.”
“Terima kasih. Perkenalkan nama saya Wikana. Wikana Darwis.” Lanjut lelaki tinggi itu dengan menawarkan tangannya.
“Salam kenal, Wikana. Nama saya Latif, Muhammad Latiful Khobir. Kalau boleh menebak, anda pasti dari Bali.”
“Ya, saya pikir anda bisa menebaknya karena nama saya, ya ‘kan?”
“Kurang lebih begitu.” Jawab Latif dengan sedikit senyum.
“Sebenarnya tempat lahir saya di Surabaya. Nama Wikana adalah pemberian dari ayah saya, beliau asli Bali.” Tutur Wikana.
“Lalu nama Darwis?”
“Nama Darwis sendiri pemberian dari keluarga besar ibu saya di Surabaya.” Lanjut Wikana.
“Maaf, tapi bukan hak saya bertanya tentang keyakinan anda.”

Wikana tersenyum kecil. Ia paham maksud pernyataan dari Latif.
“Sejak berumur 10 tahun saya mulai dikenalkan dengan keyakinan hindu oleh ayah saya. Saya mulai mengenal, menjalani bahkan mencintai adat hindu di Bali. Namun setelah kematian ayah saya, semuanya seakan berganti, saya merasa kehilangan pembimbing. Keyakinan saya terhadap hindu mulai goyah. Sejak saat itulah, saya mengikuti keyakinan ibu saya. Saya menjadi muallaf ketika umur saya menginjak lima belas tahun.” 
“Subhanallah. Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan rahmat-Nya terhadap anda, Wikana.”
“Amin. Terima kasih, Latif.”
Tepat jam 8 pagi, bus yang mereka tunggangi mulai memutar empat rodanya. Kecepatannya lalu menembus jalan aspal Wonorejo – Probolinggo. Mereka lalu memandangi keindahan Gunung Lamongan dari sebelah kanan mereka.
“Anda hendak kemana?” tanya Wikana.
“Tujuan pertama saya ke pasarean Kyai Hamid di Pasuruan, lalu ke makam Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri dan Sunan Gresik di Gresik. Kalau mungkin ada waktu insya Allah yang terakhir ke Sunan Bonang yang ada di Tuban dan Rembang.” Jawab Latif panjang lebar.

Wikana lalu terdiam dengan menundukkan kepalanya. Latif melihatnya dengan seksama.
“Kalau anda hendak kemana?” Latif balik bertanya.
“Saya sudah lama mendengar nama Wali Songo di telinga saya. Namun seumur hidup, saya masih belum sekalipun berziarah ke makam mereka. Saya ingin sekali, namun pekerjaan selalu merampas waktu saya. Mungkin untuk kali ini adalah waktu yang tepat.”
Wikana lalu memandangi Latif yang masih terheran-heran.
“Bersediakah anda mengenalkan mereka kepada saya lebih dekat, Latif? Bersediakah anda mengijinkan saya untuk ikut bersama anda kali ini?”
Latif lalu tersenyum, ia seperti baru mendapatkan rejeki yang amat banyak. Ia akan senang karena ziarahnya kali ini akan ditemani oleh seorang disampingnya.
“Subhanallah. Dengan senang hati. Saya bersedia, Wikana.”
“Terima kasih, Latif. Semoga Allah membalas kebaikanmu.”

*****

Siang itu alun-alun kota Pasuruan dilumuri panas matahari yang begitu membakar. Namun seorang bapak-bapak tua dengan gigih terus memacu pedal becak yang ditumpangi Latif dan Wikana. Tepat didepan alun-alun, kegagahan masjid Baiturrohman terlihat menyempurnakan keasrian kota Santri itu. Dibelakang masjid itulah makam Kyai Abdul Hamid bin Abdullah berada.
Disepanjang gang kecil menuju makam, tak henti-hentinya Wikana melontarkan banyak pertanyaan kepada Latif. Namun Latif menjawabnya dengan tenang. “Nanti setelah do’a, saya ceritakan semuanya.”.
Selepas membaca Surat Yasin dan tahlil bersama, Latif lalu bergegas menuju gentong berisi air berukuran sedang. Ia lalu menyelupkan gelas plastik kedalam air lalu memasukkannya kedalam botol air mineral berukuran besar yang sudah ia siapkan sebelum ia berangkat. Wikana mengikuti gerak-gerik Latif dengan semangatnya.

Diatas becak ketika kembali ke bus, Latif mulai berhikayat tentang Kyai Hamid. Bahwa beliau bukan termasuk dari ke sembilan wali yang di sebut sebagai Wali Songo. Namun beliau adalah ulama’ yang sangat berperan khusus melahirkan ulama’-ulama’ yang di kemudian hari menjadi panutan di kalangan masyarakat. Wikana mengangguk pelan, mukanya terang.

Gemuruh dhuhur menggema ketika mereka menginjakkan kaki di Ampel Gading, gerbang masuk menuju pasarean Sunan Ampel. Latif lalu menuju masjid Agung Ampel.
“Kita sholat dhuhur dulu, Wik. Lagian, sepuluh menit sebelum dan sesudah adzan, untuk sementara waktu makam akan ditutup, artinya para pengunjung dilarang masuk di waktu-waktu itu.” Jelas Latif pada Wikana.
Wikana mengangguk takzim. Ia terlihat seperti seorang santri yang siap mengabulkan segala permintaan gurunya.
Sambil memejamkan kedua matanya, Wikana terlihat seakan sangat khusyu’ ketika memakmumi do’a dari Latif di hadapan makam Sunan Ampel. Sepertinya ada permintaan rahasia yang ia pinta terhadap Allah.
Setelah makam Sunan Ampel, Latif lalu mengajak Wikana kemakam lain yang hampir tak begitu jauh dengan makam Sunan Ampel.
“Nama asli Sunan Ampel itu Raden Rahmat Hidayatullah. Dari ratusan santri beliau, ada dua santri yang kisahnya mampu menggetarkan hati.” Kalimat Latif tadi membuat dahi Wikana menekuk.
“Siapa, Tif?” tanya Wikana terheran-heran.
Latif tak langsung menjawab. Ia malah masuk ke area makam yang agak sempit. Tak jauh beda dengan sebelumnya ketika di depan makam Sunan Ampel, ia lalu bermunajat kepada Allah. Lagi-lagi, Wikana terdiam saja, lalu mengikutinya.
Selepas dari makam tersebut, Latif lalu menjawab pertanyaan Wikana yang sempat menggantung.
“Beliau yang pertama adalah Mbah Bolong. Makamnya tadi yang kita datangi.”
“Mbah Bolong?”
“Ya, Mbah Bolong. Beliaulah yang membuat pengimaman Masjid Agung Ampel mengarah tepat kehadapan Ka’bah di Mekkah sana.”

Wikana masih bingung tak berdaya. Latif melanjutkan ceritanya.
“Pada awalnya orang-orang meragukan Mbah Bolong ketika beliau diperintah Sunan Ampel untuk mengarahkan pengimaman tepat ke arah Baitullah al Haram. Namun keraguan itu sirna ketika Mbah Bolong memperlihatkan keanehan yang tidak mampu diterka akal manusia. Tepat di depan pengimaman, Mbah Bolong sengaja membuat bolongan, dan dari dalam bolongan tersebut terlihat jelas Ka’bah seperti yang sering kita lihat di televisi. Mulai saat itulah, orang-orang percaya terhadap karomah yang dimiliki Mbah Bolong. Karena itu beliau dipanggil Mbah Bolong.”

Mata Air dan Air Mata By Akhmad Gufron Wahid
Wikana terperangah mendengar penjelasan Latif.
“Lalu santri yang kedua?” tanyanya tergesa-gesa.
Latif kembali tidak langsung menjawab. Namun Wikana kembali terperangah ketika Latif menuntunnya ke makam yang lain. Makam tersebut berjumlah 9. Disepanjang makam ditumbuhi akar nan hijau.
Ketika bermunajat, pikiran Wikana tak sepenuhnya menyatu dengan Allah. Pikirannya masih ditumbuhi pertanyaan demi pertanyaan tentang makam dihadapannya.
Suara Latif kemudian membuyarkan pikiran Wikana yang rupanya masih termenung.
“Beliau makam Mbah Sholeh, santri kedua.”
Wikana kembali mengerutkan dahi.
“Yang sebelah mana?” tanyanya.
“Semuanya.” Jawab Latif dengan yakin.
“Semuanya?” kembali Wikana melontarkan pertanyaan yang mewakili pikirannya bahwa pikirannya saat itu benar-benar dikuasai kebingungan.
“Semasa hidupnya, Mbah Sholeh adalah juru sapu di Masjid Agung Ampel. Lingkungan masjid begitu bersih ketika Mbah Sholeh yang menyapu. Suatu hari, Mbah Sholeh wafat. Sepeninggal beliau, masjid tampak tak ubahnya pasar dan kebersihannya tidak seperti ketika Mbah Sholeh masih hidup. Melihat kejadian ini, Sunan Ampel termenung. Dalam merenungnya beliau berkata: Kalau saja Sholeh masih hidup, masjid pasti akan selalu bersih. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Mbah Sholeh terlihat sedang menyapu di halaman masjid. Hal itu terjadi delapan kali dengan kejadian yang sama. Dan wafatnya yang kesembilan adalah wafat beliau yang terakhir.”
Penjelasan Latif membuat mata Wikana berkaca-kaca. Namun dengan sigap Latif menepuk bahu seorang di depannya itu.
“Subhanallah. Keasyikan bercerita, membuat saya lupa sesuatu.” Lanjut Latif.
“Lupa kenapa, Tif?” tanya Wikana kembali dengan wajah terheran-heran.
“Disebelah gerbang makam Sunan Ampel ada gentong yang berisi mata air, tadi saya lupa mengambilnya.”

Mereka kemudian kembali ke jalur makam Sunan Ampel. Latif lalu mengambil segelas air dan kembali memasukkannya kedalam botol air mineral besarnya.
Sebelum keluar dari komplek pasarean Sunan Ampel, mereka masih menyempatkan meliak-liuk di area pasar yang tepat berada di lorong jalur keluar komplek pasarean. Latif lalu teringat dengan tujuan lain yang ia rencanakan sejak jauh-jauh hari.
Ia lalu mendekat pada toko yang menjual aneka kurma.
“Kurma Nabi ini berapa?” sapanya.
“Sekilonya empat ratus ribu, mas.” Jawab si penjual.
Setelah melewati tahap-tahap tawar menawar, Latif akhirnya membeli setengah kilo dengan harga Rp. 150.000.

Latif tersenyum sendiri ketika bungkusan kurma itu ia pegang. Imajinasinya lalu menjurus pada perempuan yang beberapa hari lalu ia khitbah. Kurma Ajwa di genggamannya itu rencananya ia akan buat mahar tambahan di hari ijab qabulnya seminggu lagi. Ia sudah tak sabar untuk segera pulang, ia sudah tak sabar untuk segera melihat senyuman perempuannya ketika genggaman kurma itu ia hadiahkan untuknya. Meskipun tak sampai sekilo, namun ia yakin calon istrinya akan menerima genggaman itu. Karena Latif mengerti, sejak dulu perempuannya itu ingin menikmati kurma Nabi berdua bersama dengannya.
“Tif. Alhamduliilah, meskipun agak mahal tapi tasbih kaoka ini semoga menguatkan iman saya.” Suara Wikana merampas lamunan Latif. Setelah mengamini pernyataan Wikana, Latif lalu memegang tasbih yang ada di tangan Wikana.
“Ini pasti asli dari Turki, Wik.”
“Insya Allah. Tif. Semoga saja begitu.”
Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju pintu keluar komplek Sunan Ampel. Kurang dari beberapa kilo, bedug asar tiba-tiba tertabuh di masjid Agung Ampel.
“Subhanallah. Tak terasa sudah asar. Sholat asar dulu kan ndak ada salahnya, ya kan. Tif?” sahut Wikana penuh semangat. Kali ini Latif yang mengangguk takzim.

*****

Langit-langit jingga kemerah-merahan tampak memeluk puncak gunung Giri Kedaton, tempat Raden Ainul Yaqin di istirahatkan untuk terakhir kali. Wajah Wikana mulai tampak lesu dan lelah. Ia seakan-akan tak akan mampu jika harus mendaki ke atas gunung, meskipun pendakian itu dipermudah dengan anak-anak tangga yang sudah dibangun secara rapi.
Bangunan gapura kembar berukuran 8 meter di gerbang komplek sangat kental dengan bangunan jawa pada umumnya.
“Untuk mencapai makam, kita harus menaklukan anak tangga ini, Wik. Cuma seratus empat puluh satu, anda pasti kuat.” Tutur Latif menyemangati.
“Insya Allah, Tif. Ya kalaupun nanti saya tidak kuat, saya yakin anda kuat menggendong saya sampai puncak.” Sahut Wikana dengan sedikit humor.
Setelah menderaikan tawa cukup lama, mereka lalu memulai menaklukan satu demi satu anak tangga. Meski terasa lelah, namun mereka berdua yakin setiap tangga yang mereka naiki akan dibalas dengan berlipat kebaikan oleh Allah.

Tak seperti makam Sunan Ampel di Surabaya, makam Sunan Giri sangat tertutup oleh pengunjung. Makamnya di kelilingi oleh kayu yang dibuat seperti pendopo berukuran kurang lebih 4 sampai 5 meter. Di samping pendopo itu, bersemayamlah putra-putra dari Sunan Giri.

Seusai bermunajat, seperti biasa Latif membagi waktunya untuk mengambil mata air yang juga di tampung di dalam gentong. Tak jauh berbeda dengan di Sunan Ampel. Mata air tersebut dipercaya peninggalan dari sang Sunan.

Selepas tiga raka’at Maghrib, mereka lalu bergegas menuju tempat ziarah selanjutnya. Tak jauh dari gunung Giri di Gresik, bersemayamlah seorang wali yang dianggap wali tersepuh di dalam formasi Wali Songo.
“Beliau sering di juluki kakek bantal. Wik. Nama asli beliau Syekh Maulana Malik Ibrahim. Mahasunan dari para sunan yang lain.”

Di dalam area makam Sunan Gresik, juga bersemayam ayahanda dari Sunan Giri, yaitu Syekh Maulana Ishak. Semasa hidupnya, beliau menegakkan agama Islam bersama dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Latif merasa tak tega melihat wajah Wikana yang semakin lama semakin seperti tak berurat. Rencana untuk bermalam di bus hingga sampai di kota Tuban ia urungkan.
“Kita cari masjid untuk istirahat saja dulu, Wik. Besok kita lanjutkan perjalanannya.” Bisik Latif dengan suara rendah.
“Saya pikir juga begitu, Tif.” Balas Wikana dengan mata yang seolah tak kuat terbuka lagi.
*****

Perjalanan lumayan jauh kemudian mereka tempuh dengan menumpang pick up yang mengangkut kacang tanah ke Pati. Dalam perjalanan, segala macam pertanyaan dilontarkan Wikana berkali-kali. Namun berkali-kali pula Latif menjawabnya dengan lapang dada. Kebetulan supir pick up yang mengangkut mereka juga sering berziarah ke makam-makam para wali di babad tanah jawa, sedikit banyak ia juga membantu Latif menjawab pertanyaan Wikana.

Latif kemudian mengeluarkan kalung berbahan kuningan yang dibelinya di pasar Giri tadi, liontinnya terdapat huruf berinisial Z. Wikana disampingnya lalu nyerocos.
“Untuk siapa itu, Tif?”
Latif sempat terkejut. Namun ia lalu menguatkan urat-uratnya. Sambil memandangi jalan didepannya, ia lalu mulai menjawab.
“Hari ini hari ke lima setelah kemarin saya melamar perempuan tambatan hati saya, Wik. Dan beberapa hari lagi kami akan melangsungkan pernikahan.”
“Alhamdulillah, selamat ya, Tif. Akhirnya kamu dapat mengabulkan sendiri sunnah Rasul yang lain.” Sahut Wikana dengan wajah yang sumringah.
“Terima kasih banyak, Wik. Semoga saja dia semakin mendekatkan saya pada Allah dan juga Rasul-Nya.” Wajah Latif lalu memandangi kalung ditangannya.
“Amiiiiinnnnn. Namanya siapa?” lanjut Wikana tak sabar.
“Zairah. Zairatul Qalbi.”
“Subhanallah. Nama calon istrimu hampir sama dengan nama anak bungsu saya, Tif.” Sahut Wikana dengan wajah yang semakin tampak segar.
“Subhanallah. Iyakah, Wik? Nama anak anda siapa?” Latif berbalik tanya.
“Zairah juga, tapi Zairatun Nisa.”
Tak terasa perbincangan mereka berakhir tepat di depan gapura putih berukuran 7 meter, dua gapura kembar itu dipersatukan oleh lafadh surat Yunus ayat 62, dibawahnya tertulis dengan rapi: Maqam Putri Cempo. Lalu tepat dibawahnya terpampang tulisan lebih besar dari sebelumnya: Pasujudan Sunan Bonang.

Setelah mengucap terima kasih kepada sang supir pick up, Latif lalu membisiki Wikana, “Disini hati kita akan dirangsang bahwa perempuan adalah makhluk yang mempunyai rasa setia tiada duanya.” Dahi Wikana lalu mengerut untuk ke sekian kalinya.

Berbeda dengan tanjakan di gunung Giri, tanjakan menuju Pasujudan Sunan Bonang ini lebih terjal. Selepas melepas lelah, Latif lalu menemui juru kunci meminta izin untuk dapat masuk dan bermunajat di batu tempat pesujudan Sunan Bonang semasa hidupnya lampau.

Di dalam sebuah bangunan, terdapat 2 batu hitam yang berderet dari arah utara hingga selatan. Batu tersebut adalah peninggalan dari Sunan Bonang. Konon batu yang berada di sebelah utara adalah batu tempat bersujudnya Sunan Bonang kurang lebih selama 400 tahun. Sedangkan batu yang agak lebih kecil di sebelah selatan adalah tempat berdirinya Sunan Bonang yang menurut cerita beliau bermunajat kepada Allah dengan berdiri selama 200 tahun. Di atas batu tersebut terdapat jejak 1 kaki, hal ini menunjukkan bahwa bermunajatnya Sunan Bonang di atas batu tersebut hanya dengan 1 kaki saja.

Wikana terperangah mendengar kisah menakjubkan itu dari salah satu juru kunci. Khusus untuk mereka, sang juru kunci mengizinkan mereka bermunajat di atas batu-batu itu dengan syarat yang sudah diwajibkan: Berdo’a hanya kepada Allah. Kalimat tersebut juga terpampang rapi di atas pintu masuk menuju 2 batu keramat.

Latif lalu menuntun Wikana beberapa langkah ke arah utara. Disana terdapat bangunan yang bertuliskan: Maqam Putri Cempo.
“Maqam ini dapat dijadikan bukti, bahwa kaum perempuan adalah kaum yang mempunyai rasa setia yang sangat tinggi, Wik.” kata Latif memulai.
“Putri Cempo adalah putri dari keturunan tionghoa. Ia jatuh cinta kepada Raden Makhdum Ibrahim, Sunan Bonang. Pada suatu waktu ia menunggu kedatangan Sunan Bonang ditempat ini, namun Sunan Bonang tak kunjung hadir. Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun berganti tahun, putri Cempo dengan setia menunggunya dengan tetap berdiri di tempat ini tanpa lelah dan putus asa. Hingga pada suatu waktu, ia menjumpai ajalnya. Masyarakat setempat lalu menemukan jasadnya tetap berdiri dengan mata yang sudah menutup rapat.” Latif lalu berhenti sejenak.
“Apa anda ingin tahu berapa lama putri Cempo menunggu Sunan Bonang?” lanjut Latif dengan bertanya kepada Wikana.

Wikana menganggukkan kepala.
“Dua ratus tahun. Ya, dua ratus tahun.” Sambung Latif dengan nada yakin.
Mendengar itu, Wikana lalu melafalkan tasbih secara perlahan. Hatinya seolah bergetar. Setelah mendengar kisah itu, ia seperti tak ingin menyakiti hati perempuan.
Di dalam bangunan tersebut, hanya terdapat kayu berbentuk seperti kuburan, namun bukan kuburan. Tempat tersebut hanyalah sebatas maqam yang berarti tempat berdiri. Tak jauh beda dengan maqam Ibrahim di sekitar Masjidil Haram.

Perjalanan pun dilanjutkan dengan menuruni bukit menuju makam Sunan Bonang yang tak jauh dari area pasujudan.

Makam Raden Makhdum Ibrahim yang berada di desa Bonang, Rembang, tak ubahnya taman kecil yang kumuh. Tanah makam hanya bertekstur rata. Hanya pohon kembang melati tumbuh ditengah-tengah makam, dengan tumbuhnya kembang melati tersebut diyakini bahwa jasad Sunan Bonang juga berada di sana.

Dari sembilan wali, hanya makam Sunan Bonang yang jumlahnya lebih dari satu, hal ini disebabkan perbedaan pendapat dari para santri beliau. Namun, hanya kepada Allah mana yang benar dan mana yang salah.

Di komplek pemakaman, Latif lalu merogoh botol air mineralnya. Ia menyempurnakan isi dari botol air yang sudah ia masukkan air dari berbagai mata air di segala penjuru tempat makam wali yang sudah ia kunjungi sebelumnya. Dengan begitu, berakhirlah perjalanan rohaninya.
Mereka pulang dengan menumpang bus yang hanya mengangkut sampai alun-alun kota Tuban. Di sebelah barat alun-alun terdapat masjid Agung Tuban yang indah luar biasa. Arsitektur Turki sangat kental jika dipandang secara sudut pandang yang terperinci. Di sebelah barat masjid tersebut terletak makam Sunan Bonang yang lain.

Latif sengaja mendahulukan makam Sunan Bonang yang berada di Rembang terlebih dahulu disebabkan karena ia ingin sholat Dhuhur di masjid besar tersebut. Prediksinya tepat, setelah pijakan pertama turun dari bus, adzan Dhuhur berkumandang.
*****

Jam 13.45, mereka lalu memutuskan untuk mengakhiri perjalanan dengan melanjutkan pulang. Wikana memaksa Latif untuk singgah sementara di kediamannya yang tak jauh dengan stadion 10 Nopember Surabaya, namun Latif menolak sehubungan dengan kerinduannya kepada orang-orang yang menunggunya dirumah. Wikana memaklumi dan mengucapkan terima kasih yang teramat tak terhingga di hadapan Latif. Ba’da Asar, dengan dibumbui tetesan air mata yang mengalir dari pelupuk mata Wikana, mereka lalu berpisah di tol Waru, Surabaya.
Dipenghujung Asar, Latif berhenti sejenak di masjid di daerah Sidoarjo untuk menyempatkan beribadah Asar sembari menunggu Maghrib menjelang. Selepas menjamaktaqdimkan Isya’, Latif lalu melanjutkan perjalanan pulang dengan perasaan yang hampir berkecamuk antara rindu gelisah, lega dan senang bukan kepalang kerena disatu sisi ia telah mengabulkan keinginannya sendiri berziarah ke makam para Wali sebelum hari pernikahannya, walaupun ia adalah segolongan orang yang tak mampu—dalam hal ekonomi, namun ia masih mampu mengunjungi makam para Wali yang telah menyebarluaskan agama Rahmatan Lil ‘Alamin ini di segala penjuru mata angin tanah jawa. Dilain sisi sebentar lagi ia akan mengabarkan berita kepada perempuannya karena berhasil membawakan kurma kesenangan Nabi kepangkuannya, kebahagiannya bertambah sempurna sebab ia telah membawakan mata air dari para Wali untuk seorang ibu yang teramat dicintainya.

*****

Malam telah menemukan malamnya, namun Zairah mendadak tak sadarkan diri. Segala urat-urat dalam tubuhnya seakan telah bersua dengan ajalnya. Ia menjerit seperti ditusuk-tusuk jarum mendidih di sekitar hati dan jantungnya. Perempuan lugu itu seperti orang kesurupan, ia menggila.
Bapak ibunya menenangkan, namun Zairah seolah semakin meluap kesedihannya. “Istighfar, ning. Mungkin ini sudah takdirmu.” Ibunya yang juga melelehkan air mata itu terus menerus menenangkan di sampingnya.
Kesedihan Zairah berawal dari sebuah pesan SMS dari temannya di Probolinggo. Pesan kiriman pertama awalnya membuat Zairah tak percaya. Namun pesan kiriman kedua yang berisi: Beritanya ada di televisi sekarang, membuat degup jantung Zairah seakan-akan dihantam dengan batu.
Pesan singkat itu hanyalah sebatas tulisan, namun tulisan itu membutakan apa yang telah terlihat oleh Zairah, menulikan apa yang telah terdengar oleh Zairah, dan menggilakan akal sehat yang dimiliki oleh Zairah.

“Innalillahi. Turut berduka cita saudariku. Muhammad Latiful Khobir, teman kami yang terbaik dan calon suamimu yang paling kau cintai, beberapa menit yang lalu telah kembali keharibaan Ilahi Robbi. Bus yang ditumpanginya terguling di daerah Probolinggo. Ikhlaskanlah, bersabarlah, Allah mencintai orang-orang yang penyabar.”

Dan, semua yang telah direncanakan oleh tangan-tangan manusia, oleh pemikiran-pemikiran manusia, sesungguhnya dapat dilenyapkan beberapa detik saja oleh satu tangan. “Kun Fayakun.” Maka segalanya akan terjadi. Hari paling bahagia sepasang manusia yang dirundung asmara: Muhammad Latiful Khobir dengan Zairatul Qalbi beberapa hari lagi hanya menyisakan buih-buih yang beterbangan. Semakin ditiup angin, semakin keatas, keatas dan hilang menghitam.


Tentang Penulis :Lumajang, 3 September 2014
Facebook : Akhmad Gufron Wahid
Twitter : @WahidGufron"

Cerita Terkait

Mata Air dan Air Mata By Akhmad Gufron Wahid
4 / 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan cerita di atas? Silakan berlangganan gratis via email

FANSPAGE